“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
[Dek, sudah gajian, 'kan? Kirimin Ibu uang, dong! Ibu harus bayar hutang. Bekal adikmu juga sudah habis.][Oke, Bu. Nanti aku transfer ke rekening Ibu.]Huft. Embun menghela nafas kasar setelah membaca percakapan antara suami dan mertuanya. Pesan yang selalu datang tiap awal bulan. Dan permintaan ini tak hanya datang sekali dalam sebulan, tapi berkali-kali. Ada saja alasan dari ibu mertuanya. Beras habis, bayar arisan, sampai dengan keinginannya yang wajib membeli baju baru tiap bulan. Semua itu, harus Bumi yang menanggung. Lalu, dimana gaji pensiunan mendiang Ayah Bumi? Apakah selalu habis dalam sekejap? Hingga Retno, selaku Ibunda Bumi selalu membebankan kebutuhan rumah tangganya pada anak ketiganya itu."Sayang …."Bumi yang baru keluar dari kamar mandi, heran melihat istrinya berdiri di samping nakas tempat tidurnya."Dek, kenapa?" Karena tak kunjung mendapat jawaban, Bumi pun mendekati Embun agar bisa melihat wajah istrinya itu dari arah depan. Sedari tadi, Embun tak menyahut d
"Mas … boleh aku bicara?"Embun mencoba mendekati suaminya di ruang tamu. Sejak tadi pagi, Bumi enggan berbicara dengan Embun. Mungkin pria itu masih banyak pikiran, termasuk masalah antara istrinya dengan ibunya."Iya … mau bicara apa?"Bumi sudah mau bersuara, namun masih datar. Tak ada senyum yang terkembang seperti biasanya."Mas masih marah sama aku?" tanya Embun.Bumi lantas menyuruh istrinya untuk menempati tempat duduk di sampingnya. Dia ingin menyelesaikan masalah tadi pagi."Masih marah sama aku, Mas?" Kembali Embun melontarkan tanya."Mas gak marah, Dek. Mas hanya ingin kamu mengerti. Kamu dan Ibu jangan bermusuhan lagi! Jangan bersitegang lagi! Jujur, kepala Mas pusing. Sudah capek kerja, di rumah juga harus mendapati masalah lagi."Hembusan nafas Bumi di akhir kata, membuat Embun tertunduk. Dia merasa bersalah karena telah menambah beban suaminya. Tapi di sisi lain, Embun juga tak puas kalau hanya dia yang terus diminta mengerti."Mas belum mengirimkan Ibu uang, Dek. Jadi
"Perhiasan itu sudah kukembalikan lagi pada Mama," ucap Embun."Dikembalikan? Kamu tuh bodoh sekali, Embun. Kenapa kamu kembalikan? Itu kan hadiah. Kalau kamu gak mau menerimanya, kasi saja ke Ibu. Biar Ibu yang menyimpannya. Ambil lagi dari Mama-mu! Dan berikan ke Ibu!" ucap Bu Retno, mertua Embun.Embun menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mertua. Padahal Bu Retno tak berhak sama sekali atas perhiasan itu."Maaf, Bu. Kalau pun perhiasan itu ada padaku, aku tak mungkin memberikannya ke Ibu. Itu bukan hak Ibu!" Embun mencoba memberi pengertian pada mertuanya. Tapi itu seperti mengganggu macan tidur. Tentu saja Bu Retno akan murka."Kenapa kamu makin berani sama Ibu, huh? Sudah merasa hebat? Hamil aja kagak, sudah berani nasehatin orang tua."Sesak yang dirasakan Embun saat ini. Terlalu banyak kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Bu Retno padanya. Siapa yang tak ingin memiliki keturunan? Semua wanita pasti mendambakan menjadi seorang Ibu. Mengandung dan melahir
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana