"Mas, sudah pulang, ya? Sini aku bantu ke rumah." Mutia sigap menuntun Bastian keluar dari taksi."Gak usah dianter juga gak apa-apa, Mut. Aku sudah bisa sendiri, he he." Bastian sudah mengenali suara Mutia. Karena wanita itu tetap memaksa untuk mengantarkan Bastian ke rumahnya, akhirnya penyanyi itu pun tak sanggup menolaknya."Toko belum tutup, Mut? Bukannya sudah malem, ya?" tanya Bastian di tengah-tengah perjalanan menuju rumah orang tua Embun.Mutia merupakan salah seorang pegawai di toko sembako milik Pak Salim. Toko itu semakin besar sejak Bastian ikut menyumbangkan dana renovasi dan pembelian barang untuk dijual. Sementara itu, rumah keluarga Embun juga direnovasi oleh Bastian. Tentu semua ini berkat kerja kerasnya sebagai penyanyi.Walaupun Bastian bisa dikategorikan sebagai penyanyi terkenal, tapi dia tetap sederhana dan memilih tetap tinggal di rumah orang tua Embun. Pak Salim dan Bu Nadine juga enggan berpisah rumah dengan anak angkatnya itu. Kecuali jika Bastian sudah ber
"Bayu … sini!"Baru saja ingin pergi ke ladang, langkah kaki Bayu terhenti oleh panggilan dari sang mertua."Iya, Paman.""Panggil Bapak, dong! Kamu kan sudah resmi menjadi menantuku.""Eh … i … iya, Pak. Ada apa?""Benar semalam kamu tak tidur seranjang dengan Mirah?"Muka Bayu berubah menjadi masam. Dia sangat kesal dengan istrinya yang membocorkan rahasia mereka semalam. Mirah benar-benar licik. Begitu lah isi pikiran Bayu saat ini."Jangan kau kecewakan anakku! Kamu bisa hidup enak dan nyaman di sini karena siapa kalau bukan karena aku dan Mirah. Camkan itu! Jangan coba-coba membuat anakku bersedih!"Ancaman di pagi hari ini membuat Bayu tak bersemangat. Baru saja ingin melaksanakan tugas sebagai mandor untuk pertama kalinya, dirinya harus dibuat kesal oleh pengaduan istrinya ke Pak Sukarsa.Selepas mertuanya pergi ke kantor desa, Bayu lantas menghampiri istrinya di kamar. Dia harus memberi pelajaran pada wanita itu.Jeder!Pintu kamar dibanting cukup keras. Hingga membuat Rina da
"Dimana Rina?" tanya Pak Sukarsa, setibanya ia di rumah. Kedatangannya ke rumah ini hanya disambut oleh tiga orang yakni Mirah, Bayu, dan Agus. Sedangkan si kecil Rina tak terlihat batang hidungnya. Padahal anak itu biasanya tak pernah absen menyambutnya di rumah."E … e, Rina ada di kamar, Pak. Dia agak demam," ucap Mirah gugup.Tak perlu menunggu lama, Pak Sukarsa lantas mencari Rina ke kamarnya. Ia diikuti oleh Agus kecil."Astaga. Panas sekali. Kita ke puskesmas ya, Nak," ucap Pak Sukarsa pada cucu sambungnya. Ia benar-benar tak tega melihat gadis kecil ini meringkuk kesakitan di kegelapan kamar.Cetek!Lampu kamar dihidupkan oleh Pak Sukarsa. Betapa terkejutnya ia ketika melihat tubuh mungil Rina memiliki luka lebam."Ya, ampun. Ini kenapa? Mirah … Bayu. Sini!"Pak Sukarsa memanggil anak dan menantunya untuk datang ke kamar Rina. Pasangan suami istri itu terlihat gugup."Kenapa ini? Kenapa Rina bisa seperti ini?" tanya pria tua itu—meminta penjelasan pada anak dan menantunya."Ja
Bab ini masih membahas tentang keluarga Bayu di desa. "Tadi saya lihat wajah Pak Sukarsa pucat, Mbak. Jawab sapaan saya pun hanya dengan anggukan pelan.""Benar, Mbak. Sebelum ditemukan jatuh ke jurang, saya sempat berpapasan dengan Bapak. Beliau terlihat menguap beberapa kali seperti orang yang mengantuk."Mirah duduk di teras depan sembari terus memikirkan mendiang sang ayah. Sudah seminggu ayahnya dikebumikan. Tapi Mirah masih belum percaya ayahnya sudah tiada. Saksi-saksi yang sempat melihat ayahnya sebelum kecelakaan, membuat dia yakin kalau penyebab Pak Sukarsa jatuh ke jurang diakibatkan mengantuk."Padahal Bapak belum tahu kalau aku sedang mengandung cucunya," gumam Mirah dengan tatapan kosong.Mirah seolah lemas dan tak memiliki semangat hidup lagi. Bahkan anak dan suaminya tak diurus olehnya. Bayu marah namun tak digubris oleh istrinya. Mirah benar-benar kehilangan semangat hidup."Heh … diem di rumah! Aku mau keluar dulu.""Mas, Bapak baru saja dikebumikan. Diam lah dulu d
Tiga bulan berlalu begitu cepat. Selama itu pula Rina mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari ayah dan ibunya. Gadis kecil itu didewasakan oleh waktu. Usianya yang belum genap empat tahun sudah diberi tanggung jawab beberes rumah, seperti menyapu ataupun membantu ibunya memasak. Tangan mungilnya yang belum mampu melaksanakan tanggung jawab itu dengan baik, kerap membuat emosi orang tuanya. Alhasil kekerasan fisik seperti cubitan dan pukulan, dilayangkan pada gadis kecil itu. Sebenarnya baik mengenalkan tanggung jawab pada anak sedini mungkin, namun tidak dengan paksaan apalagi kekerasan fisik. Sang anak justru akan mengalami sakit tak hanya pada fisiknya namun juga mentalnya.Laras yang merupakan tetangga Mirah, kerap meminta izin untuk menjaga Rina maupun Agus. Hal ini dikarenakan gadis cantik itu tak tega melihat Rina kecil terus disiksa oleh orang tuanya. Ditambah lagi kondisi kesehatan Mirah yang sedang mengandung, semakin memburuk. Wanita itu stress karena tak mendapat dukung
"Itu fitnah. Berani sekali kalian mengatakan hal yang tidak benar tentangku. Dasar kampungan."Bayu meludah di depan Laras dan ibunya. Dia tak terima akan pengaduan gadis itu pada istrinya."Kamu bener melakukan itu, Mas? Bener mau melecehkan Laras?" tanya Mirah. Dadanya terasa sesak karena sesuatu yang baru dia dengar saat ini. Baru saja tiba di rumah ini, dia harus dihadapkan dengan pengaduan pahit seperti ini."Kamu budeg? Sudah kubilang dari tadi. A … ku … di … fit … nah." Bayu mengeja setiap kata yang dia ucapkan dengan penuh penekanan."Gadis ini yang mengincarku dari dulu. Aku sering memergokinya memandangku dengan penuh nafsu. Sekarang dia berani memfitnahku. Cuiiih." Bayu menunjuk wajah Laras. Yang ditunjuk itu pun merasa geram karena Bayu berbalik memfitnahnya."Memang lelaki tak punya hati kamu, Bayu. Gak ada akhlak. Sekarang kamu malah memfitnah anakku. Berani berbuat, berani mengakui, dong! Jangan sampai aku sebarkan berita ini ke warga desa," ancam Bi Yati."Bilang saja
Sudah dua hari ini Rina dan Agus dititipkan di rumah Laras. Mirah sibuk merawat suaminya yang sedang sakit akibat dipukuli pekerjanya."Agus, ayo pulang!"Agus dan Rina yang asik bermain di halaman rumah Laras, didatangi oleh sang ibu. Namun Mirah hanya mengajak Agus untuk pulang, tapi tidak dengan Rina."Ina, Bu?" tanya gadis kecil itu.Laras hanya bisa mengamati mereka dari warung miliknya."Kamu bukan anakku. Jadi terserah mau pulang, kek … pergi, kek. Aku gak peduli," ucap Mirah sembari menatap anak sambungnya dengan bengis. Rina menangis sambil meremas bajunya. Dia masih saja diperlakukan tidak baik oleh Mirah.Sepeninggal Mirah dan Agus ke rumahnya, Laras lantas menghampiri Rina dan mengajaknya duduk di warung."Kamu sama Bibi aja, ya. Bukannya kamu seneng sama Bibi?"Rina mengangguk. Jemari mungilnya bergerak ke pipi dan mengusap air mata yang menggenang di sana."Besok pagi, Bibi ajak kamu ke kota.""Ngapain?" tanya Rina penasaran."Kita main-main di sana. Di kota juga banyak
TriiingTriiingTriiing"Halo?" Terdengar suara wanita dari seberang sana. Laras pun berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menyampaikan berita tentang Bayu."Halo … halo? Ini siapa, ya?" Karena Laras terlalu lama terdiam, suara wanita di seberang sana terus mengulang pertanyaannya.Saat Laras hendak menjawab telepon itu, angkutan umum yang dinantinya sejak tadi tiba-tiba datang. Terpaksa dia harus mematikan teleponnya secara sepihak dan gegas naik ke dalam angkutan umum itu bersama Rina.Di sisi lain, Embun dan keluarganya yang sedang asik berlibur di suatu daerah yang ada di Jawa Timur, dibuat risih oleh panggilan telepon tanpa suara."Mas … tadi ponselmu berbunyi," ucap Embun."Oh, ya? Terus? Kamu gak angkat?" tanya Bumi."Sudah, tapi gak ada jawaban.""Oh … biarlah! Paling itu orang iseng atau salah sambung."Bumi menyepelekan panggilan telepon itu. Karena melihat suaminya merespon dengan santai, akhirnya Embun pun ikut melupakan telepon misterius itu. Mereka berdua asik mema