Dua bulan berlaluBumi benar-benar memutus kontak dengan keluarganya di rumah. Dia tak mau lagi menerima telepon dari Bu Retno. Jatah bulanan yang selama ini rutin dikirimkan pada keluarganya, kini sudah benar-benar dihentikan. Ditambah lagi, Bumi dan Embun kini telah pindah ke rumah orang tua Embun. Hal itu membuat Bu Retno susah untuk menemuinya."Sial. Bumi bener-bener mengabaikanku." Bu Retno marah. Dia membanting ponselnya ke kasur. Lidya yang mendengar mertuanya berteriak, mengintip dari celah pintu kamar yang terbuka.Iya. Lidya telah kembali bersama Bastian. Entah apa yang dipikirkan Bastian saat itu hingga luluh dan mau menerima Lidya kembali. Sedangkan Bara memilih mengalah dan pergi dari rumah ibunya. Dia memutuskan untuk menyewa kontrakan yang tak jauh dari rumahnya. Terpaksa, mobil satu-satunya harus dijual oleh Bara untuk menghidupi dirinya sendiri.TokTokTokKetukan pintu dari arah depan, membuat Lidya terkejut. Dia lantas menjauh dari kamar mertuanya dan mendekat ke
"Buka pintunya, Bu!"BruuushKopi yang baru saja diminum oleh Bara, harus kembali keluar dari mulutnya. Dia terkejut karena suara ketukan pintu yang cukup kencang."Mas Bumi, Mas … gimana ini?" Lidya panik. Dia terus mondar-mandir di depan Bara."Hei … hei. Ngapain kamu panik gitu? Itu, 'kan cuma Bumi. Dia bukan Bastian atau Pak RT," ucap Bara menenangkan kekasihnya."Tapi, Mas … kalau dia liat kita berduaan, bisa-bisa dia lapor ke Bastian. Lagipula, Mas Bumi terlihat begitu marah. Jangan-jangan dia ke sini mau minta uang kos itu."Lidya benar-benar tak terkendali. Berbagai pikiran buruk terlintas di kepalanya. Dia tak ingin ada orang lain yang melihat kebersamaannya dengan Bara. Lidya takut. Tak ingin dijadikan tontonan publik seperti dulu. "Mas … aku gak mau digrebek kayak dulu. Aku malu, Mas. Aku takut." Lidya memeluk Bara. Tangan Bara lantas mengelus pundak kekasihnya dan menenangkan wanita itu."Ya, sudah. Kamu buka pintu buat Bumi! Biar aku sembunyi saja."Lidya pun menuruti sa
"Tolong, Bu! Tolong aku! Aku gak bisa melihat." Bastian histeris. Kesadarannya kembali namun penglihatannya justru menghilang. Yang dia lihat saat ini hanya lah warna hitam pekat. Gelap.Bu Retno yang sedari tadi berdiri di samping Bastian, kini mulai gelisah. Ada apa dengan anaknya? Sedangkan Bumi mencari dokter yang menangani Bastian untuk menanyakan kondisi adiknya."Karena cidera di kepalanya, membuat penglihatan Bastian terganggu.""Jadi adik saya mengalami kebutaan, dok?"Bumi seketika lunglai mendengar penjelasan dokter tentang kondisi Bastian. Adiknya mengalami cidera yang cukup parah yakni cidera kepala serta patah tulang kaki. Dan yang paling parah ada pada indera penglihatannya. Bastian kini tak bisa melihat."Apa? Mas Bastian buta?"Lidya terkejut setelah mendapat kabar dari Bumi. Wanita itu tak ikut ke rumah sakit dengan alasan menjaga si kecil, Arista. Dia ditemani oleh Bara di rumah Bu Retno. Bumi tak sempat lagi mengurus dua sejoli itu karena terlalu khawatir akan kon
"Sudah lah, Bas! Jangan egois! Kalau kamu menceraikan Lidya, tak ada yang mau menikah denganmu lagi. Kamu kan gak bisa melihat."Ucapan Bu Retno seketika membuat Bumi dan istrinya terkejut. Kenapa ibunya begitu tega menyiksa batin anak-anaknya? Kali ini, yang menjadi korbannya adalah Bastian."Bu … tolong jaga bicaranya! Ibu gak kasihan sama Bastian?" Embun menegur mertuanya.Tak terlihat ada raut penyesalan di wajah Bu Retno. Ia sepenuhnya sadar mengucapkan kata-kata menyakitkan itu. Membuat psikologis anaknya semakin terganggu. Sulit menerima kenyataan bahwa di dunia ini ada seorang ibu yang begitu tega menyakiti hati anak-anaknya. Menaburkan garam di luka menganga pada hati anak-anaknya."Diam kamu! Aku tak butuh nasehat darimu. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini." Bu Retno membentak Embun.Bastian sudah kembali ke rumahnya. Banyak orang yang bersimpati padanya. Banyak tetangga yang menjenguknya karena Bastian memang telah berubah menjadi pribadi yang baik sebelum terjadinya kecel
"Ayo ikut Ibu!"Bu Retno menarik tangan Bastian dengan kuat. Anak itu sempat memberontak dan menegur ibunya."Pelan-pelan, Bu. Lututku terbentur meja. Memangnya ada apa?" Bastian terlihat sangat kesakitan. Dia dipaksa mengikuti langkah ibunya yang cepat. Padahal kondisi Bastian saat ini tidak bisa melihat."Sudah lah! Ikut Ibu saja! Di depan ada Mbah Sirat.""Mbah Sirat?""Iya. Kamu pijitin dia! Sekarang kamu telah resmi menjadi tukang pijat. Ibu sudah promosi ke orang-orang. Ibu juga sudah pasang papan nama di depan rumah, bahwa kamu menawarkan jasa pijat."Langkah Bastian terhenti. Tubuhnya mendadak kaku. Bahkan sang Ibu berusaha keras untuk mendorong tubuhnya keluar menuju ruang tamu, namun tak bisa."Tukang pijat? Bu, aku gak bisa. Aku gak punya keahlian jadi tukang pijat.""Ah … itu mah gampang. Apalagi untuk lansia seperti Mbah Sirat. Kamu tinggal pijat-pijat ala kadarnya saja. Sudah lah, lakukan apa yang Ibu minta. Memangnya kamu mau Arista kekurangan makanan karena kamu tak la
"Lihat, Bu! Mereka asik merayakan ulang tahun Rayyan tanpa mengundang kita." Lidya menyerahkan ponselnya pada Bu Retno. Di ponsel itu terlihat postingan yang diunggah Embun di akun media sosial miliknya. Video yang menampakkan wajah Embun, Bumi, Bastian, dan kedua orang tua Embun, membuat hati tiga orang panas dan mendidih. Mereka iri akan kebahagian keluarga lain yang sedang merayakan pesta.Bastian baru saja resmi menyandang status duda. Dia telah mengikhlaskan Lidya untuk kakaknya. Sedangkan Arista kecil, masih dibawah pengasuhan Lidya.Saat ini, Bu Retno, Lidya, dan Bara telah pindah dari rumah sebelumnya. Para tetangga merasa keberatan jika mereka masih tinggal di lingkungan itu. Terpaksa Bu Retno harus merelakan rumahnya untuk disewakan. Sedangkan ia dan yang lainnya memilih mengontrak di dekat rumah orang tua Embun. Bumi tak tahu soal ini. Pasalnya, selama kurang lebih 5 bulan ini, mereka telah memutuskan komunikasi. Bumi terpaksa melakukan ini untuk memulihkan mental Bastian.
Waktu bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah tiga bulan lamanya, Bastian wara-wiri di ajang pencarian bakat yang disiarkan oleh salah satu stasiun TV. Acaranya belum berakhir, dan Bastian masih bertahan sejauh ini. Selama tiga bulan ini, Valerie setia mendampingi Bastian. Saat ini bukan lagi hanya sebatas perancang busana pribadinya, tapi Valerie kini merangkap menjadi asisten Bastian. Kenapa bisa? Hal ini berawal dari tingginya penjualan di butiknya sejak Bastian menjadi model busananya. Pria itu memiliki daya tarik tersendiri hingga mampu memikat banyak pelanggan. Karena hal itu, Valerie menawarkan diri menjadi asisten Bastian. Embun tak bisa lagi menemani Bastian karena sibuk dengan usahanya sendiri—menjadi distributor pakaian anak."Lihat itu! Si cantik dan si buta!""Ganteng sih, tapi sayang … gak bisa melihat.""Andai saja Bastian itu tak buta, pasti dia sudah menjadi idola baru yang lebih sukses dari sekarang."Selentingan-selentingan itu selalu terdengar di telinga Bastian.
"Mana istrimu? Sudah seminggu dia gak keluar rumah. Benar kalau dia sudah melahirkan?" tanya Bu Emma pada Bara.Bara yang saat itu baru saja pulang ke kontrakan sehabis membeli sarapan di luar, kedatangan tamu tak diundang yang selalu membuat jengkel. Orang itu adalah Bu Emma, tetangga yang paling sering menanyakan ini dan itu terkait status rumah tangga Bara dan Lidya."Saya ikut masuk, ya? Sekalian mau silaturahmi. Ini saya juga bawa buah buat istrimu," ucap Bu Emma. Ia kekeuh ingin ikut masuk ke dalam rumah. Bara semakin risih. Tapi apa yang bisa dia perbuat? Wanita paruh baya itu sudah merangsek masuk dan berhasil menerobos ke dalam rumah."Eh, ada Bu Emma. Mau ngapain, ya?" tanya Bu Retno. Ia heran mendapat kunjungan mendadak dari tetangganya yang paling menyebalkan."Mau jenguk Lidya dan anaknya. Bener, 'kan sudah melahirkan? Kok kamu gak bilang-bilang?" ucap Bu Emma. Ia mulai menempati tempat duduk di samping Bu Retno. Sedangkan Ibunda Bara itu langsung memberi kode pada anak l