Share

Warung Mpok Sari

Author: celotehcamar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Perhiasan itu sudah kukembalikan lagi pada Mama," ucap Embun.

"Dikembalikan? Kamu tuh bodoh sekali, Embun. Kenapa kamu kembalikan? Itu kan hadiah. Kalau kamu gak mau menerimanya, kasi saja ke Ibu. Biar Ibu yang menyimpannya. Ambil lagi dari Mama-mu! Dan berikan ke Ibu!" ucap Bu Retno, mertua Embun.

Embun menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang mertua. Padahal Bu Retno tak berhak sama sekali atas perhiasan itu.

"Maaf, Bu. Kalau pun perhiasan itu ada padaku, aku tak mungkin memberikannya ke Ibu. Itu bukan hak Ibu!" Embun mencoba memberi pengertian pada mertuanya. Tapi itu seperti mengganggu macan tidur. Tentu saja Bu Retno akan murka.

"Kenapa kamu makin berani sama Ibu, huh? Sudah merasa hebat? Hamil aja kagak, sudah berani nasehatin orang tua."

Sesak yang dirasakan Embun saat ini. Terlalu banyak kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Bu Retno padanya. Siapa yang tak ingin memiliki keturunan? Semua wanita pasti mendambakan menjadi seorang Ibu. Mengandung dan melahirkan anaknya ke bumi. Tapi jika Tuhan belum berkehendak itu terjadi, apa yang bisa Embun lakukan? Hanya menunggu dan berusaha.

"Kenapa bengong? Sekarang telepon Mama-mu! Minta perhiasan itu kembali!" Bu Retno membentak Embun.

"Tidak. Aku gak mau, Bu. Itu bukan hak Ibu. Sebaiknya Ibu pulang saja jika ke sini hanya ingin memaksa dan menghinaku."

Embun mengusir mertuanya secara halus. Dalam hati dia terus meminta maaf pada Tuhan dan mertuanya karena telah berkata yang tak menyenangkan. Tapi Embun juga manusia biasa yang punya perasaan. Mana mungkin dia tak marah jika terus direndahkan.

Plak! Satu tamparan didaratkan pada pipi Embun.

"Kurang ajar. Siapa kamu sampai berani mengusirku, huh? Awas, ya! Kuadukan kelakuanmu ini sama Bumi."

Bu Retno meninggalkan kontrakan milik Embun dengan hati mendidih. Sedangkan Embun hanya terdiam sambil memegangi pipinya yang mulai merah.

Panggilan telepon dari mamanya hingga tak dihiraukan oleh Embun. Dia masih shock. Mencoba menenangkan diri tapi dadanya masih terasa sesak. Belum pernah dia merasakan direndahkan seperti ini.

Dulu, Embun dan Bumi menikah karena dijodohkan. Tapi mereka sudah saling memiliki rasa semenjak pertama kali bertemu. Keluarga tentu sangat senang. Hanya Bu Retno yang tak begitu suka melihat hubungan Embun dan Bumi. Tapi apa boleh buat, saat itu ayah mertua Embun masih hidup dan Bu Retno tak memiliki kuasa untuk menentang perjodohan ini. Tapi setelah Pak Basuki, mertua Embun itu meninggalkan dunia ini, sifat asli Bu Retno mulai keluar. Dia semakin nyata mengibarkan bendera perang pada menantunya ini.

Triiing

Triiing

Triiing

Deringan telepon kembali terdengar. Kali ini dari Bumi. Awalnya Embun ragu menerimanya, tapi setelah menenangkan diri, dia pun memutuskan untuk menerima panggilan itu.

"Halo, Mas," ucap Embun senormal mungkin. Dia tak ingin Bumi tahu kalau Embun sempat menangis.

"Halo, Dek. Tadi Ibu datang ke sana?"

Huft. Embun menghela nafas pelan. Dia sangat yakin kalau sang mertua sudah mengadukan dengan berlebihan perihal perbuatannya barusan. Bumi pasti kecewa dengan Embun.

"Iya, Mas."

"Maafkan Ibu, ya, Dek."

Tak seperti dugaan Embun, Bumi justru meminta maaf padanya.

"Maafkan Ibu karena telah berani menyakitimu. Mas sudah mengirimkan uang yang Ibu minta agar tak mengganggu kita lagi."

"Sepuluh juta, Mas?" tanya Embun lagi.

"Emm … Hanya lima juta kok, Sayang. Tadi Mas berhasil membujuk Ibu untuk menurunkan harganya."

Embun mengelus dada. Sampai seperti ini suaminya mengemis untuk gajinya sendiri. Embun dan Bumi seperti tak berhak pada hasil jerih payahnya sendiri. Dia tak bebas menggunakan gajinya sendiri. Bu Retno telah menguasai semuanya.

—---------------

"Sudah dapat duitnya, Bu? Mas Bumi sudah transfer?" tanya Bastian, adik bungsu Bumi.

"Sudah. Tapi hanya lima juta. Buat apa lima juta ini? Paling besok sudah habis."

Bu Retno merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Dia masih kesal dengan perlakuan Embun terhadapnya. Ditambah lagi, Bumi yang hanya mengirimkan ia uang sebesar lima juta rupiah, bukan sepuluh juta rupiah.

"Apa? Cuma lima juta? Gimana aku bisa ambil motor baru dengan uang segitu?" Bastian merengut. Impian membeli motor baru, sepertinya tak bisa terlaksana untuk saat ini.

"Uang pensiunan Bapak bulan ini juga habis untuk bayar hutang dan arisan Ibu." Bastian kembali mengeluh. Bu Retno yang mendengar ucapan anaknya pun kembali menegakkan tubuhnya.

"Kamu nyalahin Ibu? Ya, sudah … kamu saja yang minta sama Bumi!"

"Alaaah, malas. Palingan aku dikasi ceramah lagi sama Mas Bumi."

Bastian, adik bungsu Bumi yang berusia 22 tahun itu, saat ini masih menganggur. Padahal Bumi sempat menawarkan kerjaan dan biaya kuliah padanya, tapi Bastian tak mau. Dia hanya hobi bermain game dan mengajak kekasihnya jalan-jalan. Tentu hanya mengandalkan uang pensiunan ayahnya dan juga setoran bulanan dari Bumi.

"Loh, Ibu mau kemana?" tanya Bastian saat Bu Retno mengangkat tubuhnya dan melangkahkan kaki keluar rumah.

"Cari angin. Sumpek di rumah terus."

"Minta uang, Bu. Bastian mau nongkrong."

"Nih!" Bu Retno melempar lima lembar uang berwarna merah ke arah Bastian. Begitu mudahnya ia mengeluarkan uang pada anak bungsunya. Padahal itu hasil memeras anaknya yang lain.

Bu Retno lantas menuju warung makan yang ada di depan rumahnya. Warung Mpok Sari. Itulah plang nama yang tertempel di depan warung itu.

"Mpok, nasinya satu, ya!" ucap Bu Retno pada pemilik warung.

"Kamu gak masak lagi, No?"

"Ehem …." jawab Bu Retno sambil mengunyah kerupuk udang yang ia ambil dari warung.

"Ya, kamu jangan bebanin Bumi terus lah! Dia kan sudah punya keluarga juga. Memangnya anakmu yang lain gak pada ngirim uang? Bella? Bara? Gak ngirim uang? Atau Bastian kek suruh kerja juga! Dia kan sudah gede."

Mpok Sari, pemilik warung itu menyebut nama anak-anak Bu Retno satu per-satu. Ia mencoba menyadarkan Bu Retno kalau perbuatannya selama ini yang terus mengandalkan Bumi untuk memenuhi kebutuhannya adalah salah.

"Udah lah, Mpok! Jangan ceramah!" ucap Bu Retno dengan mimik wajah kesal.

"Halo … ada apa nih? Kok ada bau-bau pertengkaran." Seseorang datang ke warung Mpok Sari. Dia adalah Bu Lely, salah satu teman arisan Bu Retno.

"Gak tau nih, Mpok Sari. Demen banget nyeramahin orang. Aku tuh lagi kesel sama menantuku, Lel," ucap Bu Retno. Siap memulai ghibah.

"Ada apa, tuh?" Bu Lely merespon. Senang mendapatkan bahan gosip yang baru. 

"Si mandul itu malah mengusirku tadi," ucap Bu Retno.

"Ihh berani banget. Aku sudah duga kalau menantumu itu tak sopan. Berani banget dia?" Bu Lely seakan menyiramkan bensin pada api yang menyala. Semakin berkobar.

"Iya, 'kan? Berani banget kan si Embun?" Bu Retno senang mendapat dukungan.

Beberapa menit kemudian, pengunjung warung Mpok Sari semakin banyak. Mereka adalah kumpulan ibu-ibu yang senang bergosip. Mereka kini ikut mendengarkan cerita Bu Retno tentang menantunya itu. Ada yang memihak Bu Retno, dan ada juga yang justru merasa simpati pada Embun.

"Loh, waktu Bumi belum bekerja, bukannya Embun yang membiayai kebutuhan kalian? Bahkan Embun juga lebih banyak keluar duit saat menikah dengan Bumi. Kok sekarang kamu malah menjelekkan menantumu itu dengan mengatakan dia mandul dan benalu?" celetuk salah satu orang di kelompok itu.

Sebenarnya, semua orang sudah tahu kalau Bu Retno selama ini hanya memeras anak dan menantunya. Dia enggan mencari kerja atau memanfaatkan pensiunan suaminya dengan sebaik-baiknya. Tentu banyak yang tidak suka dengan sifatnya. Angkuh dan congkak telah mendarah daging dalam diri Bu Retno.

Related chapters

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Aku Hamil, Mas

    UeeekUeeekUeeekHari ini Embun terlihat lesu. Wajahnya pucat. Sejak tadi dia terus muntah-muntah. Belum ada satu pun makanan yang bisa dia telan."Ayo kita ke dokter saja!" ucap Bumi."Gak usah, Mas. Aku hanya perlu istirahat. Mas berangkat kerja saja! Masih keburu, kok."Bumi menggelengkan kepala. Mana mungkin dia bisa kerja dengan kondisi Embun yang terus melemah. Walaupun Bumi berangkat kerja, dia pasti tak fokus dengan pekerjaannya dan terus memikirkan kondisi kesehatan Embun."Kalau kamu tak mau makan, aku gak akan berangkat kerja," ucap Bumi, seolah memberi ancaman pada Embun."Aku gak bisa, Mas. Bahkan hanya melihatnya saja sudah bisa bikin aku muntah."Embun lagi-lagi mendorong sepiring nasi yang ingin Bumi berikan. Dia benar-benar tak bisa memakannya."Aku kupasin buah aja kalau gitu, ya."Embun hanya mengangguk. Dia membiarkan suaminya sibuk mempersiapkan makanan untuk dia makan. Tak perlu menunggu lama, Bumi telah datang membawa tiga macam buah yang sudah dikupas. Apel,

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Diusir Kembali

    "Dasar anak kurang ajar."Bu Retno melempar ponselnya ke sofa. Bastian yang baru saja pulang ke rumahnya, merasa heran melihat ibunya memasang wajah kesal."Kenapa, Bu? Kok kayak kesel gitu? Kesel sama siapa?" tanya Bastian."Itu. Kakakmu, Bumi. Sudah berani dia bilang tidak sama Ibu.""Memangnya kalian lagi berdebat soal apa?" tanya Bastian lagi."Katanya … si Embun sudah hamil. Trus Bumi ogah memberi uang pada kita lagi karena akan ditabung buat biaya lahiran istrinya. Ngeselin, 'kan?" tanya Bu Retno. Berusaha mencari dukungan. Tentu harapannya terwujud. Bastian ikut terpancing emosi."Wanita itu pasti sudah meracuni pikiran Mas Bumi. Kita tak boleh tinggal diam." Bastian menghasut ibunya.Bumi memiliki tiga saudara lainnya. Kakak pertamanya adalah Bella. Dia sudah menikah dan ikut suaminya merantau ke luar pulau. Sedangkan, kakak keduanya bernama Bara. Dia kini tinggal di rumah mertuanya yang kaya raya. Sedangkan si bungsu bernama Bastian. Adik Bumi itu masih tinggal bersama ibunya

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mereka Bukan Tanggung Jawabku

    "Sayang … bener kamu ngusir Ibu?"Embun dikejutkan oleh kedatangan suaminya dari luar rumah. Wajah Bumi terlihat panik. Sesampai di rumah, dia langsung menuju kamar istrinya."Bener kamu ngusir Ibu?" tanya Bumi untuk kedua kalinya."Aku gak bermaksud seperti itu, Mas. Tapi aku terus dipaksa meminum jamu buatan Ibu. Aku muntah berkali-kali, Mas." Embun meneteskan air mata. Dia letih harus mendapat masalah yang serupa untuk kesekian kalinya."Tapi gak mengusir Ibu juga lah. Sudah dua kali loh kamu bersikap tidak sopan seperti ini. Baik buruknya Ibu, kita sebagai anak harus tetap menerima. Karena ia Ibu kita," ucap Bumi. "Sekarang aku tanya sama kamu, Mas," ucap Embun. "Kalau Mama-ku bersikap seperti Ibu padamu, apa kamu bisa tahan? Apa kamu masih bisa terus bertahan dan menelan semua perlakuan buruknya? Aku juga manusia, Mas. Jangan mentang-mentang kita lebih muda, tapi kita bisa diperlakukan seenaknya seperti itu. Kamu tahu kalau aku sering dihina oleh Ibu. Tapi apa respon kamu? Selal

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Hilang

    Sudah dua hari ini Bumi tak menjawab telepon dari ibunya. Dia tahu kalau sang ibu akan terus menuntutnya membiayai pernikahan Bastian. Terakhir kali Bumi menerima panggilan telepon dari Bu Retno, dia diminta menyediakan uang sebesar 100 juta rupiah untuk biaya pernikahan. Tentu Bastian tak punya uang sebanyak itu. Kalau pun mengambil pinjaman di bank, dia ragu bisa membayarnya kalau gajinya saja habis untuk setoran bulanan pada keluarganya di rumah."Mas, kamu kenapa? Sejak pulang dari rumah Ibu, kamu kelihatan murung terus. Sudah gak marah sama aku, 'kan?" Embun menghampiri suaminya yang sedang merenung di teras depan.Bumi lantas menyuruh Embun untuk duduk di sampingnya. Pria itu terus mengelus lembut perut sang istri. Senyumnya merekah. Hanya anak yang ada di rahim Embun yang bisa membuatnya tersenyum."Ada apa, Mas? Katakan! Apa Mas bertengkar dengan Bastian?" tanya Embun, mencoba menebak apa yang terjadi."Tidak, Dek. Sebenarnya Mas malu menceritakan semua ini ke kamu.""Memangny

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Pulang ke Rumah Mama

    "Tunggu di sana, Nak! Mama mau ke kontrakanmu!" ucap Bu Nadine, menenangkan putrinya.Rumah orang tua Embun jaraknya lebih dekat dibandingkan dari rumah mertuanya ke kontrakan Embun. Oleh karena itu, Bu Nadine hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke kediaman putrinya itu."Mama …." Embun langsung menghambur ke pelukan ibunya."Dimana Bumi?" tanya Bu Nadine."Mas Bumi masih kerja, Ma. Aku sendiri di rumah."Bu Nadine mengangguk. Ia lantas memboyong putrinya masuk ke rumah. Teh hangat dibuatkan oleh sang mama untuk Embun. Setelah dirasa tenang, wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu itu bertanya lagi pada putrinya."Bener perhiasanmu tak ada, Nak?" Embun mengangguk cepat, menjawab pertanyaan ibunya."Coba Mama yang cari."Bu Nadine dan Embun lantas masuk ke kamar dan kembali menggeledah seisi kamar untuk menemukan keberadaan satu set perhiasan emas itu. Tapi nihil. Perhiasan itu benar-benar menghilang."Benar kamu menyimpannya di sini?""Benar, Ma.

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Lidya Melahirkan

    Untuk sementara ini, Embun pulang ke rumah orang tuanya. Bukan bermaksud untuk berpisah selamanya dengan sang suami. Dia hanya ingin menenangkan diri. Ditambah lagi, kondisi kesehatannya yang masih lemah karena hamil muda, memaksanya untuk tetap dalam pengawasan orang banyak. Mama dan Papa Embun bersedia menjaga putrinya untuk sementara waktu. Sedangkan Bumi akan menjenguk Embun tiap dua hari sekali. Bagaimana dengan pernikahan Bastian dan Lidya? Apa tetap dilaksanakan? Tentu. Tapi Bumi hanya mampu membantu biaya pernikahan sebesar tiga juta rupiah. Sisa tabungannya yang sebenarnya ingin disimpan untuk biaya lahiran Embun.Pernikahan yang awalnya ingin diselenggarakan secara meriah oleh Bu Retno, kini berubah menjadi sederhana saja. Tak ada gaun pesta apalagi tenda pernikahan. Pernikahan Bastian dan Lidya pun hanya disaksikan oleh Bumi, tanpa kedua kakaknya yang lain. Sedangkan Embun enggan hadir ke acara pernikahan Bastian. Hatinya masih sakit ulah perbuatan mertua dan iparnya itu.

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Gelang Kaki

    "Ini putra Bapak dan Ibu. Langsung disusui ya, Bu!" Suster di rumah sakit Surya Medika, menyerahkan putra pertama Embun dan Bumi.Semua orang di ruangan itu bersuka cita. Embun, Bumi, Bu Nadine, dan Pak Salim, berlomba-lomba ingin menggendong bayi tampan yang diberi nama Rayyan Hadinata."Matanya indah, seperti ibunya. Rambutnya bagus seperti ayahnya," ucap Bu Nadine sembari menimang-nimang cucu pertamanya. Bumi dan Embun tersenyum mendengar ucapan Bu Nadine. Benar. Wajah Rayyan merupakan perpaduan kedua orang tuanya. Kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini tak dapat didefinisikan. Walau tanpa kehadiran ibunya, Bumi tetap bahagia menyambut putra pertamanya. —-----------------"Cih, sok bahagia." Lidya tak senang melihat story IG Bumi yang memperlihatkan foto kebersamaan keluarga mereka di rumah sakit."Kamu kenapa, Lid?" tanya Bu Retno pada menantunya."Ini, Bu! Lihat! Menantu kesayangan Ibu sudah melahirkan juga."Bu Retno melihat isi dari ponsel Lidya. Terlihat senyum merekah B

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Klakson Mobil

    "Makanya yang bener naruh barang, Sayang. Apalagi barang berharga," ucap Bumi, menasehati istrinya."Kurang bener apa coba? Aku sudah taruh di laci paling dalam. Lagipula, aku juga di kamar terus. Paling keluar kalau lagi ambil minum atau ke toilet. Kamu juga ada di rumah, 'kan?" ucap Embun.Sebenarnya dia merasa curiga dengan Ibu mertuanya, tapi tak mungkin Embun ungkapkan di hadapan Bumi. Ingin bertanya secara langsung pun enggan. Barang tak kembali, malah makian yang didapat. Embun benar-benar ingin tenang sementara waktu.TriiingTriiingTriiingPonsel Embun berdering. Itu dari Bu Nadine."Halo, Ma," jawab Embun."Halo, Sayang. Maaf, ya, Nak. Besok Mama baru bisa ke sana. Kemarin, sehabis pulang dari rumah sakit, badan Mama sedikit meriang. Mama baru bangun malam-malam begini. Trus ingat kamu dan si ganteng" ucap Bu Nadine. Sebagai Nenek, ia pasti sangat merindukan cucu pertamanya itu. Maklum, Embun adalah anak tunggal. Sudah lama Bu Nadine dan Pak Salim tak merasakan menggendong

Latest chapter

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Akhir Cerita

    “Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Bergerak Cepat

    “Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Gubuk Derita

    “Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Pa-rasit

    Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Dahlia, Sang Penguasa

    “Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mirah di Desa

    (Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Selamat Datang, Nak

    “Bisa dibawa jalan-jalan di taman klinik, ya, Bu! Biar bukaan-nya cepat bertambah,” ucap Bu Bidan pada Laras.Pasalnya sejak tadi pagi, Laras sudah mengalami kontraksi. Ketika dicek oleh tenaga medis, ternyata Laras sudah mengalami bukaan 2. Tapi hingga sore ini, bukaan-nya tak kunjung bertambah. Oleh karena itu, Bu Bidan menyuruh Laras berjalan-jalan santai di taman klinik.“Baik, Bu.” Anton lantas menggandeng tangan sang istri menuju taman klinik. Mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Bidan.“Gimana, Ras? Apa kata Bidan? Apa kata dokter?"Embun dan Bumi yang baru saja datang ke klinik itu langsung memberi pertanyaan pada sang adik. Tapi Laras hanya menggeleng sedih sembari menahan sakit. Dia menyerahkan semuanya pada sang suami untuk menjelaskan pada kakak-kakaknya.“Ooh begitu. Semoga dilancarkan, ya. Adik bisa lahir dengan selamat dan normal,” ucap Embun yang kemudian diamini oleh yang lainnya.“Kamu gak mau makan dulu, Ras? Mbak udah beliin bubur kacang ijo kesukaan kamu.”L

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Mimpi Itu

    “Maafin aku, Kak … Aku yang salah.”Laras bersimpuh di kaki sang kakak sulung, Bella. Ia sudah keluar dari rumah sakit dan sudah mengetahui kabar tentang kepergian sang Ibu.“Harusnya aku melarang Ibu untuk ikut pergi, Kak. Kalau Ibu gak ikut, pasti aku yang tiada, bukan Ibu.”Laras menangis sejadi-jadinya sambil memohon ampun. Di sisi lain, Bella juga menangis namun tetap duduk diam. Dia belum mampu menenangkan sang adik, karena hatinya sendiri masih patah.“Sudah lah, Laras! Bangun, Dek! Ini bukan salah kamu.”Bumi memeluk sang adik dan menenangkannya. “Semua orang di sini merasa sedih. Tapi tak ada satupun yang menyalahkanmu, Dek. Ini semua sudah takdir. Yang terpenting sekarang, kita hanya bisa mengirimkan doa untuk Ibu. Agar beliau tenang di sana.”Bumi merangkul Laras sembari terus membelai rambut sang adik bungsu. Namun tiba-tiba, Bella bangun dari duduknya dan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan semua orang yang ada di ruang tamu.“Kak … Itu Kak Bella pasti masih marah.” L

  • Setoran Bulanan Untuk Mertua    Hanya Bella yang Tahu

    “Mbak kok masih di luar? Ayo kita masuk ke dalam! Ini udah malam!” ajak Bumi pada sang kakak.Tadi siang, je-na-zah Bu Retno baru saja disemayamkan. Semua orang kini masih berkumpul di rumah keluarga besar Pak Salim. Terkecuali Laras dan Anton. Ya, mereka berdua masih berada di rumah sakit karena kondisi Laras yang belum memungkinkan untuk diajak pulang. Wanita itu juga belum diberi tahu tentang kabar duka ini. Semua keluarga sepakat menyembunyikan kabar ini sampai kondisi Laras kembali pulih.“Sini duduk dulu, Mi!” Bella menyuruh sang adik duduk di sampingnya. Bumi pun menurut.“Ada apa, Mbak?”Bumi memandang wajah sang kakak yang kini nampak lesu. Bahkan matanya masih terlihat bengkak dan sembab karena terus menangis.“Mbak udah makan?”“Nanti aja, Mi! Gampang itu. Temani Mbak dulu di sini!”“Aku ambil makanan dulu, ya. Nanti aku suapin Mbak di sini.”“Gak usah! Kamu duduk aja di sini!”Bumi pun tak melanjutkan ucapannya dan memilih duduk diam di samping sang kakak. Sejenak, suasana

DMCA.com Protection Status