"Sudah deket, Mbak?" tanya Embun pada Laras."Sudah deket, kok, Mbak. Nanti parkir di rumah sana, Mbak! Saya kenal kok sama yang punya rumah" Laras menunjuk rumah Pak Hasan. Dia menyarankan Bumi memarkirkan mobilnya di rumah itu. Setelah itu, mereka harus berjalan kaki sejauh 300 meter untuk sampai ke rumah Bayu.Pagi ini, Embun bersama suami dan adik iparnya ikut mengantar Laras ke desanya. Sedangkan ibu dan ayahnya masih di hotel menjaga anak-anak. Mereka juga dibantu babysitter yang disewa Embun selama dua hari. Rencananya, mereka akan menginap sehari atau dua hari lagi di kota ini.Bastian sempat diminta tinggal di hotel oleh Bumi. Biarlah pencarian Bara ini diserahkan pada mereka berdua. Tapi Bastian menolak. Dia kekeuh ingin ikut bersama kedua kakaknya. Dia ingin menanyakan langsung pada Bara apakah kakaknya itu ada kaitannya dengan menghilangnya Arista."Sini sama Ina, Om."Saat mereka sudah turun dari mobil dan hendak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, tangan mungil
"Ma … Pa. Kalian pulang duluan, ya! Embun titip anak-anak. Kami bertiga akan pulang minggu depan. Mas Bara sudah ditemukan tapi ia telah meninggal dunia." Begitu lah isi pesan Embun pada kedua orang tuanya. Pak Salim dan Bu Nadine begitu terkejut mendapat kabar duka itu. Mereka ingin menyusul anak-anaknya ke desa, namun dilarang oleh Embun. "Kasihan anak-anak jika dibawa ke desa ini, Ma. Perjalanannya cukup jauh dari kota. Di sini juga tak ada tempat buat menginap. Kalian pulang duluan ke rumah, ya! Gak apa-apa, 'kan? Embun, Mas Bumi, dan Bastian bisa menyelesaikan semuanya." Begitulah penolakan Embun pada permintaan orang tuanya saat ingin menyusul ke desa. Biarlah Embun dan yang lainnya menyelesaikan semua ini. Setelah Mas Bara dikebumikan, mereka akan kembali pulang ke rumah."Bagaimana denganmu, Mas?" tanya Embun pada sang suami."Aman, Sayang. Cutiku masih panjang. Kita bisa menyelesaikan urusan di desa ini dulu baru pulang."Jika kalian bertanya soal perasaan Bumi dan yang la
Dua hari berlalu, sudah waktunya Embun dan yang lainnya pulang ke rumah. Mereka akan meninggalkan desa ini bersama Rina. Lalu, bagaimana kabar Mirah? Wanita itu masih shock. Dia harus ditemani oleh kerabatnya. Dia tak boleh dibiarkan sendiri di rumahnya. Agus pun tak terurus jika hanya ada Mirah di rumah itu."Agus mau ikut Rina … Mau ikut."Agus merengek, meminta ikut ke kota. Dia tak ingin dipisahkan dengan Rina. Para kerabat membantu membujuk anak itu agar kembali tenang. Setelah melakukan perpisahan pada sang kakak, Rina lantas pergi meninggalkan rumah yang selama ini dia tinggali penuh dengan derita. Rina kecil merasa bahagia sekaligus bersedih. Bahagia karena tak akan mendapat siksaan lagi dari kedua orang tuanya, dan bersedih karena harus berpisah dengan Agus.Sebelum meninggalkan desa, Embun dan keluarganya terlebih dahulu mengambil barang-barangnya di rumah Laras. Beberapa potong pakaian yang mereka beli di desa ini, dibiarkan begitu saja untuk Laras atau siapapun warga des
"Kita bawa ke rumah sakit aja yuk, Mbak." Valerie menyarankan Embun untuk membawa Arista ke rumah sakit. Demamnya tak kunjung turun.Embun lantas memanggil suaminya untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. Valerie dan Bastian ikut bersama yang lainnya."Cepet sembuh, ya, Sayang. Tante ada di sini bersamamu." Valerie begitu perhatian pada Arista. Dia berusaha menjadi calon ibu sambung yang baik bagi anak Bastian.TriiingTriiingTriiingTelepon Valerie berdering. Itu dari ayahnya. Wanita itu enggan menerimanya. Tapi Bastian yang tahu betul kalau panggilan itu dari ayah Valerie, dia lantas menyuruh kekasihnya untuk pulang."Pulang lah, Val! Nanti Papa marah lagi sama kamu. Arista pasti akan baik-baik saja. Ada aku, Mbak Embun, dan Mas Bumi di sini."Awalnya Valerie menolak, tapi setelah diyakinkan oleh yang lainnya, akhirnya dia memilih mengalah. Dia akan menuruti perintah ayahnya untuk pulang. Tapi besok, Valerie akan datang lagi menemani Arista."Kamu gak bisa dibilangin banget, ya?
"Bibi …." Arista begitu senang melihat kedatangan Laras pagi ini. Dia yang semula enggan untuk makan, kini langsung semangat meminta Laras menyuapinya.Embun tersenyum melihat kedekatan Laras dan Arista."Dengar, 'kan, Bas? Arista begitu senang saat Laras datang menjenguknya." Embun berbisik di telinga adiknya. Bastian terdiam. Dia tak menanggapi hasutan Embun."Sama siapa ke sini, Ras? Aku lupa ngasi tahu pak supir suruh membawamu langsung ke rumah sakit," ucap Embun."Tadi dianter Mas Bumi, Mbak. Dia hanya mengantar sampai depan karena harus cepat-cepat berangkat ke kantor. Itu ada titipan baju ganti buat Mbak dan juga Mas Bastian," ucap Laras sembari menunjuk tas hitam yang dibawanya barusan."Kayaknya Mas Bumi lagi ada meeting. Dia sampai lupa menghubungiku, ha ha ha," ucap Embun pada Laras.Laras tersenyum tipis menanggapi kelakar Embun. Matanya terus melirik ke arah Bastian yang sejak tadi hanya terdiam tanpa ikut nimbrung ke dalam obrolan mereka.Tanpa Laras sadari, Embun mel
"Loh, mau kemana kamu, Ras?" Embun bertemu Laras di lobby rumah sakit."Mbak Embun?" Laras gegas mengusap air mata yang sedari tadi mengalir deras di pipinya."Loh? Kamu habis nangis, Ras? Trus kamu mau kemana, nih?""Iya, Mbak. Tadi kepedesan. Aku mau keluar dulu nyari minum. Kirain Mbak datangnya sore.""Gak usah nyari minum di luar. Mbak udah bawain minuman sama cemilan buat kita. Iya, nih. Di rumah pada sepi. Anak-anak diajak main ke rumah saudara sama kakek dan neneknya. Makanya, Mbak balik ke sini lebih awal. Yuk masuk lagi!" ajak Embun pada Laras. Namun Laras seperti enggan melangkahkan kakinya kembali ke ruang rawat Arista."Kamu kenapa, Ras? Kok diem terus? Ayo balik ke ruangan!"Embun menoleh ke belakang dan melambaikan tangan pada Laras. Dia baru menyadari kalau Laras tak mengikuti langkahnya dan justru terdiam di tempat semula. Mau tak mau, Embun kembali menjemputnya."Ayo, Ras! Kamu kenapa? Kayak takut gitu. Habis liat setan?" gurau Embun. Namun Laras tetap terdiam."A …
"Mas, ayo ikut aku ke rumah!" Valerie datang saat rumah dalam keadaan sepi. Bumi bekerja, Embun di toko pakaian miliknya, Pak Salim berada di toko sembakonya, sedangkan Bu Nadine dan anak-anak sedang tidur siang."Mau kemana, Val?""Ke rumahku. Keluarga besarku sudah datang. Ini kesempatan kita untuk memperjuangkan hubungan ini. Om, tante, dan sepupu-sepupuku pasti mau mendukung kita. Papa dan Mama pasti terpojokkan.""Aku gak bisa, Val. Arista baru saja keluar dari rumah sakit. Aku mau menemaninya."Bastian menolak ajakan Valerie. Selain karena ingin terus berada di dekat anaknya, Bastian juga enggan berurusan lagi dengan keluarga Valerie."Maaf, Val. Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan ini. Keluargaku tak sebanding dengan keluargamu. Yang akan kita dapatkan hanyalah kesengsaraan dan penderitaan.""Kamu jahat, Mas. Bisa-bisanya berbicara seperti itu. Begitu mudahnya melepaskan hubungan ini," Valerie kesal dengan perkataan Bastian.Bastian ingat betul. Selama berhubungan dengan
"Alan tampan dan kaya. Tapi hatiku masih tertaut di Bastian. Aaahhh … bingung."Valerie sedang pusing memikirkan dua pria yang kini ada di hidupnya. Dia nyaman dengan Alan, tapi cintanya masih lebih besar dengan Bastian."Apa aku samperin Bastian ke rumahnya, ya? Minta maaf sekali lagi. Sepertinya dia mau menerimaku lagi. Bastian lemah. Seberapa kuat dia ingin menjauhiku, tetap tak bisa. Sudah beruntung ada wanita sepertiku yang mau menerima dia apa adanya." Valerie begitu percaya diri. Dia mengira Bastian akan menerimanya kembali. Akan melupakan kejadian kemarin.Valerie lantas pergi menuju rumah Bastian. Dia berangkat dari butik miliknya. Karena ketika dia sudah pulang ke rumah, maka izin untuk keluar lagi akan susah. Inilah satu-satunya cara agar bisa pergi dengan leluasa, tanpa adanya larangan dari sang ayah.Toko sembako milik keluarga Embun, buka. Valerie lantas melajukan mobilnya hingga ke depan rumah Bastian. TokTokTokTak ada jawaban. Rumahnya kosong tak berpenghuni."Kema
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana