[Dek, sudah gajian, 'kan? Kirimin Ibu uang, dong! Ibu harus bayar hutang. Bekal adikmu juga sudah habis.]
[Oke, Bu. Nanti aku transfer ke rekening Ibu.]Huft. Embun menghela nafas kasar setelah membaca percakapan antara suami dan mertuanya. Pesan yang selalu datang tiap awal bulan. Dan permintaan ini tak hanya datang sekali dalam sebulan, tapi berkali-kali. Ada saja alasan dari ibu mertuanya. Beras habis, bayar arisan, sampai dengan keinginannya yang wajib membeli baju baru tiap bulan. Semua itu, harus Bumi yang menanggung.Lalu, dimana gaji pensiunan mendiang Ayah Bumi? Apakah selalu habis dalam sekejap? Hingga Retno, selaku Ibunda Bumi selalu membebankan kebutuhan rumah tangganya pada anak ketiganya itu."Sayang …."Bumi yang baru keluar dari kamar mandi, heran melihat istrinya berdiri di samping nakas tempat tidurnya."Dek, kenapa?"Karena tak kunjung mendapat jawaban, Bumi pun mendekati Embun agar bisa melihat wajah istrinya itu dari arah depan. Sedari tadi, Embun tak menyahut dan terus membelakanginya."Dek … dari tadi gak nyahut-nyahut."Kini Bumi telah berhasil menyentuh istrinya. Seketika Embun terkesiap dan gugup hingga tak sengaja melemparkan ponsel suaminya ke atas tempat tidur."Nah … kepo sama isi di handphone Mas, ya?"Bumi menggoda istrinya. Dia tak merasa tersinggung apalagi ketakutan saat tahu istrinya menggeledah ponselnya. Toh, di dalamnya tak ada bukti apapun yang akan membuat Embun marah. Bumi memang pria setia dan sangat menyayangi istrinya."Eh … e … enggak, Mas. Tadi gak sengaja aja."Embun masih terlihat gugup. Perbuatannya selama ini tertangkap basah oleh suaminya. Dia malu sekaligus tak enak hati pada sang suami. Padahal dia mengecek ponsel Bumi bukan karena curiga suaminya itu berkhianat. Hanya saja, Embun terlalu penasaran dengan isi pesan yang selalu mertuanya kirim.Bumi melihat ponsel yang tergeletak di ranjang. Pesan dari ibunya selama ini telah terbuka dan terlihat oleh mata. Dia baru tahu kalau sedari tadi istrinya terdiam karena melihat percakapannya dengan orang rumah via WA.Bumi mengambil ponselnya. Sempat terdiam sesaat. Namun dia kembali mengangkat wajah dan tersenyum ke arah istrinya."Maaf, ya, Sayang. Kalau tabungan serta penghasilan Mas selama ini harus dibagi lagi dengan orang rumah. Tapi bukankah Mas sudah izin denganmu?"Benar. Selama ini, Bumi memang izin pada Embun untuk membagi gajinya dan diberikan pada orang rumah. Tapi itu hanya untuk satu kali dalam sebulan. Bukan berkali-kali dan menjadikan Bumi sebagai penanggung jawab sepenuhnya untuk orang rumah. Padahal Ibu mertua Embun masih menerima pensiunan mendiang ayah mertua. Bukan mengandalkan Bumi selalu. Miris. Embun ingin berontak tapi takut dianggap tak berbakti pada mertua."Em … tapi, Mas." Embun sedikit ragu. Dia mencoba untuk menyusun kata agar sang suami tak salah paham dengan maksud ucapannya nanti."Tapi apa, Sayang? Katakan saja! Kamu keberatan? Nanti biar Mas berbicara sama Ibu."Inilah yang membuat Embun begitu menghormati suaminya. Walaupun dalam rumah tangganya, hanya Bumi yang menghasilkan uang, tapi pria itu tetap menghargai sang istri."Bukan, Mas. Kita harus pikirkan masa depan kita juga! Toh, Ibu juga ada uang pensiunan. Kenapa kita tak batasin dulu kiriman uang ke orang rumah?"Sesaat, Bumi terdiam. Ada perang batin dalam dirinya. Dia merasa perkataan Embun ada benarnya, tapi dia juga ingin membantu keluarganya yang kini tak punya kepala keluarga lagi setelah sang ayah meninggal.—--------------"Kok masih segini uangnya? Berarti Bumi belum transfer juga."Bu Retno, selaku Ibunda Bumi, merasa cemas karena saldo di ATM-nya tak kunjung bertambah. Tak ada transferan dari kemarin."Mana udah ditagih hutang sama tetangga. Beras dan kebutuhan rumah juga sudah habis. Mana sih, Bumi? Dari kemarin suruh transfer, gak juga dilakuin. Lelet banget jadi orang. Kalau gini, aku kan jadi pusing."Bu Retno mengacak-acak rambutnya. Ia terus menggerutu, menyalahkan anak ketiganya itu. Ia geram karena Bumi tak kunjung mengirimkan uang. Padahal masih banyak kebutuhan dirinya yang harus dipenuhi saat ini. Ia pun memutuskan menelpon Bumi.TuuuutTuuuutTuuuut"Ini tersambung, kok. Tapi kok gak diangkat terus sama si Bumi?" Bu Retno menggerutu. Ia pun kembali menelpon anaknya untuk kedua kalinya.Kali ini terangkat. Namun ini bukan suara Bumi."Halo, Bu." Ini adalah suara Embun."Loh … ini Embun?" tanya Bu Retno."Eh … iya, Bu. Mas Bumi masih sarapan.""Kok agak gak sopan, ya, kamu? Berani banget jawab telepon suami. Kalau ini dari bosnya, apa kamu angkat juga? Sekalian goda, ya?"Embun terdengar menghela nafas pelan. Pagi-pagi dia sudah dihadapkan dengan sindiran pedas dari sang mertua."Ada apa, Bu?" Embun terpaksa menelan bulat-bulat kata-kata menyakitkan dari mertuanya. Dia masih berusaha bersikap sopan."Kasi teleponnya ke Bumi! Malas sekali berbicara sama kamu. Ganggu mood-ku hari ini," ucap Bu Retno mengikuti gaya bicara anak muda masa kini."Memangnya mau bicara soal apa, Bu? Uang lagi? Mas Bumi bukan mesin ATM yang bisa memberikan ibu uang setiap saat."Tak terasa, Embun nekat melawan sang mertua. Dia sudah geram dengan sikap Bu Retno yang bisa dibilang memeras anak dan menantunya."Hah? Apa kamu bilang? Coba katakan sekali lagi!" Bu Retno berteriak dari seberang telepon. Embun tak mau kalah, dia pun mengulang perkataan yang barusan dia ucapkan."Mas Bumi bukan mesin ATM, Bu. Tolong bilang sama anak Ibu yang lainnya untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah. Kami juga punya mimpi untuk keluarga kecil kami. Selama ini, kami bahkan harus irit karena Mas Bumi menuruti keinginan ibu terus. Bagaimana kami bisa punya rumah dan yang lainnya jika Ibu terus menggerogoti kami? Bahkan hanya sekedar kendaraan pun, Mas Bumi tak punya. Dia masih memakai kendaraan milikku, padahal gajinya cukup besar."Embun menghela nafas kasar. Telepon dimatikan secara sepihak olehnya. Dia sudah tahu pasti sang mertua kini sedang memaki-makinya di tempat lain.Di sisi lain, Bumi mendengar percakapan istri dan ibunya sejak tadi. Kebetulan Embun lupa mematikan loudspeaker teleponnya. Dia kini mendekati Embun dan mengambil ponselnya dengan sedikit kasar. Embun terkejut."Kamu tak seharusnya berkata kasar seperti itu pada Ibu. Aku setuju dengan saranmu kemarin, untuk membatasi uang yang akan dikirimkan pada orang rumah. Tapi bukan begini caranya. Aku tersinggung."Bumi meninggalkan istrinya begitu saja. Embun serasa ingin berteriak. Suaminya kini justru kecewa terhadap dirinya. Apa mungkin Embun terlalu jahat? Ataukah ini wajar dilakukan pada mertua yang bahkan tak bisa menghargainya? Karena semakin nurut Embun, dia justru semakin diinjak-injak oleh mertuanya.Telepon kembali berdering. Itu dari Bu Retno, mertua Embun. Kini Bumi yang menerimanya. Tapi Embun ikut melebarkan kuping agar bisa mendengar percakapan mereka."Ibu sakit hati, Bumi. Istrimu keterlaluan. Tolong ajari sopan santun padanya! Jangan berbicara sembarangan sama Ibu! Jadi benalu aja belagu. Sekarang kirimkan uang yang ibu minta. Sekalian saja kirim sepuluh juta!"Deg! Embun merasakan sesak di dada. Sepuluh juta? Ibu mertuanya meminta sepuluh juta pada Bumi? Sedangkan Bumi hanya mendapat gaji sebesar dua belas juta rupiah per bulan.Haruskah Bumi menuruti permintaan ibunya dan membuat keluarganya sendiri kelaparan?"Mas … boleh aku bicara?"Embun mencoba mendekati suaminya di ruang tamu. Sejak tadi pagi, Bumi enggan berbicara dengan Embun. Mungkin pria itu masih banyak pikiran, termasuk masalah antara istrinya dengan ibunya."Iya … mau bicara apa?"Bumi sudah mau bersuara, namun masih datar. Tak ada senyum yang terkembang seperti biasanya."Mas masih marah sama aku?" tanya Embun.Bumi lantas menyuruh istrinya untuk menempati tempat duduk di sampingnya. Dia ingin menyelesaikan masalah tadi pagi."Masih marah sama aku, Mas?" Kembali Embun melontarkan tanya."Mas gak marah, Dek. Mas hanya ingin kamu mengerti. Kamu dan Ibu jangan bermusuhan lagi! Jangan bersitegang lagi! Jujur, kepala Mas pusing. Sudah capek kerja, di rumah juga harus mendapati masalah lagi."Hembusan nafas Bumi di akhir kata, membuat Embun tertunduk. Dia merasa bersalah karena telah menambah beban suaminya. Tapi di sisi lain, Embun juga tak puas kalau hanya dia yang terus diminta mengerti."Mas belum mengirimkan Ibu uang, Dek. Jadi
"Perhiasan itu sudah kukembalikan lagi pada Mama," ucap Embun."Dikembalikan? Kamu tuh bodoh sekali, Embun. Kenapa kamu kembalikan? Itu kan hadiah. Kalau kamu gak mau menerimanya, kasi saja ke Ibu. Biar Ibu yang menyimpannya. Ambil lagi dari Mama-mu! Dan berikan ke Ibu!" ucap Bu Retno, mertua Embun.Embun menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mertua. Padahal Bu Retno tak berhak sama sekali atas perhiasan itu."Maaf, Bu. Kalau pun perhiasan itu ada padaku, aku tak mungkin memberikannya ke Ibu. Itu bukan hak Ibu!" Embun mencoba memberi pengertian pada mertuanya. Tapi itu seperti mengganggu macan tidur. Tentu saja Bu Retno akan murka."Kenapa kamu makin berani sama Ibu, huh? Sudah merasa hebat? Hamil aja kagak, sudah berani nasehatin orang tua."Sesak yang dirasakan Embun saat ini. Terlalu banyak kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Bu Retno padanya. Siapa yang tak ingin memiliki keturunan? Semua wanita pasti mendambakan menjadi seorang Ibu. Mengandung dan melahir
UeeekUeeekUeeekHari ini Embun terlihat lesu. Wajahnya pucat. Sejak tadi dia terus muntah-muntah. Belum ada satu pun makanan yang bisa dia telan."Ayo kita ke dokter saja!" ucap Bumi."Gak usah, Mas. Aku hanya perlu istirahat. Mas berangkat kerja saja! Masih keburu, kok."Bumi menggelengkan kepala. Mana mungkin dia bisa kerja dengan kondisi Embun yang terus melemah. Walaupun Bumi berangkat kerja, dia pasti tak fokus dengan pekerjaannya dan terus memikirkan kondisi kesehatan Embun."Kalau kamu tak mau makan, aku gak akan berangkat kerja," ucap Bumi, seolah memberi ancaman pada Embun."Aku gak bisa, Mas. Bahkan hanya melihatnya saja sudah bisa bikin aku muntah."Embun lagi-lagi mendorong sepiring nasi yang ingin Bumi berikan. Dia benar-benar tak bisa memakannya."Aku kupasin buah aja kalau gitu, ya."Embun hanya mengangguk. Dia membiarkan suaminya sibuk mempersiapkan makanan untuk dia makan. Tak perlu menunggu lama, Bumi telah datang membawa tiga macam buah yang sudah dikupas. Apel,
"Dasar anak kurang ajar."Bu Retno melempar ponselnya ke sofa. Bastian yang baru saja pulang ke rumahnya, merasa heran melihat ibunya memasang wajah kesal."Kenapa, Bu? Kok kayak kesel gitu? Kesel sama siapa?" tanya Bastian."Itu. Kakakmu, Bumi. Sudah berani dia bilang tidak sama Ibu.""Memangnya kalian lagi berdebat soal apa?" tanya Bastian lagi."Katanya … si Embun sudah hamil. Trus Bumi ogah memberi uang pada kita lagi karena akan ditabung buat biaya lahiran istrinya. Ngeselin, 'kan?" tanya Bu Retno. Berusaha mencari dukungan. Tentu harapannya terwujud. Bastian ikut terpancing emosi."Wanita itu pasti sudah meracuni pikiran Mas Bumi. Kita tak boleh tinggal diam." Bastian menghasut ibunya.Bumi memiliki tiga saudara lainnya. Kakak pertamanya adalah Bella. Dia sudah menikah dan ikut suaminya merantau ke luar pulau. Sedangkan, kakak keduanya bernama Bara. Dia kini tinggal di rumah mertuanya yang kaya raya. Sedangkan si bungsu bernama Bastian. Adik Bumi itu masih tinggal bersama ibunya
"Sayang … bener kamu ngusir Ibu?"Embun dikejutkan oleh kedatangan suaminya dari luar rumah. Wajah Bumi terlihat panik. Sesampai di rumah, dia langsung menuju kamar istrinya."Bener kamu ngusir Ibu?" tanya Bumi untuk kedua kalinya."Aku gak bermaksud seperti itu, Mas. Tapi aku terus dipaksa meminum jamu buatan Ibu. Aku muntah berkali-kali, Mas." Embun meneteskan air mata. Dia letih harus mendapat masalah yang serupa untuk kesekian kalinya."Tapi gak mengusir Ibu juga lah. Sudah dua kali loh kamu bersikap tidak sopan seperti ini. Baik buruknya Ibu, kita sebagai anak harus tetap menerima. Karena ia Ibu kita," ucap Bumi. "Sekarang aku tanya sama kamu, Mas," ucap Embun. "Kalau Mama-ku bersikap seperti Ibu padamu, apa kamu bisa tahan? Apa kamu masih bisa terus bertahan dan menelan semua perlakuan buruknya? Aku juga manusia, Mas. Jangan mentang-mentang kita lebih muda, tapi kita bisa diperlakukan seenaknya seperti itu. Kamu tahu kalau aku sering dihina oleh Ibu. Tapi apa respon kamu? Selal
Sudah dua hari ini Bumi tak menjawab telepon dari ibunya. Dia tahu kalau sang ibu akan terus menuntutnya membiayai pernikahan Bastian. Terakhir kali Bumi menerima panggilan telepon dari Bu Retno, dia diminta menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah untuk biaya pernikahan. Tentu Bastian tak punya uang sebanyak itu. Kalau pun mengambil pinjaman di bank, dia ragu bisa membayarnya kalau gajinya saja habis untuk setoran bulanan pada keluarganya di rumah."Mas, kamu kenapa? Sejak pulang dari rumah Ibu, kamu kelihatan murung terus. Sudah gak marah sama aku, 'kan?" Embun menghampiri suaminya yang sedang merenung di teras depan.Bumi lantas menyuruh Embun untuk duduk di sampingnya. Pria itu terus mengelus lembut perut sang istri. Senyumnya merekah. Hanya anak yang ada di rahim Embun yang bisa membuatnya tersenyum."Ada apa, Mas? Katakan! Apa Mas bertengkar dengan Bastian?" tanya Embun, mencoba menebak apa yang terjadi."Tidak, Dek. Sebenarnya Mas malu menceritakan semua ini ke kamu.""Memangny
"Tunggu di sana, Nak! Mama mau ke kontrakanmu!" ucap Bu Nadine, menenangkan putrinya.Rumah orang tua Embun jaraknya lebih dekat dibandingkan dari rumah mertuanya ke kontrakan Embun. Oleh karena itu, Bu Nadine hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke kediaman putrinya itu."Mama …." Embun langsung menghambur ke pelukan ibunya."Dimana Bumi?" tanya Bu Nadine."Mas Bumi masih kerja, Ma. Aku sendiri di rumah."Bu Nadine mengangguk. Ia lantas memboyong putrinya masuk ke rumah. Teh hangat dibuatkan oleh sang mama untuk Embun. Setelah dirasa tenang, wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu bertanya lagi pada putrinya."Bener perhiasanmu tak ada, Nak?" Embun mengangguk cepat, menjawab pertanyaan ibunya."Coba Mama yang cari."Bu Nadine dan Embun lantas masuk ke kamar dan kembali menggeledah seisi kamar untuk menemukan keberadaan satu set perhiasan emas itu. Tapi nihil. Perhiasan itu benar-benar menghilang."Benar kamu menyimpannya di sini?""Benar, Ma.
Untuk sementara ini, Embun pulang ke rumah orang tuanya. Bukan bermaksud untuk berpisah selamanya dengan sang suami. Dia hanya ingin menenangkan diri. Ditambah lagi, kondisi kesehatannya yang masih lemah karena hamil muda, memaksanya untuk tetap dalam pengawasan orang banyak. Mama dan Papa Embun bersedia menjaga putrinya untuk sementara waktu. Sedangkan Bumi akan menjenguk Embun tiap dua hari sekali. Bagaimana dengan pernikahan Bastian dan Lidya? Apa tetap dilaksanakan? Tentu. Tapi Bumi hanya mampu membantu biaya pernikahan sebesar tiga juta rupiah. Sisa tabungannya yang sebenarnya ingin disimpan untuk biaya lahiran Embun.Pernikahan yang awalnya ingin diselenggarakan secara meriah oleh Bu Retno, kini berubah menjadi sederhana saja. Tak ada gaun pesta apalagi tenda pernikahan. Pernikahan Bastian dan Lidya pun hanya disaksikan oleh Bumi, tanpa kedua kakaknya yang lain. Sedangkan Embun enggan hadir ke acara pernikahan Bastian. Hatinya masih sakit ulah perbuatan mertua dan iparnya itu.
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana