"Haaahhhh …"
Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya.
"Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.”
Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal.
“Plus-plus?”
Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal.
“Mereka ke mana semua, sih?”
“Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“
“Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!”
Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal.
Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Tamat ya, Mba beb ... hugz ... sedih saia ... Makasiy sudah mengikuti perjalanan Lee dan Gemi yakk ... Tunggu announcement dari saia besok yaakk di MAL ... kissseeddd ....
Gemi berdecak keras ketika memasuki ruang meeting redaksi pagi ini. Hanya terlihat lima wartawan magang dan tiga wartawan senior. Ketika hujan seperti ini, selalu saja ada alasan bagi beberapa wartawan untuk tidak pergi ke kantor mengikuti rapat redaksi pagi. Tidak hanya wartawan sebenarnya, para redaktur juga kerap tidak hadir dan lebih memilih untuk langsung pergi ke tempat liputan yang sempat ditugaskan. Entah benar datang untuk meliput, atau hanya mewawancarai pihak terkait via telepon, sambil asyik berselonjor cantik di rumah. “Ammar langsung pergi ke pameran berlian di Hotel Big Season, Gem,” ujar Lily sang sekretaris redaksi yang baru masuk ruang meeting dengan membawa laptop di pelukan. Wanita yang berusia sama dengan Gemi itu, langsung menarik sebuah kursi tidak jauh dari pintu ruang meeting, dan bersiap untuk menulis notulen pagi ini. Karena hanya Gemi satu-satunya senior yang hadir, maka dirinyalah yang akan memimpin jalannya rapat redaksi untuk be
Gemi menggeram sembari mengacak-acak surai bergelombang, yang diikat jadi satu ala kadarnya. Menendang dinding lift berulang kali, guna melampiaskan kekesalannya kepada Aries. Tentu saja dibarengi dengan umpatan yang bertubi-tubi pada pria itu.Sesi wawancara yang ada beberapa saat yang lalu, berakhir dengan perdebatan dan saling singgung. Sebagai seorang wanita yang pernah disakiti, Gemi tidak bisa mengontrol perasaannya. Hingga profesionalismenya sebagai seorang jurnalis kandas begitu saja di depan Aries. Gemi terpancing, dan jelas saja ia tidak akan tinggal diam jika disinggung seperti itu.“Ehm!”Deheman dari seseorang yang berada di depan pintu lift membuat Gemi tersadar, bahwa pintu bilik yang terbuat dari alumunium itu telah terbuka dengan sempurna.Manik mata Gemi melebar, melihat sosok yang pernah menjadi CEO salah satu stasiun televisi terkenal. Dan saat ini, duda berusia 38 tahun itu, masih menjabat sebagai ketua Perhimpunan Televis
Gemi buru-buru menjatuhkan tubuhnya pada karpet bulu yang terhampar di depan teve. Bertelungkup lelah, meluruskan punggung yang sedari subuh sudah berkutat di dapur. Padahal, orang tuanya sudah memiliki asisten rumah tangga yang bisa disuruh-suruh, tapi tetap saja, sang ibu tidak akan pernah tenang, jika sedetik saja tidak memerintah Gemi untuk mengerjakan sesuatu di dapur. “Gem, satenya sudah dicek semua? Udah dihitung 500 tusuk?” “Astaga, Ibuu,” rengek Gemi yang kontan membalik tubuhnya. Menatap sang ibu yang sudah berdiri di ujung kakinya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Yang bener aja, aku disuruh ngitung sate 500 tusuk?” “Kalau kurang 1 kan nggak genap 500, Gem. Ibu yang rugi.” Gemi bangkit untuk duduk dan menarik napas dalam-dalam. Beruntung, sifat perhitungan sang ibu tidak ada yang menurun baik dengan Gemi, maupun kakak perempuan yang saat ini tengah mengadakan tasyakuran khitan anak lelakinya, yang sebentar lagi akan masuk SD.
“Jadi, jatah liburmu hari minggu?”Gemi menoleh pada Lee yang tetap mengantarkannya pulang ke rumah, walaupun rumah wanita itu hanya berjarak beberapa langkah ke depan. Jantung Gemi sudah berdegup tidak karuan untuk itu. Namun, Gemi sadar siapa dirinya, begitupun kekurangannya. Oleh sebab itu, biarlah laju jantung yang berdetak tidak seirama ini, ia pendam sendiri di dalam hati.“Jatah libur saya kamis sebenernya, cuma hari ini tuker libur, Pak. karena ada acara di rumah.” Gemi yang sudah sampai di pagar pun berbalik. Memberi senyum manis dan mengangguk formal, untuk memberi dinding tinggi kepada dirinya, agar tidak larut dalam perasaan hampanya seorang diri.“Makasih, Pak, sudah dianter. Padahal gak perlu repot-repot, kan, cuma depanan gini. Nggak bakal ada yang mau nyulik saya, lah,” ujar Gemi mencoba berkelakar untuk menetralkan degup jantung dan kegugupan yang tiba-tiba saja menyerangnya.Padahal, beberapa hari yang
Sunguh makan malam yang tidak akan terlupakan bagi Gemi. Lee memperlakukannya sangat istimewa. Pria itu benar-benar menghargai Gemi sebagai seorang wanita, sangat sopan dan gentleman, menurutnya.Dari membukakan pintu, menarik kursi untuknya, mendahulukan Gemi disetiap situasi. Ah! Wanita mana yang tidak akan luluh, jika diperlakukan layaknya ratu seperti Gemi.Sangat berbeda dengan hubungannya dahulu kala dengan Aries. Sebuah keterikatan yang hanya dihiasi hasrat masa muda yang mengatasnamakan cinta. Lalu semua berakhir hampa. Kalau sudah seperti itu, hanya sesal yang membalut dada. Merugikan Gemi sebagai pihak wanita.Sungguh, nasi sudah menjadi bubur bagi Gemi. Oleh sebab itu, sejak putus dari Aries, ia tidak pernah lagi berhubungan dengan pria mana pun. Cenderung bersikap dingin dan profesional untuk menjaga jaraknya. Karena Gemi sadar, ia sudah tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.“Pagi Gem!” sebuah seruan dan tepukan keras, pada r
Hari ini, kedua kalinya Lee menjemput Gemi di apartemen wanita itu. Sesuai janji keduanya kala itu, mereka akan pergi ke taman hiburan setelah menjemput Chandie di sekolah.Gemi hanya mengenakan celana jeans serta kaos longgar, yang sama sekali tidak memamerkan bentuk tubuhnya. Gemi hanya menyesuaikan tempat yang dikunjungi, dengan pakaian yang dikenakan. Karena mereka akan pergi ke taman hiburan, maka Gemi ingin berpenampilan sekasual mungkin, agar mempermudah pergerakannya di sana nanti.Lagi-lagi, bel apartemennya berbunyi lima belas menit, sebelum waktu yang dijanjikan, yakni pukul sembilan. Sepertinya, Lee adalah pria yang memang sangat menghargai waktu. Pria itu lebih memilih datang lebih cepat, dari pada terlambat ketika menjemputnyaGemi bergegas mengambil tas selempangnya. Memastikan penampilannya di depan standing mirror terlebih dahulu. Lalu, setelah dirasa sempurna, Gemi bergegas pergi untuk membukakan pintu.Di depan sana, sudah ada Lee yang
Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebu
“Next, saya yang traktir Bapak, ya! hari ini kenyang banget dari pagi dapet gratisan mulu.” Gemi lagi-lagi menggigit separuh bibir bawahnya yang sensual. Menenggelamkan kedua tangan di saku belakang celana jeans, sembari menatap Lee yang mengantarnya sampai depan pintu apartemen.Beberapa saat yang lalu, setelah sampai di lobi kantor, Lee tiba-tiba mengajak Gemi untuk makan malam sebentar. Tentu saja Gemi tidak menolak, karena cacing di perutnya juga sudah bergejolak meminta untuk diisi. Mereka pun hanya mampir di kafe yang terdapat di lantai dasar. Memesan beberapa menu untuk disantap, kemudian pergi menuju gedung apartemen Gemi.“You don’t have to.”“Ya nggak bisa gitu, Pak. Nanti saya nggak mau diajak jalan lagi loh,” tandas Gemi dengan wajah merajuk cantik, hingga membuat Lee terkekeh melihatnya.“Oke, kamu atur aja. Tapi Gem, bisa saya pinjam toilet sebentar?”“Boleh, boleh!” Ge
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r