Sudah dua hari ini Bumi tak menjawab telepon dari ibunya. Dia tahu kalau sang ibu akan terus menuntutnya membiayai pernikahan Bastian. Terakhir kali Bumi menerima panggilan telepon dari Bu Retno, dia diminta menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah untuk biaya pernikahan. Tentu Bastian tak punya uang sebanyak itu. Kalau pun mengambil pinjaman di bank, dia ragu bisa membayarnya kalau gajinya saja habis untuk setoran bulanan pada keluarganya di rumah.
"Mas, kamu kenapa? Sejak pulang dari rumah Ibu, kamu kelihatan murung terus. Sudah gak marah sama aku, 'kan?" Embun menghampiri suaminya yang sedang merenung di teras depan.Bumi lantas menyuruh Embun untuk duduk di sampingnya. Pria itu terus mengelus lembut perut sang istri. Senyumnya merekah. Hanya anak yang ada di rahim Embun yang bisa membuatnya tersenyum."Ada apa, Mas? Katakan! Apa Mas bertengkar dengan Bastian?" tanya Embun, mencoba menebak apa yang terjadi."Tidak, Dek. Sebenarnya Mas malu menceritakan semua ini ke kamu.""Memangnya ada apa, sih?""Keluargaku banyak masalah. Terkadang juga merembet ke kamu. Aku malu padamu. Keluargaku tak sehangat keluargamu," ucap Bumi dengan wajah murung."Kok ngomong gitu? Kita hadapin sama-sama, Mas! Ayo cerita!" Embun terus mendesak suaminya untuk bercerita."Bastian menghamili pacarnya. Dia harus bertanggung jawab dan menikahi wanitanya. Tapi Mas pusing karena terus dituntut membiayai pernikahannya. 100 juta, Dek. Darimana Mas punya uang sebanyak itu?" Akhirnya Bumi berkeluh-kesah pada istrinya.Embun menghela nafas panjang. Masalah di keluarga suami tak jauh-jauh soal uang. Buruk sekali nasib Bumi. Dia harus pontang-panting bekerja, dan uangnya selalu habis tak bersisa. Dia tak punya barang atas namanya. Bahkan kendaraan yang dia pakai hanya lah motor, itu pun motor milik Embun. Teman-temannya di kantor sudah memiliki mobil atau rumah. Tapi Bumi tak memiliki satupun dari itu.Embun merasa iba dengan suaminya. Selalu murung dan seakan kehilangan sebagian semangat hidupnya. Hanya calon anak mereka yang mampu membuat dia tersenyum lepas.—-----------------"Gimana, Bu? Ada uangnya?"Bu Retno mendatangi kediaman orang tua Embun. Pak Salim dan Bu Nadine yang merupakan orang tua Embun, merasa heran dengan kedatangan besannya yang mendadak."Untuk apa uangnya itu, Bu?" tanya Pak Salim."Em … gimana, ya, ngomongnya. Banyak kebutuhan yang saya punya, Pak. Dan dekat ini, anak saya, Bastian, mau menikah. Saya tak punya pegangan uang sepeser pun. Seorang janda seperti saya yang ditinggali empat orang anak di dunia ini, sangat berat bagi saya." Bu Retno mengiba."Tapi, anak-anak Ibu kan sudah besar dan pada berkeluarga. Memangnya mereka masih memberatkan Ibu soal finansial? Mungkin hanya Bastian saja yang masih perlu dibiayai. Seusia dia juga seharusnya sudah bisa mencari kerja. Apalagi, sudah mau meminang anak orang." Bu Nadine kini ikut buka suara.Wajah Bu Retno seketika berubah masam. Ia benar-benar kesal diceramahi oleh Bu Nadine. Tapi ia harus tetap tersenyum demi rencana yang sudah disusun."Iya, Bu. Tapi mau gimana lagi, Bastian punya sedikit kekurangan. Sejak kecil dia susah diatur oleh orang lain. Kalau nanti dia bekerja, saya takut dia dibentak dan disuruh-suruh oleh bosnya," ucap Bu Retno. Tetap dengan senyum di bibirnya.Dunia kerja memang seperti itu. Jika tak ingin diperintah oleh orang lain, buat lah usaha sendiri. Uang tak akan datang bagi orang-orang yang enggan berusaha dan selalu mencari alasan."Jadi gimana, Pak ... Bu? Uangnya ada?" Kembali Bu Retno menanyakan perihal uang 100 juta yang ingin ia pinjam dari orang tua Embun.Pak Salim dan Bu Nadine kini saling menatap. Namun, akhirnya Pak Salim mengangguk. Seolah memberi isyarat pada istrinya untuk mengambil uang yang tersimpan di kamarnya.Sesaat kemudian, Bu Nadine kembali ke ruang tamu dengan amplop cokelat di tangannya. Bu Retno sangat senang melihat amplop itu. Ia sudah bisa membayangkan mandi uang di atas kasur."Ini, Bu!" Bu Nadine menyerahkan amplop cokelat itu. Gegas diambil oleh Bu Retno. Namun, sesaat kemudian, Bu Retno menautkan alis. Tak mungkin uang seratus juta setipis ini. Seperti tak tahu malu, Ibunda Bumi itu langsung membuka amplop dan menghitung uang di dalamnya di hadapan orang tua Embun."Kok cuma lima juta, Pak ... Bu? Saya kan mintanya 100 juta. Ini kurangnya banyak sekali." Tak terasa, nada bicara Bu Retno mulai meninggi."Maaf, Bu. Kami hanya punya uang pegangan sebesar itu. Tak perlu dikembalikan! Kami sudah ikhlas. Hitung-hitung membantu Ibu dan juga pernikahan Bastian," ucap Bu Nadine dengan hati-hati."Ya, sudah. Makasi. Tapi lain kali, kalau ada orang yang mau minjem uang, kasi saja sesuai jumlah yang diminta! Jangan tiba-tiba mengiyakan, tapi jumlah uangnya kurang. Itu namanya memberi harapan palsu. Permisi. Saya pulang dulu."Orang tua Embun menggelengkan kepala. Mereka tak menyangka kalau Bu Retno bisa bicara tak sopan seperti itu. Bukannya merasa senang karena dibantu, tapi ia justru menasehati orang tua Embun perihal uang yang dipinjamkan."Mau nelpon siapa, Ma?" tanya Pak Salim pada istrinya."Aku mau nelpon Embun, Pa," ucap Bu Nadine sambil terus mengutak-atik ponsel."Sudah, Ma! Jangan bikin Embun pusing! Putri kita lagi hamil. Jangan menambah beban pikirannya." Pak Salim tak setuju istrinya mengadu pada Embun."Enggak, Pa. Mama gak akan menambah beban pikiran Embun. Mama hanya ingin putri kita berhati-hati."Tak peduli dengan nasehat suaminya, Bu Nadine tetap menelpon anak satu-satunya itu.TuuuutTuuuutTuuuutTersambung. Bu Nadine menunggu dengan sabar."Halo, Ma." Terdengar suara Embun dari seberang sana."Halo, Sayang. Gimana kabarmu dan cucu Mama?" Bu Nadine berbasa-basi. Embun pun menjawab pertanyaan ibunya dengan riang. Setelah dirasa cukup, Bu Nadine pun beralih ke topik utama."Sayang, perhiasan yang Mama dan Papa hadiahkan, masih kamu simpan?" tanya Bu Nadine."Oh … masih kok, Ma. Kenapa? Mama perlu perhiasan itu?"Benar. Satu set perhiasan yang diberikan oleh orang tuanya, masih tersimpan rapi di kamar Embun. Tempo hari, dia berbohong pada mertuanya kalau perhiasan itu sudah dikembalikan pada orang tuanya."Oh, bukan, Sayang. Itu hak kamu. Tak ada yang boleh merampasnya. Sekalipun itu mertuamu," ucap Bu Nadine penuh penekanan. Dari seberang telepon, terdengar suara Papa Embun yang menyuruh Bu Nadine mematikan teleponnya."Memangnya ada apa, sih, Ma?"Bu Nadine menceritakan semua yang terjadi. Ia sangat kesal dengan besannya. Tersinggung dan sakit hati."Ma, maafin Ibu, ya. Mama dan Papa jadi ikut kena imbasnya," ucap Embun. Dia merasa tak enak hati karena sering melibatkan orang tuanya ke dalam masalah keluarga suami."Tak apa, Sayang. Mama cuma minta kamu simpan baik-baik perhiasan yang kami berikan. Coba dicek lagi, Sayang!"Embun mengikuti saran ibunya dan langsung pergi ke kamar untuk melihat perhiasan yang selama ini dia simpan baik-baik. Tapi ternyata …."Ma, perhiasan Embun hilang. Gak ada. Gimana ini, Ma?""Tunggu di sana, Nak! Mama mau ke kontrakanmu!" ucap Bu Nadine, menenangkan putrinya.Rumah orang tua Embun jaraknya lebih dekat dibandingkan dari rumah mertuanya ke kontrakan Embun. Oleh karena itu, Bu Nadine hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke kediaman putrinya itu."Mama …." Embun langsung menghambur ke pelukan ibunya."Dimana Bumi?" tanya Bu Nadine."Mas Bumi masih kerja, Ma. Aku sendiri di rumah."Bu Nadine mengangguk. Ia lantas memboyong putrinya masuk ke rumah. Teh hangat dibuatkan oleh sang mama untuk Embun. Setelah dirasa tenang, wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu bertanya lagi pada putrinya."Bener perhiasanmu tak ada, Nak?" Embun mengangguk cepat, menjawab pertanyaan ibunya."Coba Mama yang cari."Bu Nadine dan Embun lantas masuk ke kamar dan kembali menggeledah seisi kamar untuk menemukan keberadaan satu set perhiasan emas itu. Tapi nihil. Perhiasan itu benar-benar menghilang."Benar kamu menyimpannya di sini?""Benar, Ma.
Untuk sementara ini, Embun pulang ke rumah orang tuanya. Bukan bermaksud untuk berpisah selamanya dengan sang suami. Dia hanya ingin menenangkan diri. Ditambah lagi, kondisi kesehatannya yang masih lemah karena hamil muda, memaksanya untuk tetap dalam pengawasan orang banyak. Mama dan Papa Embun bersedia menjaga putrinya untuk sementara waktu. Sedangkan Bumi akan menjenguk Embun tiap dua hari sekali. Bagaimana dengan pernikahan Bastian dan Lidya? Apa tetap dilaksanakan? Tentu. Tapi Bumi hanya mampu membantu biaya pernikahan sebesar tiga juta rupiah. Sisa tabungannya yang sebenarnya ingin disimpan untuk biaya lahiran Embun.Pernikahan yang awalnya ingin diselenggarakan secara meriah oleh Bu Retno, kini berubah menjadi sederhana saja. Tak ada gaun pesta apalagi tenda pernikahan. Pernikahan Bastian dan Lidya pun hanya disaksikan oleh Bumi, tanpa kedua kakaknya yang lain. Sedangkan Embun enggan hadir ke acara pernikahan Bastian. Hatinya masih sakit ulah perbuatan mertua dan iparnya itu.
"Ini putra Bapak dan Ibu. Langsung disusui ya, Bu!" Suster di rumah sakit Surya Medika, menyerahkan putra pertama Embun dan Bumi.Semua orang di ruangan itu bersuka cita. Embun, Bumi, Bu Nadine, dan Pak Salim, berlomba-lomba ingin menggendong bayi tampan yang diberi nama Rayyan Hadinata."Matanya indah, seperti ibunya. Rambutnya bagus seperti ayahnya," ucap Bu Nadine sembari menimang-nimang cucu pertamanya. Bumi dan Embun tersenyum mendengar ucapan Bu Nadine. Benar. Wajah Rayyan merupakan perpaduan kedua orang tuanya. Kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini tak dapat didefinisikan. Walau tanpa kehadiran ibunya, Bumi tetap bahagia menyambut putra pertamanya. —-----------------"Cih, sok bahagia." Lidya tak senang melihat story IG Bumi yang memperlihatkan foto kebersamaan keluarga mereka di rumah sakit."Kamu kenapa, Lid?" tanya Bu Retno pada menantunya."Ini, Bu! Lihat! Menantu kesayangan Ibu sudah melahirkan juga."Bu Retno melihat isi dari ponsel Lidya. Terlihat senyum merekah B
"Makanya yang bener naruh barang, Sayang. Apalagi barang berharga," ucap Bumi, menasehati istrinya."Kurang bener apa coba? Aku sudah taruh di laci paling dalam. Lagipula, aku juga di kamar terus. Paling keluar kalau lagi ambil minum atau ke toilet. Kamu juga ada di rumah, 'kan?" ucap Embun.Sebenarnya dia merasa curiga dengan Ibu mertuanya, tapi tak mungkin Embun ungkapkan di hadapan Bumi. Ingin bertanya secara langsung pun enggan. Barang tak kembali, malah makian yang didapat. Embun benar-benar ingin tenang sementara waktu.TriiingTriiingTriiingPonsel Embun berdering. Itu dari Bu Nadine."Halo, Ma," jawab Embun."Halo, Sayang. Maaf, ya, Nak. Besok Mama baru bisa ke sana. Kemarin, sehabis pulang dari rumah sakit, badan Mama sedikit meriang. Mama baru bangun malam-malam begini. Trus ingat kamu dan si ganteng" ucap Bu Nadine. Sebagai Nenek, ia pasti sangat merindukan cucu pertamanya itu. Maklum, Embun adalah anak tunggal. Sudah lama Bu Nadine dan Pak Salim tak merasakan menggendong
"Mobil siapa tuh, Ma? Mama dan Papa ganti mobil?" tanya Embun.Bu Nadine menggelengkan kepala sembari tersenyum. Ia lantas mengambil Rayyan dari gendongan Embun dan mendekapnya ke pelukan. Ia lantas menyuruh Embun untuk menghampiri mobil yang tengah dibawa oleh Pak Salim."Lihat lah, Nak! Berikan pendapatmu tentang mobil itu ke Papa."Embun dan teman-temannya lantas mendekati mobil berwarna putih dan masih terlihat kinclong. Bukan mobil yang mewah, namun masih tergolong bagus.Bu Retno juga ikut menghampiri mobil milik Embun yang ada di luar kontrakan. Ia tak sadar ikut mengelus body mobil itu sambil tersenyum. "Bagus sekali." Begitu lah isi pikiran Bu Retno saat ini.Setelah puas mencoba mobil baru, mereka pun kembali ke dalam kontrakan. Teman-teman Embun memberi ucapan selamat dan undur diri dari kontrakan itu."Eh … Bu. Ngapain masih di sana? Pengen, ya?" Nisa menghampiri Bu Retno yang masih berdiri dengan tatapan kagum ke arah mobil Embun. Nisa menggoda Bu Retno. Iya. Saat teman-
"Mau kemana, Mas?"Pagi-pagi sekali, Bumi sudah rapi dan bersiap untuk pergi. Embun heran melihat suaminya bangun lebih pagi. Padahal setau Embun, hari ini Bumi ada shift sore."Eh … kamu sudah bangun, Sayang? Aku mau ke bank dulu, ya.""Ngapain, Mas?""Kemarin pinjaman Mas sudah disetujui. Hari ini Mas mau ambil uang dan langsung membeli tanah milik teman Mas.""Wah … sat set sat set sekali sayangku ini. Semangat, ya, Mas.""Doain Mas, ya, Dek. Mas harus pergunakan uang ini secepat mungkin. Jika dibiarkan lama di tabungan, pasti ada saja yang memaksa Mas untuk memakai uang itu untuk keperluan lain. Mas terlalu malu sama Mama dan Papa. Mereka sudah banyak membantu kita. Mas gak mau mengecewakan mereka."Embun langsung memeluk suaminya dengan erat. Ucapan doa mengalir dari bibirnya untuk sang suami. Embun senang kalau Bumi memiliki tujuan yang sama dengannya."Oh iya ... Mama mana?" tanya Bumi."Kan kamu yang duluan bangun, Mas. Memangnya gak liat Mama?" Bumi menggeleng. Sudah beberapa
"Aku mau pulang ke kontrakan, Bu. Mau siap-siap berangkat kerja. Maaf, ya, belum bisa ngajak kalian jalan-jalan." Bumi menolak secara halus. Tapi perkataannya justru membuat ibunya marah."Kamu gimana, sih? Ibu sampai bela-belain ke sini karena semangat mau diajak jalan-jalan. Arista sampai Ibu titip di tetangga. Semua itu Ibu lakuin demi bisa jalan-jalan."Huft. Bumi menghela nafas kasar. Dia pusing terus ditekan seperti ini oleh keluarganya. Dia sengaja tak mampir ke rumah untuk menghindari masalah, tapi mereka justru bertemu di luar rumah. "Kalau kamu memang sibuk kerja, ya sudah. Mobilnya tinggalin di rumah! Biar Ibu bisa pergi jalan-jalan dianter sama Bastian.""Betul itu, Bu. Lidya setuju.""Bagus juga ide Ibu. Nanti biar aku yang nganter kalian keliling kota."Bu Retno, Lidya, dan Bastian sangat kompak. Mereka bertiga ingin menguasai mobil yang bukan hak-nya."Tapi Bastian belum lancar mengendarai mobil, Bu. Ini juga mobil milik Embun. Aku tak mungkin meminjamkan mobil ini tan
"Aku ingin bercerai, Bu."Ucapan Bara berhasil membuat ibunya terkejut. Begitu pun dengan Bastian dan Lidya. "Memangnya kenapa, Nak? Kenapa kamu ingin bercerai?""Aku sudah tak tahan dengan Elsa, Bu. Dia tak bisa menghormatiku sebagai suami," ucap Bara. Dia menceritakan perlakuan istrinya selama ini. Dia merasa telah melakukan tugas sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, tapi Elsa—istrinya, selalu memperlakukan Bara dengan tidak adil."Mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya memperlakukan anakku seburuk itu. Ya, sudah. Kalian bercerai saja! Ambil semua harta hasil jerih payahmu selama ini, Bara! Rumah yang kalian tempati, itu hasil jerih payahmu, 'kan? Ambil sertifikatnya dan jual! Setelah itu baru kalian bercerai."Bara mengangguk dengan ragu. Seperti ada yang dia tutupi pada ibunya."Trus mobil yang di depan itu siapa yang beli? Mas, 'kan? Bukan Mbak Elsa?" tanya Bastian.Lagi-lagi, Bara mengangguk pelan. Gerakannya terpatah-patah, seperti orang gugup."Ya jelas, Mas-mu
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana