"Loh, mau kemana kamu, Ras?" Embun bertemu Laras di lobby rumah sakit."Mbak Embun?" Laras gegas mengusap air mata yang sedari tadi mengalir deras di pipinya."Loh? Kamu habis nangis, Ras? Trus kamu mau kemana, nih?""Iya, Mbak. Tadi kepedesan. Aku mau keluar dulu nyari minum. Kirain Mbak datangnya sore.""Gak usah nyari minum di luar. Mbak udah bawain minuman sama cemilan buat kita. Iya, nih. Di rumah pada sepi. Anak-anak diajak main ke rumah saudara sama kakek dan neneknya. Makanya, Mbak balik ke sini lebih awal. Yuk masuk lagi!" ajak Embun pada Laras. Namun Laras seperti enggan melangkahkan kakinya kembali ke ruang rawat Arista."Kamu kenapa, Ras? Kok diem terus? Ayo balik ke ruangan!"Embun menoleh ke belakang dan melambaikan tangan pada Laras. Dia baru menyadari kalau Laras tak mengikuti langkahnya dan justru terdiam di tempat semula. Mau tak mau, Embun kembali menjemputnya."Ayo, Ras! Kamu kenapa? Kayak takut gitu. Habis liat setan?" gurau Embun. Namun Laras tetap terdiam."A …
"Mas, ayo ikut aku ke rumah!" Valerie datang saat rumah dalam keadaan sepi. Bumi bekerja, Embun di toko pakaian miliknya, Pak Salim berada di toko sembakonya, sedangkan Bu Nadine dan anak-anak sedang tidur siang."Mau kemana, Val?""Ke rumahku. Keluarga besarku sudah datang. Ini kesempatan kita untuk memperjuangkan hubungan ini. Om, tante, dan sepupu-sepupuku pasti mau mendukung kita. Papa dan Mama pasti terpojokkan.""Aku gak bisa, Val. Arista baru saja keluar dari rumah sakit. Aku mau menemaninya."Bastian menolak ajakan Valerie. Selain karena ingin terus berada di dekat anaknya, Bastian juga enggan berurusan lagi dengan keluarga Valerie."Maaf, Val. Sepertinya kita harus mengakhiri hubungan ini. Keluargaku tak sebanding dengan keluargamu. Yang akan kita dapatkan hanyalah kesengsaraan dan penderitaan.""Kamu jahat, Mas. Bisa-bisanya berbicara seperti itu. Begitu mudahnya melepaskan hubungan ini," Valerie kesal dengan perkataan Bastian.Bastian ingat betul. Selama berhubungan dengan
"Alan tampan dan kaya. Tapi hatiku masih tertaut di Bastian. Aaahhh … bingung."Valerie sedang pusing memikirkan dua pria yang kini ada di hidupnya. Dia nyaman dengan Alan, tapi cintanya masih lebih besar dengan Bastian."Apa aku samperin Bastian ke rumahnya, ya? Minta maaf sekali lagi. Sepertinya dia mau menerimaku lagi. Bastian lemah. Seberapa kuat dia ingin menjauhiku, tetap tak bisa. Sudah beruntung ada wanita sepertiku yang mau menerima dia apa adanya." Valerie begitu percaya diri. Dia mengira Bastian akan menerimanya kembali. Akan melupakan kejadian kemarin.Valerie lantas pergi menuju rumah Bastian. Dia berangkat dari butik miliknya. Karena ketika dia sudah pulang ke rumah, maka izin untuk keluar lagi akan susah. Inilah satu-satunya cara agar bisa pergi dengan leluasa, tanpa adanya larangan dari sang ayah.Toko sembako milik keluarga Embun, buka. Valerie lantas melajukan mobilnya hingga ke depan rumah Bastian. TokTokTokTak ada jawaban. Rumahnya kosong tak berpenghuni."Kema
"Sementara Bastian belum pulang ke rumahnya, bagaimana kalau aku terima ajakan Alan untuk makan malam?" tanya Valerie pada pantulan dirinya di cermin.TriiingTriiingTriiingPonsel mahalnya kembali berdering. Itu dari Alan Mandala. Valerie berdehem, membuat suara selembut mungkin untuk menerima panggilan telepon dari Alan."Halo …." ucap Valerie setelah dia menggeser layar di ponselnya."Halo, Sayang.""Apa? Sayang?" Wajah Valerie bersemu merah. Detak jantungnya semakin kencang mendengar panggilan sayang dari Alan. Dia tak mengira kalau dirinya akan mampu merasakan cinta secepat ini setelah hubungannya terancam kandas dengan Bastian."Eh … maaf, Val. Kamu gak nyaman, ya, dipanggil sayang?" tanya Alan di seberang sana.Tentu saja Valerie menggeleng. Dia sama sekali tak keberatan dengan panggilan itu. Bahkan hatinya terasa berbunga-bunga mendengar satu kata itu terucap dari bibir Alan. Dia hanya kaget. Tak menyangka pria itu mampu menyentuh hatinya secepat ini."Val … Val. Kok gak nyah
"Nah, sekarang kamu tinggal sama kami saja, ya. Sekarang kita satu keluarga." Embun dan keluarganya merangkul Laras ke pelukan mereka. Laras kini resmi menjadi bagian dari keluarga mereka. "Ini kamar kamu, Ras. Berdekatan dengan kamar Arista."Setelah ibunya tiada, Laras mengira dirinya tak akan sanggup lagi untuk hidup—tak akan sanggup bertahan di dunia ini. Tapi dia salah. Embun dan keluarganya kini siap merangkulnya ke dekapan mereka.Malam ini, Laras memutuskan untuk tidur di kamar Arista. Gadis kecil itu merengek minta ditemani. Kecupan hangat selalu Laras daratkan di kening anak itu. Senandung merdu diperdengarkan untuk mengiringi mimpi yang akan segera datang. Arista telah tertidur.CeklekBaru saja ingin memejamkan mata dan menemani Arista di dalam mimpi, Laras harus terjaga kembali karena mendengar pintu yang dibuka."Mas Bastian?" gumam Laras.Kenapa Bastian datang tiba-tiba ke kamar Arista? Bukankah dia tahu kalau malam ini Laras yang menemani anaknya?Saat Laras sibuk me
Selain Valerie, ada satu wanita lagi yang patah hati mendengar perjodohan Laras dengan Bastian. Dia adalah Mutia, pegawai di toko Pak Salim.Mutia berjalan lunglai. Dia yang semula diperintahkan mengecek barang di gudang oleh Pak Salim, harus mendengar berita perjodohan Bastian lewat telinganya sendiri. Gudang di toko sembako milik Pak Salim memang berdekatan dengan rumah Embun dan keluarganya. "Mutia, kenapa kamu lemes gitu?" tanya Pak Salim setelah melihat salah satu pegawainya berjalan gontai."Mana catatan barang yang saya minta?" tanya Pak Salim. Catatan yang Mutia pegang kini telah beralih ke tangan bos-nya."Pak … sepertinya saya demam. Badan saya terasa lemes."Pak Salim mengerutkan kening mendengar pernyataan Mutia yang tiba-tiba ini. Padahal beberapa menit lalu, sebelum dia menyuruh pegawainya itu pergi ke gudang belakang, semuanya nampak biasa-biasa saja. Mutia sehat walafiat. Tak terlihat tanda-tanda sakit sedikitpun."Saya izin pulang lebih awal ya, Pak. Kemarin saya jug
"Nah, kenalin … ini namanya Mutia. Dia yang biasanya bantu-bantu Bapak di kasir." Pak Salim memperkenalkan Mutia pada Laras. Setelah tiga hari tak diberi kesempatan untuk membantu keluarga Embun, akhirnya hari ini Laras mendapatkan keinginannya. Dia diterima oleh Pak Salim untuk bantu-bantu di toko sembako miliknya. Laras melakukan ini karena merasa tak enak harus numpang hidup dan berdiam diri saja di rumah. Pagi tadi, saat Laras izin ke luar rumah mencari kerja, Embun lantas menahannya. Pada akhirnya gadis itu diperkenankan untuk ikut membantu mereka. "Hai, Mutia. Namaku Laras." Laras mengulurkan tangannya, berharap Mutia akan menyambut baik keramah-tamahannya."Dia ini calon istri Bastian. Tolong dibantu, ya, Mut!" Pak Salim kembali menambahkan informasi yang semakin membuat Mutia kesal. Karena merasa tak enak hati pada sang bos, Mutia pun terpaksa menjabat tangan Laras."Namaku Mutia," ucapnya singkat diikuti dengan senyuman tipis yang sedikit dipaksakan."Kalau gitu, Bapak tin
"Tak apa, Nak. Yang penting kamu senang. Ini dimakan dulu bekalnya."Pak Salim tak terpengaruh dengan aduan Mutia. Dia tak memarahi Laras seperti perkiraan Mutia. Dan memang kenyataannya Laras tak bersalah. Justru dia yang bekerja dengan keras hari ini. Sedangkan Mutia hanya fokus dengan ponselnya."Eh … Pak. Maaf, saya baru selesai beli makan." Anton datang dan bertegur sapa dengan sang bos. Pak Salim pun tersenyum dan menepuk bahu anak buahnya itu."Ras … ini aku belikan makanan buat kamu. Kamu belum makan, 'kan?"Laras lantas menatap bekal yang baru saja diberikan oleh Pak Salim. Melihat bekal yang ada di tangannya, Anton pun mengerti."Ooh … kamu sudah bawa bekal?" tanya Anton."Iya. Saya yang membawakannya. Tapi makasi ya, Ton. Kamu sudah perhatian dengan calon menantu saya," ucap Pak Salim.Anton terkejut. Calon menantu? Bukankah Laras ini pegawai baru di toko ini?"Ca … calon menantu? Bukankah kata Mutia …."Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Mutia langsung berlari mengha
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana