Tiga bulan berlalu begitu cepat. Selama itu pula Rina mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari ayah dan ibunya. Gadis kecil itu didewasakan oleh waktu. Usianya yang belum genap empat tahun sudah diberi tanggung jawab beberes rumah, seperti menyapu ataupun membantu ibunya memasak. Tangan mungilnya yang belum mampu melaksanakan tanggung jawab itu dengan baik, kerap membuat emosi orang tuanya. Alhasil kekerasan fisik seperti cubitan dan pukulan, dilayangkan pada gadis kecil itu. Sebenarnya baik mengenalkan tanggung jawab pada anak sedini mungkin, namun tidak dengan paksaan apalagi kekerasan fisik. Sang anak justru akan mengalami sakit tak hanya pada fisiknya namun juga mentalnya.Laras yang merupakan tetangga Mirah, kerap meminta izin untuk menjaga Rina maupun Agus. Hal ini dikarenakan gadis cantik itu tak tega melihat Rina kecil terus disiksa oleh orang tuanya. Ditambah lagi kondisi kesehatan Mirah yang sedang mengandung, semakin memburuk. Wanita itu stress karena tak mendapat dukung
"Itu fitnah. Berani sekali kalian mengatakan hal yang tidak benar tentangku. Dasar kampungan."Bayu meludah di depan Laras dan ibunya. Dia tak terima akan pengaduan gadis itu pada istrinya."Kamu bener melakukan itu, Mas? Bener mau melecehkan Laras?" tanya Mirah. Dadanya terasa sesak karena sesuatu yang baru dia dengar saat ini. Baru saja tiba di rumah ini, dia harus dihadapkan dengan pengaduan pahit seperti ini."Kamu budeg? Sudah kubilang dari tadi. A … ku … di … fit … nah." Bayu mengeja setiap kata yang dia ucapkan dengan penuh penekanan."Gadis ini yang mengincarku dari dulu. Aku sering memergokinya memandangku dengan penuh nafsu. Sekarang dia berani memfitnahku. Cuiiih." Bayu menunjuk wajah Laras. Yang ditunjuk itu pun merasa geram karena Bayu berbalik memfitnahnya."Memang lelaki tak punya hati kamu, Bayu. Gak ada akhlak. Sekarang kamu malah memfitnah anakku. Berani berbuat, berani mengakui, dong! Jangan sampai aku sebarkan berita ini ke warga desa," ancam Bi Yati."Bilang saja
Sudah dua hari ini Rina dan Agus dititipkan di rumah Laras. Mirah sibuk merawat suaminya yang sedang sakit akibat dipukuli pekerjanya."Agus, ayo pulang!"Agus dan Rina yang asik bermain di halaman rumah Laras, didatangi oleh sang ibu. Namun Mirah hanya mengajak Agus untuk pulang, tapi tidak dengan Rina."Ina, Bu?" tanya gadis kecil itu.Laras hanya bisa mengamati mereka dari warung miliknya."Kamu bukan anakku. Jadi terserah mau pulang, kek … pergi, kek. Aku gak peduli," ucap Mirah sembari menatap anak sambungnya dengan bengis. Rina menangis sambil meremas bajunya. Dia masih saja diperlakukan tidak baik oleh Mirah.Sepeninggal Mirah dan Agus ke rumahnya, Laras lantas menghampiri Rina dan mengajaknya duduk di warung."Kamu sama Bibi aja, ya. Bukannya kamu seneng sama Bibi?"Rina mengangguk. Jemari mungilnya bergerak ke pipi dan mengusap air mata yang menggenang di sana."Besok pagi, Bibi ajak kamu ke kota.""Ngapain?" tanya Rina penasaran."Kita main-main di sana. Di kota juga banyak
TriiingTriiingTriiing"Halo?" Terdengar suara wanita dari seberang sana. Laras pun berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menyampaikan berita tentang Bayu."Halo … halo? Ini siapa, ya?" Karena Laras terlalu lama terdiam, suara wanita di seberang sana terus mengulang pertanyaannya.Saat Laras hendak menjawab telepon itu, angkutan umum yang dinantinya sejak tadi tiba-tiba datang. Terpaksa dia harus mematikan teleponnya secara sepihak dan gegas naik ke dalam angkutan umum itu bersama Rina.Di sisi lain, Embun dan keluarganya yang sedang asik berlibur di suatu daerah yang ada di Jawa Timur, dibuat risih oleh panggilan telepon tanpa suara."Mas … tadi ponselmu berbunyi," ucap Embun."Oh, ya? Terus? Kamu gak angkat?" tanya Bumi."Sudah, tapi gak ada jawaban.""Oh … biarlah! Paling itu orang iseng atau salah sambung."Bumi menyepelekan panggilan telepon itu. Karena melihat suaminya merespon dengan santai, akhirnya Embun pun ikut melupakan telepon misterius itu. Mereka berdua asik mema
"Sudah deket, Mbak?" tanya Embun pada Laras."Sudah deket, kok, Mbak. Nanti parkir di rumah sana, Mbak! Saya kenal kok sama yang punya rumah" Laras menunjuk rumah Pak Hasan. Dia menyarankan Bumi memarkirkan mobilnya di rumah itu. Setelah itu, mereka harus berjalan kaki sejauh 300 meter untuk sampai ke rumah Bayu.Pagi ini, Embun bersama suami dan adik iparnya ikut mengantar Laras ke desanya. Sedangkan ibu dan ayahnya masih di hotel menjaga anak-anak. Mereka juga dibantu babysitter yang disewa Embun selama dua hari. Rencananya, mereka akan menginap sehari atau dua hari lagi di kota ini.Bastian sempat diminta tinggal di hotel oleh Bumi. Biarlah pencarian Bara ini diserahkan pada mereka berdua. Tapi Bastian menolak. Dia kekeuh ingin ikut bersama kedua kakaknya. Dia ingin menanyakan langsung pada Bara apakah kakaknya itu ada kaitannya dengan menghilangnya Arista."Sini sama Ina, Om."Saat mereka sudah turun dari mobil dan hendak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, tangan mungil
"Ma … Pa. Kalian pulang duluan, ya! Embun titip anak-anak. Kami bertiga akan pulang minggu depan. Mas Bara sudah ditemukan tapi ia telah meninggal dunia." Begitu lah isi pesan Embun pada kedua orang tuanya. Pak Salim dan Bu Nadine begitu terkejut mendapat kabar duka itu. Mereka ingin menyusul anak-anaknya ke desa, namun dilarang oleh Embun. "Kasihan anak-anak jika dibawa ke desa ini, Ma. Perjalanannya cukup jauh dari kota. Di sini juga tak ada tempat buat menginap. Kalian pulang duluan ke rumah, ya! Gak apa-apa, 'kan? Embun, Mas Bumi, dan Bastian bisa menyelesaikan semuanya." Begitulah penolakan Embun pada permintaan orang tuanya saat ingin menyusul ke desa. Biarlah Embun dan yang lainnya menyelesaikan semua ini. Setelah Mas Bara dikebumikan, mereka akan kembali pulang ke rumah."Bagaimana denganmu, Mas?" tanya Embun pada sang suami."Aman, Sayang. Cutiku masih panjang. Kita bisa menyelesaikan urusan di desa ini dulu baru pulang."Jika kalian bertanya soal perasaan Bumi dan yang la
Dua hari berlalu, sudah waktunya Embun dan yang lainnya pulang ke rumah. Mereka akan meninggalkan desa ini bersama Rina. Lalu, bagaimana kabar Mirah? Wanita itu masih shock. Dia harus ditemani oleh kerabatnya. Dia tak boleh dibiarkan sendiri di rumahnya. Agus pun tak terurus jika hanya ada Mirah di rumah itu."Agus mau ikut Rina … Mau ikut."Agus merengek, meminta ikut ke kota. Dia tak ingin dipisahkan dengan Rina. Para kerabat membantu membujuk anak itu agar kembali tenang. Setelah melakukan perpisahan pada sang kakak, Rina lantas pergi meninggalkan rumah yang selama ini dia tinggali penuh dengan derita. Rina kecil merasa bahagia sekaligus bersedih. Bahagia karena tak akan mendapat siksaan lagi dari kedua orang tuanya, dan bersedih karena harus berpisah dengan Agus.Sebelum meninggalkan desa, Embun dan keluarganya terlebih dahulu mengambil barang-barangnya di rumah Laras. Beberapa potong pakaian yang mereka beli di desa ini, dibiarkan begitu saja untuk Laras atau siapapun warga des
"Kita bawa ke rumah sakit aja yuk, Mbak." Valerie menyarankan Embun untuk membawa Arista ke rumah sakit. Demamnya tak kunjung turun.Embun lantas memanggil suaminya untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit. Valerie dan Bastian ikut bersama yang lainnya."Cepet sembuh, ya, Sayang. Tante ada di sini bersamamu." Valerie begitu perhatian pada Arista. Dia berusaha menjadi calon ibu sambung yang baik bagi anak Bastian.TriiingTriiingTriiingTelepon Valerie berdering. Itu dari ayahnya. Wanita itu enggan menerimanya. Tapi Bastian yang tahu betul kalau panggilan itu dari ayah Valerie, dia lantas menyuruh kekasihnya untuk pulang."Pulang lah, Val! Nanti Papa marah lagi sama kamu. Arista pasti akan baik-baik saja. Ada aku, Mbak Embun, dan Mas Bumi di sini."Awalnya Valerie menolak, tapi setelah diyakinkan oleh yang lainnya, akhirnya dia memilih mengalah. Dia akan menuruti perintah ayahnya untuk pulang. Tapi besok, Valerie akan datang lagi menemani Arista."Kamu gak bisa dibilangin banget, ya?