Dua bulan berlalu. Saat ini, Bu Retno mulai kesulitan memberikan makan tiga kepala di rumah ini. Bara yang kini telah tinggal di rumah Bu Retno, hanya menghabiskan waktunya untuk makan dan tidur. Sama seperti kebiasaannya dulu saat masih di rumah mewahnya."Bu, kasi tahu Mas Bara buat kerja juga, dong! Masa aku saja yang kerja. Gak cukup buat makan kita berempat. Mas Bumi juga mulai susah dimintain uang," protes Bastian pada ibunya."Kamu saja yang bilangin, lah!""Ibu pilih kasih. Mas Bara yang kerjaannya makan tidur makan tidur doang tapi gak diomelin. Enak saja kelakuannya bak raja di rumah ini.""Sudah lah, diam! Mending kamu minta uang sama Bumi saja dibanding memaksa Bara untuk kerja. Nanti kita gak diizinin pakai mobilnya Bara. Memangnya kamu mau seperti itu?""Aaah …." Bastian begitu kesal. Dia lantas memilih keluar rumah. Nongkrong di pangkalan ojek sembari mencari penumpang.Bu Retno sebenarnya juga kesal dengan tingkah anak keduanya yang hanya menghabiskan waktunya untuk ti
"Anakmu belum lancar merangkak, Mbak? Kok bisa, ya? Ini lihat Arista! Sudah pintar merangkak."Embun hanya tersenyum tipis saat Lidya membandingkan anaknya dengan Rayyan. Di usia Rayyan yang ke-enam bulan, dia memang belum lancar merangkak. Tapi Embun terus bersabar untuk mengajarkan dan menemani anaknya bertumbuh."Ya, Arista kan memang bayi cerdas. Ibu bangga punya cucu kayak dia."Lagi-lagi, Embun harus mendapatkan sindiran yang membuat hatinya perih. Itu dari ibu mertuanya.Entah apa yang membuat keluarga suaminya tiba-tiba datang beramai-ramai ke kontrakan milik Embun dan Bumi. Bahkan Embun juga baru tahu kalau Mas Bara, kakak iparnya, telah resmi bercerai dengan istrinya. "Ternyata kontrakanmu sempit, ya, Mbak? Lebih lega di rumah," ucap Lidya. Matanya memandang ke setiap sudut rumah.Huft. Lagi-lagi Embun tak merespon ucapan dari semua orang."Heh … dari tadi gak nyahut-nyahut terus. Lidya bertanya tuh!" Embun ditegur Bu Retno."Maaf, Bu. Aku mau nyiapin MPASI-nya Rayyan dulu.
"Aduuuh … capek banget.""Iya, nih, Mas. Jauh banget, ya?"Bara dan Bastian lantas merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Mereka terlihat sangat kelelahan. Sedangkan Bumi langsung membersihkan diri ke kamar mandi. Dia ingin segera memeluk anaknya."Kalian sudah pulang?" Bu Retno muncul dari dalam kamar."Iya, Bu. Capek banget," ucap Bastian. "Loh, istrimu mana?" Bu Retno bertanya pada Bastian."Kok malah nanya sama aku, Bu? Bukannya Lidya dari tadi di sini sama Ibu?"Bu Retno mengangkat kedua bahunya. Tadi, saat ia terbangun dari tidur lelapnya, Lidya dan Arista sudah tak lagi di sampingnya. Ia mengira Lidya ada di ruang tamu."Astaga."Bu Retno dan Bastian menoleh ke arah Bumi. Suami Embun itu terlihat berdiri di pintu kamarnya dan melihat ke arah dalam."Ada apa, Mi?" tanya Bu Retno. Ia lantas menghampiri anaknya. Ikut melihat objek yang ditangkap mata oleh Bumi."Astaga, Lidya. Ngapain kamu tidur di bawah?" Bu Retno berteriak.Embun yang tertidur di kamar yang sama, ikut terkejut
"Bu …." Bara mendekati ibunya.Bu Retno yang sedang memotong sayur untuk dimasak pun menoleh ke arah anaknya."Kenapa?" "Ada yang mau aku bicarakan sama Ibu." Bara berbicara sambil menundukkan kepalanya."Mau bicara apa? Bicara lah!"Bu Retno lantas menyuruh Bara duduk di sampingnya. "Tanah Ayah yang deket persimpangan itu masih ada, Bu?" "Masih. Mau ngapain?" "Boleh gak Bara pinjam sertifikatnya? Mau Bara gadaikan sertifikat itu agar bisa memberikan Elsa uang.""Memberikan uang? Buat Elsa? Untuk apa?"Bara lantas kembali mengingatkan ibunya tentang kewajibannya untuk menafkahi anak-anaknya sebesar sepuluh juta rupiah per bulan. Bara juga mengungkapkan rasa cemas dan khawatirnya jika dia tak memenuhi tanggung jawabnya. Elsa akan terus membuat dirinya menderita."Tapi Ibu gak akan kasi sertifikat itu ke kamu. Tanah itu untuk pegangan Ibu nanti saat duit Ibu benar-benar habis."Bu Retno tetap bersikukuh mempertahankan sertifikat tanah peninggalan suaminya. Dia tak mau ada seorang pu
"Sabar, Bas! Tahan emosimu!"Semua orang berusaha menenangkan Bastian. Persekusi itu bukan lah solusi. Mereka harus bisa menyelesaikan masalah perselingkuhan ini sesuai norma dan hukum yang berlaku."Kalian semua tak mengerti sakit hatiku! Gampang bagi kalian memberi solusi ini dan itu. Gampang bagi kalian untuk berkata sabar."Bastian kembali berteriak. Kali ini untuk semua orang yang hadir. Dia sulit untuk ditenangkan."Permisi … permisi."Pak RT akhirnya datang memecah keramaian. Ia lantas berdiri di tengah-tengah Bastian dan Bara."Duduk, Pak. Silahkan!" Mpok Sari mewakili sang tuan rumah untuk menyambut kedatangan salah satu tokoh di kampung mereka.Pak RT mengangguk dan menyambut baik keramahan Mpok Sari."Sini, Nak! Duduk di samping saya!"Setelah menempati tempat duduk yang telah disediakan, Pak RT lantas meminta Bastian untuk mendekat ke arahnya. Ia akan menjadi tembok pembatas antara Bastian dan Bara."Saya ingin mereka dipermalukan, Pak! Arak mereka keliling kampung! Setela
TokTokTokEmbun yang sedang berdua dengan Rayyan di kontrakannya, terkejut dengan suara ketukan pintu yang terus menerus."Itu siapa, ya? Apa Mas Bumi? Ada barang yang ketinggalan, ya?" Embun bergumam.Pasalnya, Bumi baru saja berangkat kerja. Siang hari yang cukup hening di kompleks perumahan ini, membuat Embun waspada akan suara ketukan pintu di depan rumah."Siapa, ya? Mas Bumi, ya?" Embun berteriak. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara ketukan pintu yang terus berlanjut tanpa jeda.Tak mungkin itu Bumi. Jika itu adalah suami Embun, ia pasti akan langsung masuk ke dalam kontrakan. Toh, Bumi punya kunci cadangan. Kalau pun kuncinya tertinggal, Bumi akan mengetuk sembari memanggil nama istrinya. Embun mulai cemas. Dia ingat akan rumor pencuri kejam di kompleks perumahan itu. Tempo hari, ada kasus pencurian yang berujung pembunuhan di daerah itu. Pelakunya belum tertangkap. Sama sekali tak merasa takut, justru pencuri itu beraksi saat siang hari. Menyasar rumah-rumah tanpa penghuni
TokTokTokPercakapan antara Bumi dan Bastian disela oleh suara ketukan pintu dari arah depan. Embun juga ikut menghentikan aktivitasnya dan menengok ke arah pintu depan."Biar aku yang buka," ucap Bumi. Dia mencegah istrinya untuk menyambut tamu yang datang.Ceklek"Bastian mana?"Tanpa basa-basi, Bu Retno langsung menerobos masuk ke kontrakan Bumi, sesaat setelah pintu dibuka."Mau apa lagi Ibu ke sini?" tanya Bastian."Ayo, pulang, Nak! Ibu minta maaf."Bu Retno bersimpuh di hadapan anak bungsunya. Ia terus meminta Bastian untuk kembali. Sedangkan Bumi dan Embun merasa heran akan situasi yang terjadi saat ini. Masalah apa yang tengah dihadapai Bastian dan ibunya? Bumi tak tahu. Pasalnya, adiknya itu belum sempat menceritakan masalahnya secara lengkap."Nggak. Aku nggak mau pulang kalau orang itu masih di rumah Ibu." Bastian menunjuk ke arah pintu depan. Sontak Embun dan Bumi menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Bastian."Mas Bara?" gumam Bumi. "Memangnya ada apa nih, Bu? Ada apa
"Astaga," ucap Bumi sambil mengelus dadanya. Bu Retno memandanginya dengan tatapan tajam."Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Bu Retno.Jelas Bumi keberatan. Dia tak memiliki banyak uang. Sebagian gajinya telah dia gunakan untuk membayar hutang di bank. Kini, sang ibu justru ingin melaksanakan rencana yang ada di pikirannya, tapi dengan cara membebani Bumi. "Lalu apa gunanya Bastian dan Mas Bara, Bu?" Tak sadar, Bumi telah berbicara lancang. Hal ini dikarenakan rasa pedih yang menjalar dalam hatinya. Dia benar-benar tak diinginkan. Namanya hanya disebut saat Bu Retno menginginkan uang."Mereka belum memiliki kerja yang bagus. Mana bisa bantu Ibu membiayai pembangunan kos. Lancang sekali kamu bicara. Gak takut saudara-saudaramu tersinggung?""Ibu hanya peduli dengan perasaan anak Ibu yang lainnya. Tapi perasaanku, tak sekalipun Ibu memedulikannya. Sebenarnya aku ini anak kandung apa bukan sih, Bu?"Bumi menangis seperti anak kecil. Lenyap sudah sikap tegar yang selalu dia tunjukkan saat d
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana