"Astaga," ucap Bumi sambil mengelus dadanya. Bu Retno memandanginya dengan tatapan tajam."Kenapa? Kamu keberatan?" tanya Bu Retno.Jelas Bumi keberatan. Dia tak memiliki banyak uang. Sebagian gajinya telah dia gunakan untuk membayar hutang di bank. Kini, sang ibu justru ingin melaksanakan rencana yang ada di pikirannya, tapi dengan cara membebani Bumi. "Lalu apa gunanya Bastian dan Mas Bara, Bu?" Tak sadar, Bumi telah berbicara lancang. Hal ini dikarenakan rasa pedih yang menjalar dalam hatinya. Dia benar-benar tak diinginkan. Namanya hanya disebut saat Bu Retno menginginkan uang."Mereka belum memiliki kerja yang bagus. Mana bisa bantu Ibu membiayai pembangunan kos. Lancang sekali kamu bicara. Gak takut saudara-saudaramu tersinggung?""Ibu hanya peduli dengan perasaan anak Ibu yang lainnya. Tapi perasaanku, tak sekalipun Ibu memedulikannya. Sebenarnya aku ini anak kandung apa bukan sih, Bu?"Bumi menangis seperti anak kecil. Lenyap sudah sikap tegar yang selalu dia tunjukkan saat d
Dua bulan berlaluBumi benar-benar memutus kontak dengan keluarganya di rumah. Dia tak mau lagi menerima telepon dari Bu Retno. Jatah bulanan yang selama ini rutin dikirimkan pada keluarganya, kini sudah benar-benar dihentikan. Ditambah lagi, Bumi dan Embun kini telah pindah ke rumah orang tua Embun. Hal itu membuat Bu Retno susah untuk menemuinya."Sial. Bumi bener-bener mengabaikanku." Bu Retno marah. Dia membanting ponselnya ke kasur. Lidya yang mendengar mertuanya berteriak, mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka.Iya. Lidya telah kembali bersama Bastian. Entah apa yang dipikirkan Bastian saat itu hingga luluh dan mau menerima Lidya kembali. Sedangkan Bara memilih mengalah dan pergi dari rumah ibunya. Dia memutuskan untuk menyewa kontrakan yang tak jauh dari rumahnya. Terpaksa, mobil satu-satunya harus dijual oleh Bara untuk menghidupi dirinya sendiri.TokTokTokKetukan pintu dari arah depan, membuat Lidya terkejut. Dia lantas menjauh dari kamar mertuanya dan mendekat ke
"Buka pintunya, Bu!"BruuushKopi yang baru saja diminum oleh Bara, harus kembali keluar dari mulutnya. Dia terkejut karena suara ketukan pintu yang cukup kencang."Mas Bumi, Mas … gimana ini?" Lidya panik. Dia terus mondar-mandir di depan Bara."Hei … hei. Ngapain kamu panik gitu? Itu, 'kan cuma Bumi. Dia bukan Bastian atau Pak RT," ucap Bara menenangkan kekasihnya."Tapi, Mas … kalau dia liat kita berduaan, bisa-bisa dia lapor ke Bastian. Lagipula, Mas Bumi terlihat begitu marah. Jangan-jangan dia ke sini mau minta uang kos itu."Lidya benar-benar tak terkendali. Berbagai pikiran buruk terlintas di kepalanya. Dia tak ingin ada orang lain yang melihat kebersamaannya dengan Bara. Lidya takut. Tak ingin dijadikan tontonan publik seperti dulu. "Mas … aku gak mau digrebek kayak dulu. Aku malu, Mas. Aku takut." Lidya memeluk Bara. Tangan Bara lantas mengelus pundak kekasihnya dan menenangkan wanita itu."Ya, sudah. Kamu buka pintu buat Bumi! Biar aku sembunyi saja."Lidya pun menuruti sa
"Tolong, Bu! Tolong aku! Aku gak bisa melihat." Bastian histeris. Kesadarannya kembali namun penglihatannya justru menghilang. Yang dia lihat saat ini hanya lah warna hitam pekat. Gelap.Bu Retno yang sedari tadi berdiri di samping Bastian, kini mulai gelisah. Ada apa dengan anaknya? Sedangkan Bumi mencari dokter yang menangani Bastian untuk menanyakan kondisi adiknya."Karena cidera di kepalanya, membuat penglihatan Bastian terganggu.""Jadi adik saya mengalami kebutaan, dok?"Bumi seketika lunglai mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Bastian. Adiknya mengalami cidera yang cukup parah yakni cidera kepala serta patah tulang kaki. Dan yang paling parah ada pada indera penglihatannya. Bastian kini tak bisa melihat."Apa? Mas Bastian buta?"Lidya terkejut setelah mendapat kabar dari Bumi. Wanita itu tak ikut ke rumah sakit dengan alasan menjaga si kecil, Arista. Dia ditemani oleh Bara di rumah Bu Retno. Bumi tak sempat lagi mengurus dua sejoli itu karena terlalu khawatir akan kon
"Sudah lah, Bas! Jangan egois! Kalau kamu menceraikan Lidya, tak ada yang mau menikah denganmu lagi. Kamu kan gak bisa melihat."Ucapan Bu Retno seketika membuat Bumi dan istrinya terkejut. Kenapa ibunya begitu tega menyiksa batin anak-anaknya? Kali ini, yang menjadi korbannya adalah Bastian."Bu … tolong jaga bicaranya! Ibu gak kasihan sama Bastian?" Embun menegur mertuanya.Tak terlihat ada raut penyesalan di wajah Bu Retno. Ia sepenuhnya sadar mengucapkan kata-kata menyakitkan itu. Membuat psikologis anaknya semakin terganggu. Sulit menerima kenyataan bahwa di dunia ini ada seorang ibu yang begitu tega menyakiti hati anak-anaknya. Menaburkan garam di luka menganga pada hati anak-anaknya."Diam kamu! Aku tak butuh nasehat darimu. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini." Bu Retno membentak Embun.Bastian sudah kembali ke rumahnya. Banyak orang yang bersimpati padanya. Banyak tetangga yang menjenguknya karena Bastian memang telah berubah menjadi pribadi yang baik sebelum terjadinya kecel
"Ayo ikut Ibu!"Bu Retno menarik tangan Bastian dengan kuat. Anak itu sempat memberontak dan menegur ibunya."Pelan-pelan, Bu. Lututku terbentur meja. Memangnya ada apa?" Bastian terlihat sangat kesakitan. Dia dipaksa mengikuti langkah ibunya yang cepat. Padahal kondisi Bastian saat ini tidak bisa melihat."Sudah lah! Ikut Ibu saja! Di depan ada Mbah Sirat.""Mbah Sirat?""Iya. Kamu pijitin dia! Sekarang kamu telah resmi menjadi tukang pijat. Ibu sudah promosi ke orang-orang. Ibu juga sudah pasang papan nama di depan rumah, bahwa kamu menawarkan jasa pijat."Langkah Bastian terhenti. Tubuhnya mendadak kaku. Bahkan sang Ibu berusaha keras untuk mendorong tubuhnya keluar menuju ruang tamu, namun tak bisa."Tukang pijat? Bu, aku gak bisa. Aku gak punya keahlian jadi tukang pijat.""Ah … itu mah gampang. Apalagi untuk lansia seperti Mbah Sirat. Kamu tinggal pijat-pijat ala kadarnya saja. Sudah lah, lakukan apa yang Ibu minta. Memangnya kamu mau Arista kekurangan makanan karena kamu tak la
"Lihat, Bu! Mereka asik merayakan ulang tahun Rayyan tanpa mengundang kita." Lidya menyerahkan ponselnya pada Bu Retno. Di ponsel itu terlihat postingan yang diunggah Embun di akun media sosial miliknya. Video yang menampakkan wajah Embun, Bumi, Bastian, dan kedua orang tua Embun, membuat hati tiga orang panas dan mendidih. Mereka iri akan kebahagian keluarga lain yang sedang merayakan pesta.Bastian baru saja resmi menyandang status duda. Dia telah mengikhlaskan Lidya untuk kakaknya. Sedangkan Arista kecil, masih dibawah pengasuhan Lidya.Saat ini, Bu Retno, Lidya, dan Bara telah pindah dari rumah sebelumnya. Para tetangga merasa keberatan jika mereka masih tinggal di lingkungan itu. Terpaksa Bu Retno harus merelakan rumahnya untuk disewakan. Sedangkan ia dan yang lainnya memilih mengontrak di dekat rumah orang tua Embun. Bumi tak tahu soal ini. Pasalnya, selama kurang lebih 5 bulan ini, mereka telah memutuskan komunikasi. Bumi terpaksa melakukan ini untuk memulihkan mental Bastian.
Waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah tiga bulan lamanya, Bastian wara-wiri di ajang pencarian bakat yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV. Acaranya belum berakhir, dan Bastian masih bertahan sejauh ini. Selama tiga bulan ini, Valerie setia mendampingi Bastian. Saat ini bukan lagi hanya sebatas perancang busana pribadinya, tapi Valerie kini merangkap menjadi asisten Bastian. Kenapa bisa? Hal ini berawal dari tingginya penjualan di butiknya sejak Bastian menjadi model busananya. Pria itu memiliki daya tarik tersendiri hingga mampu memikat banyak pelanggan. Karena hal itu, Valerie menawarkan diri menjadi asisten Bastian. Embun tak bisa lagi menemani Bastian karena sibuk dengan usahanya sendiri—menjadi distributor pakaian anak."Lihat itu! Si cantik dan si buta!""Ganteng sih, tapi sayang … gak bisa melihat.""Andai saja Bastian itu tak buta, pasti dia sudah menjadi idola baru yang lebih sukses dari sekarang."Selentingan-selentingan itu selalu terdengar di telinga Bastian.
“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus
“Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L
“Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L
“Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana