Sunguh makan malam yang tidak akan terlupakan bagi Gemi. Lee memperlakukannya sangat istimewa. Pria itu benar-benar menghargai Gemi sebagai seorang wanita, sangat sopan dan gentleman, menurutnya.
Dari membukakan pintu, menarik kursi untuknya, mendahulukan Gemi disetiap situasi. Ah! Wanita mana yang tidak akan luluh, jika diperlakukan layaknya ratu seperti Gemi.
Sangat berbeda dengan hubungannya dahulu kala dengan Aries. Sebuah keterikatan yang hanya dihiasi hasrat masa muda yang mengatasnamakan cinta. Lalu semua berakhir hampa. Kalau sudah seperti itu, hanya sesal yang membalut dada. Merugikan Gemi sebagai pihak wanita.
Sungguh, nasi sudah menjadi bubur bagi Gemi. Oleh sebab itu, sejak putus dari Aries, ia tidak pernah lagi berhubungan dengan pria mana pun. Cenderung bersikap dingin dan profesional untuk menjaga jaraknya. Karena Gemi sadar, ia sudah tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.
“Pagi Gem!” sebuah seruan dan tepukan keras, pada ransel yang tergantung di punggungnya, membuat Gemi berjengit kaget. Menjauh satu langkah dan memberi tatapan protes pada atasannya, yang sudah berdiri di samping untuk menunggu pintu lift terbuka.
“Pak Rudi, ada laptop saya di tas, rusak saya minta ganti, loh!”
Rudi memberi Gemi decakan keras. “Percuma punya laptop, berita yang saya minta aja belum digarap sama kamu.”
Gemi kembali melangkah mendekati Rudi, memasuki lift yang pintunya baru saja terbuka. “Iya, Pak, iya,” Gemi mencebik sembari menekan tombol berangka 35 yang berjejer di samping pintu. “Nanti saya ke senayan deh, denger-denger Aries ada di sana hari ini.”
“Jangan mengecewakan, tunjukkin kalau kamu memang layak jadi redaktur utama.”
“Iyaaa, layak kok saya, Pak!” seru Gemi dengan percaya diri. Karena ia yakin dengan kapasitas otaknya yang mampu menampung dan memilah, semua informasi untuk diolah menjadi berita dengan tata bahasa yang luar biasa. Semua juga sudah mengakui kemampuannya yang satu itu.
“Buktikan dulu, dapet nggak kamu wawancara sama Aries!”
“Dapet, dapet, percayalah sama saya,” jawab Gemi dengan entengnya. Ia akan mempertaruhkan semuanya demi mendapatkan berita yang diminta oleh sang pemred. Ada nama Gemi juga yang dipertaruhkan di sini. Sebagai wartawan senior, Gemi harus bisa mendapatkan berita yang hitungannya hanya receh. Karena tugasnya kali ini, bukan lah sebuah pemberitaan besar yang tengah diburu oleh khalayak ramai. Bukan juga berita investigasi, yang mengharuskannya berpikir keras.
Tiba-tiba, Gemi mengingat sesuatu dan harus ditanyakannya saat ini juga, selagi mereka hanya berdua di dalam lift.
“Pak, waktu itu … ngapain Pak Lee Seung-Gi datang ke Radar? Saya juga lihat beliau habis dari Glory?”
Sebenarnya, hal tersebut ingin Gemi tanyakan pada Lee tadi malam. Hanya saja, obrolan yang mereka lakukan semalam, membuat Gemi melupakan semua rasa penasarannya tersebut.
“Serius kamu gak tahu?” Rudi menatap Gemi tidak percaya. Padahal gosip sudah menyebar dengan luas, tapi sang redaktur madya tersebut tidak mengetahui hal apapun. “Kamu gak dengar kabar apapun?”
Gemi menggeleng pelan dengan bibir mengerucut. “Apaan emang, Pak?”
“Leonard Arkatama sekarang itu komisaris Global Corp, Gem. Statusnya memang belum resmi tapi beliau sudah diminta untuk meninjau Radar sama Glory. Tinggal nunggu RUPS minggu depan.”
“Emang udah pasti, gitu ya? gimana kalau hasil RUPS—”
“Sudah pasti!” sela Rudi dengan tegas untuk membungkam mulut bawahannya yang selalu saja membuatnya pusing. Karena Rudi tahu, Gemi pasti akan mengajukan pertanyaan berikutnya. Lagi dan lagi.
--
Gemi membuang napas besarnya dengan keras, ketika melihat Aries keluar dari ruang sidang paripurna. Mempersiapkan sebuah emosi, yang harus benar-benar diredam ketika bertemu dengan pria itu. Melangkah menembus kerumunan anggota dewan, kemudian dengan cepat melangkah bersisihan dengan Aries.
“Pak, bisa minta waktunya sebentar?”
Aries yang sangat mengenali suara renyah itu, tersenyum miring. Berhenti dan berbicara sejenak pada rekannya sebentar untuk berpamitan. Setelah itu, ia memutar tubuh menatap Gemi. Bersedekap angkuh untuk menunjukkan kekuasaan serta tingkat patriarki yang begitu tinggi.
“Ada apa?”
Gemi terpaksa menyematkan senyum ramahnya pada Aries. “Kapan bapak ada waktu? Saya mau melanjutkan wawancara kemarin.”
Aries memberi gestur pongah untuk jual mahal. Penghinaan Gemi yang menyatakan bahwa ia mandul kala itu, sungguh melukai harga dirinya. Aries sudah memeriksakan diri bertahun-tahun sebelumnya di dokter spesialis. Begitu pun memeriksakan benihnya di laboratorium dan hasilnya baik-baik saja. Hal yang sama dilakukan juga oleh istrinya, Sageeta Naladipha. Keduanya sehat, hanya saja, Tuhan belum mempercayakan sebuah momongan kepada mereka.
Segala macam cara juga sudah dicoba, tapi hasilnya nihil. Mereka juga belum diberi anugrah indah tersebut. Bahkan, program bayi tabung yang sempat mereka lakukan juga gagal. Hingga Aries menyerah, dan hanya menunggu waktu, hingga Tuhan mempercayakan hal tersebut pada keluarga yang telah ia bina selama delapan tahun.
“Saya tidak punya waktu.” Aries memutar tubuh, kemudian berjalan mendahului Gemi. Ingin menguji seberapa keras usaha wanita itu, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Aries sudah memiliki sebuah rencana tersendiri untuk membalas penghinaan Gemi kala itu.
Gemi berdecak, segera menyusul Aries yang berjalan dengan langkah panjangnya. “Kapan Bapak punya waktunya? Saya bisa kapan aja.”
“Bagaimana kalau saya tidak mau, Gem?” Aries terus saja berjalan ke area parkir. Berniat pergi untuk makan siang dengan seorang kawan lamanya. Tetap menunjukkan sikap formalnya kepada sang wartawan yang pernah menjadi kekasihnya dahulu kala.
“Bapak nggak mau diwawancarai dengan saya?”
“Ya!”
“Mau ganti wartawan, Pak?” Bagaimanapun, Gemi harus mendapatkan wawancara ekslusif tersebut dengan Aries. Apa pun itu caranya.
“Saya tidak mau diwawancarai denganmu, atau dengan siapa pun.” Aries mengeluarkan remot kunci mobilnya untuk membukanya. Berhenti sebentar untuk menatap Gemi sebelum ia menarik handle pintu mobil. “Pergilah.”
Begitu Aries masuk ke dalam mobil, Gemi berlari dengan cepat mengitari roda empat Aries dan masuk ke dalam kursi penumpang di sampingnya.
“Aku … minta maaf.”
Gemi tersenyum datar. Membuang semua harga diri yang dijaganya selama ini dan menyingkirkan sikap formalnya.
“Untuk?” Aries tersenyum miring, Merasa kemenangan sudah di depan mata.
“Yang kemaren.”
“Cuma maaf?”
“Ya terus mau gimana? kamu yang duluan mulai, kan?” intonasi Gemi mulai sedikit memanjat naik. “Coba nggak usah singgung-singgung masa lalu, pasti semua bakalan baik-baik aja.”
Dengan tangan kanan masih berada di atas setir, Aries memutar tubuhnya untuk menghadap Gemi. “Apa kamu lupa, Gem? Kamu sendiri yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Coba diingat lagi, aku sudah berusaha bersikap ramah denganmu waktu itu. Ruangan itu sudah aku pesan khusus buat kamu wawancara denganku. Untuk apa?”
Aries menghela panjang sejenak. “Untuk minta maaf, dengan semua yang sudah pernah aku perbuat ke kamu. Tapi apa responmu? Ck!”
“Tapi ujung-ujungnya, kamu tetep aja nyinggung aku, ya aku singgung balik lah!” sahut Gemi tidak mau kalah.
Aries kembali membuang napasnya. “Keluar lah, Gem. Aku ada janji sama orang.”
“Kapan aku bisa wawancara?”
“Kapan deadlinenya?”
“Akhir bulan ini.”
“Oke, nanti aku hubungi kamu lagi.”
Hari ini, kedua kalinya Lee menjemput Gemi di apartemen wanita itu. Sesuai janji keduanya kala itu, mereka akan pergi ke taman hiburan setelah menjemput Chandie di sekolah.Gemi hanya mengenakan celana jeans serta kaos longgar, yang sama sekali tidak memamerkan bentuk tubuhnya. Gemi hanya menyesuaikan tempat yang dikunjungi, dengan pakaian yang dikenakan. Karena mereka akan pergi ke taman hiburan, maka Gemi ingin berpenampilan sekasual mungkin, agar mempermudah pergerakannya di sana nanti.Lagi-lagi, bel apartemennya berbunyi lima belas menit, sebelum waktu yang dijanjikan, yakni pukul sembilan. Sepertinya, Lee adalah pria yang memang sangat menghargai waktu. Pria itu lebih memilih datang lebih cepat, dari pada terlambat ketika menjemputnyaGemi bergegas mengambil tas selempangnya. Memastikan penampilannya di depan standing mirror terlebih dahulu. Lalu, setelah dirasa sempurna, Gemi bergegas pergi untuk membukakan pintu.Di depan sana, sudah ada Lee yang
Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebu
“Next, saya yang traktir Bapak, ya! hari ini kenyang banget dari pagi dapet gratisan mulu.” Gemi lagi-lagi menggigit separuh bibir bawahnya yang sensual. Menenggelamkan kedua tangan di saku belakang celana jeans, sembari menatap Lee yang mengantarnya sampai depan pintu apartemen.Beberapa saat yang lalu, setelah sampai di lobi kantor, Lee tiba-tiba mengajak Gemi untuk makan malam sebentar. Tentu saja Gemi tidak menolak, karena cacing di perutnya juga sudah bergejolak meminta untuk diisi. Mereka pun hanya mampir di kafe yang terdapat di lantai dasar. Memesan beberapa menu untuk disantap, kemudian pergi menuju gedung apartemen Gemi.“You don’t have to.”“Ya nggak bisa gitu, Pak. Nanti saya nggak mau diajak jalan lagi loh,” tandas Gemi dengan wajah merajuk cantik, hingga membuat Lee terkekeh melihatnya.“Oke, kamu atur aja. Tapi Gem, bisa saya pinjam toilet sebentar?”“Boleh, boleh!” Ge
Sebuah napas panjang dan lega Gemi hembuskan, setelah menyatakan semua hal mengenai dirinya. Gemi mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang wanita baik, seperti yang ada di pikiran Lee saat ini. Ia pernah jatuh ke sebuah kubangan dosa, yang membuat Gemi tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.Degup jantung yang Gemi rasakan, memang sama dengan apa yang Lee rasakan. Keduanya memang memiliki sebuah rasa yang sama. Namun, sebelum rasa itu terlanjur berjalan jauh, Gemi harus menguak sebuah aib diri, sebelum ada masalah yang terjadi di kemudian hari.Lee sangat menghargai kejujuran Gemi, yang telah mengatakan semua hal dengan terbuka kepadanya. Meskipun sempat syok, tapi perasaannya terlalu kolot, jika harus menilai seseorang dari masa lalunya yang kelam.Diantara keterdiaman Lee, Gemi memutar stool barnya menghadap meja. Menunduk dan menyuapkan bubur ayam dengan hati tersayat. Tidak mudah untuk Gemi mengakui segalanya, tapi itu semua harus ia lakukan.Apa
Audi masuk ke dalam ruang keluarga, setelah mendengar maksud kedatangan Lee yang didampingi oleh Asri dan Riko. Kedua orang tua Lee dan Asri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Oleh sebab itu, Lee hanya di dampingi oleh kakak perempuan serta iparnya untuk mendatangi rumah Gemi.“Gemiii …” Audi memeluk erat sang putri yang sedari tadi hanya berada di dalam. Tidak diperkenankan keluar hingga kedua orang tuanya berbicara dengan keluarga Lee. “Akhirnya anakku laku juga!” ujarnya terkekeh geli dengan ucapan sendiri.“Anaknya dianggap sembako, gini,” cebik Gemi menampilkan eskpresi dramatis.Audi mengurai pelukannya, kemudian merapikan juntaian rambut Gemi yang berada di depan wajah. Tangan Audi terjatuh pada pundak sang putri, kemudian turun, merosot pada lengan Gemi.“Bulan depan, kami sudah nentuin tanggal pernikahanmu, Gem!” seru Audi dengan manik berbinar-binar.Sudah Gemi duga, Lee tidak
Gemi mendorong tubuh Aries yang merengkuhnya, dengan sekuat tenaga. “Ar … lepas … in,” pinta Gemi masih berusaha mengumpulkan seluruh akalnya. “Brengmm …” Gemi pasrah ketika Aries sudah meraup bibirnya dengan rakus. Lebih tepatnya, tubuh Gemi lah yang pasrah, meski akal sehatnya menjerit tidak terima dengan semua sentuhan Aries yang menjalar di tubuhnya. Semakin Aries menyentuhnya, semakin Gemi menginginkan hal yang lebih dari pria itu. Lenguhan demi lenguhan pun sudah tidak dapat lagi terelakkan. “Ar … kamu … brengSEK!” Gemi masih sempat memaki pria itu ketika Aries mulai membuka satu persatu kancing seragam kerja yang dikenakannya. Aries berseringai tajam. Maniknya menatap dengan rasa lapar pada lekuk tubuh Gemi, yang menurutnya terlampau seksi dan menghanyutkan. Semua terlihat sangat proporsional. “Ayolah, Gem, kita bisa seperti dulu. Bersenang-senang sampai pagi.” “AR!” di sisa-sisa kesadarannya, Gemi menendang perut Aries
"Kamu mau nikah?" Aries meraih tangan Gemi dan sedikit mencengkramnya. "Bulan depan?” lanjutnya seolah tidak percaya."Hm!" gumam Gemi mengangkat dagu dengan tinggi. Tidak gentar sedikit pun saat berhadapan dengan Aries seperti ini.Ada seringai kecil yang terlukis di wajah Aries. "Bagaimana kalau calon suamimu tahu, semalam kit—"Plak!Gemi membungkam mulut Aries dengan satu buah tamparan dengan tangannya yang bebas. "Berani kamu cari masalah denganku, aku bersumpah, bakal nyari semua kebusukanmu sama partaimu sampai ke akar-akarnya! Kamu tahu, kan, kalau gak ada yang namanya teman dalam politik? Aku bisa buat kamu jatuh, sejatuh-jatuhnya!"Satu kelemahan Aries yang Gemi sangat pahami. Pria itu sangat gila dengan jabatan dan kedudukan yang ada. Aries senang menjadi terkenal, dihormati, serta disegani oleh khalayak ramai. Image santun dan ramah selalu saja Aries sematkan di mana pun ia berada. Andai pun memang pada nyatanya Aries bersih
Gemi benar-benar merasa bersalah kepada Lee. Kalau begini terus-terusan, ia akan dilanda frustasi sendiri, karena tidak jujur dengan calon suaminya. Namun, tidak mungkin rasanya jika Gemi harus berkata jujur tentang kejadian malam itu kepada Lee.Lantas, dengan satu kali tarikan napas yang begitu dalam, Gemi meyakinkan diri untuk menjauh dan membatalkan pernikahannya dengan Lee. Dimulai dari tidak mengangkat telepon, atau pun membalas chat dari Lee sama sekali.Keputusan Gemi kali ini sudah bulat, ia akan menghindari pria itu. Gemi pun sudah mengatur strategi sebaik mungkin untuk menghindari, kalau-kalau mereka bertemu kantor.Lantas, untuk dua hari ini semua rencana yang telah disusunnya pun berhasil. Gemi selalu berangkat lebih pagi dari apartemennya. Tidak langsung ke kantor, ia lebih memilih berkeliling sembari mencari sesuatu yang menarik untuk diberitakan. Yang mungkin bisa Gemi tulis menjadi tulisan feature.Sedangkan malamnya, Gemi melakukan peker
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem
“Cobalah dipikirkan dulu,” bujuk Audi tengah membawa Arya yang tertidur dalam gendongannya. Cucu lelakinya itu baru saja menyesap ASI dan kembali terlelap puas setelah perutnya terisi. “Rumah di Jakarta itu besar, sayang kalau nggak ada yang nempatin. Gemi yang tengah tidur bertelentang lelah di karpet itu, belum menjawab. Ia sibuk menghela karena terlalu lelah mengurus Arya. Ternyata, menjadi ibu baru itu tidaklah mudah. Masih untung ada Audi dan asisten rumah tangga yang juga ikut membantunya. Jika tidak, Gemi mungkin akan benar-benar stres menghadapi semuanya. Sejak Abdi dan keluarga Asri kembali ke Jakarta lebih dulu, sang ibu kerap membujuk Gemi agar bisa pindah kembali ke ibukota. Namun, Gemi belum bisa memberi jawaban pasti akan hal tersebut. Banyak pertimbangan dan banyak pula yang harus ia pikirkan. “Sudah dibicarain sama suamimu belum, Gem?” Audi kembali membuka mulutnya ketika melihat sang putri hanya berdiam diri, sembari menatap langit-langit di
Setelah pertemuan yang menegangkan siang tadi dengan Aries, sampai saat ini Gemi masih merasa bersalah kepada pria itu. Gemi bukannya ingin memisahkan Aries dengan putranya, hanya saja, ada sebuah aib masa lalu yang harus ia tutup rapat untuk selamanya. Jika nanti Aries kerap mengunjungi Arya tanpa Geeta, keluarga besar Gemi perlahan akan curiga. Terlebih, jika nantinya wajah Arya ternyata punya kemiripan dengan Aries. Oh, tidak! Gemi saat ini hanya bisa berharap, kalau wajah putranya akan didominasi oleh wajahnya. “Ngapain, Gem?” tanya Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah sakit sehabis persalinan, Lee langsung menginap satu kamar dengan dengan Gemi, untuk menghindari kecurigaan Audi yang sudah berada di rumah terlebih dahulu. Selama itu juga, mereka sudah tidur satu ranjang tapi benar-benar tidak melakukan hal apapun. Hanya saling memberi kecupan selamat tidur, dan tidak berani untuk melangkah lebih jauh l
Aries segera berdiri dari tempatnya, ketika melihat Gemi dan Lee berjalan dengan bergandengan tangan memasuki restoran. Tadinya, ia berharap sangat, kalau Gemi akan membawa buah hati mereka ke restoran. Namun, dengan tidak adanya stroller bersama mereka, pupuslah sudah harapan Aries.“Kenapa jadi seperti ini,” protes Aries pada Lee dengan melayangkan tatapan tajam. Garis bibir yang menipis dan kedua tangan yang mengepal, menunjukkan bahwa Aries tengah kesal sepenuh jiwa. “Aku bahkan nggak dikabari sama sekali kalau anakku sudah lahir. Dan sekarang, kalian dengan seenaknya buat surat perjanjian kalau aku harus tutup mulut?”Lee menarik sebuah kursi untuk Gemi duduki terlebih dahulu. Bersikap tenang dan tidak ingin terbawa emosi. Setelah Gemi dan dirinya telah duduk, barulah Lee membuka suara. Menatap Aries yang masih berdiri dengan rahang mengeras.“Itu karena Geeta sudah mengajukan gugatan cerai dan aku nggak mau ambil resiko, Ar.&r