"Kamu ngomong apa sih, Mas?" ucap Lia tak suka.
"Berkali-kali saya mengajak kamu pulang, kamu menolak. Tapi sekalinya Vino yang minta kamu pulang, kamu langsung menurut. Jadi sebenarnya yang suami kamu itu saya atau Vino?" kali ini Lio semakin tak dapat menyembunyikan kecemburuannya."Cukup, ya, Mas!" balas Lia sedikit membentak. Ucapan Lio berhasil menyulut emosi Lia."Lia!" bentak Lio tertahan."Apa, Mas?" tanya Lia sedikit menantang."Saya ajak kamu bicara baik-baik, tapi kenapa respon kamu seperti ini?""Lalu menurut kamu aku harus bagaimana, Mas? Hem? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang telah banyak menorehkan luka di hatinya? Bagaimana seorang istri harus bersikap pada suaminya yang banyak mengabaikan hak-haknya? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang bahkan membencinya?Apa menurut kamu Lia harus terus tersenyum, bersikap hangat dan penuh kasih sayang di hadapan kamu deMobil Lio berjalan membelah jalanan malam. Suasana di dalam mobil begitu sunyi. Baik Lio maupun Lia, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Sejak tadi Lia hanya memandang ke arah luar jendela, sama sekali tak melirik suami di sisinya, tapi walau begitu, tak dapat dipungkiri, bahwa pikirannya dipenuhi oleh lelaki yang bergelar suami itu."Dulu, dua hal yang selalu aku harapkan dari pernikahan ini adalah ungkapan cinta dari mas Lio dan penyatuan jiwa raga kami dalam sebuah pergulatan yang indah. Dan kini, sebenarnya dua hal itu telah aku dapatkan, tapi mengapa rasanya begitu menyakitkan? Mengapa harus dengan cara seperti ini aku mendapatkannya?Dua hal yang seharusnya menjadi hal yang sangat membahagiakan bagjku, kini justru menjadi momok yang selalu menghantuiku.Ya Allah, apa nungkin aku bisa melalui hari-hari selanjuynya bersama mas Lio dengan baik? Setelah apa yang terjadi di antara kami.Apakah hati ini masih bisa ditumbuhi ole
Namun, Lio justru menahan tangan Lia di genggamannya. Ditariknya tangan itu mendekat ke arah bibirnya, kemudian mengecupnya pelan, lalu ia menarik kepala Lia untuk mendekat ke arahnya, kemudian mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening istrinya.Perlakuan Lio yang begitu manis sejenak membuat Lia menegang, merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya. Sesaat situasi di antara keduanya menjadi canggung, "kamu jaga diri baik-baik, ya, kalau butuh sesuatu kamu hubungi Mas saja," ucap Lio memecah keheningan.Lia hanya mengangguk mengiyakan."Oiya, besok jadwal kamu shift pagi atau malam?" tanya Lio lagi."Pagi, Mas," jawab Lia singkat."Ya sudah, besok pagi Mas jemput kamu, kita berangkat bersama, ya," ucap Lio dengan senyuman mengembang, yang lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan oleh Lia."Kalau gitu, Lia turun dulu, ya, Mas," ucap Lia lagi."Sebentar," ucap Lio menahan Lia, kemudian meraih makanan yang
Ehem!]Tiba-tiba suara deheman Lio menginterupsi. Membuat Lia memandangnya penuh makna. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian Lio meraih ponsel dari tangan Lia.[Lia, itu suara suami kamu? Kamu sedang bersama dia kah?]Tanya Vino dari seberang sana.[Iya, ini saya, Adelio Mahendra.]Sahut Lio membuat Vino di seberang sana terkejut.[Kenapa? Anda kaget seluruh percakapan Anda dengan istri saya terdengar langsung oleh saya?]Tanya Lio lagi.[Maaf, pak Lio, saya tidak tahu Anda di sana,][Anda dengar ya dr. Elvino Sebastian! Ada saya ataupun tidak, seharusnya Anda bisa menjaga sikap Anda terhadap wainta yang sudah bersuami.Anda, tidak perlu mengkhawatirkan istri saya, karena saya sebagai suaminya, akan senantiasa menjaga dan melindunginya. Saya akan pastikan dia baik-baik saja berada di sisi saya.Dan satu lagi, tolong Anda tidak perlu ikut campur dan ingin tahu urusan kami. Anda harus sadar, Anda sud
"Mas ingin kamu berhenti bekerja." Deg!Pernyataan Lio sukses membuat Lia menoleh ke arahnya dengan kedua mata yang membulat, ia benar-benar tak menyangka bahwa kecemburuan suaminya akan berakibat sejauh ini."Mas, kamu apaan, sih?""Tolong, Lia. Ikuti kemauan Mas, kali ini saja," ucap Lio."Lia nggak mau, Mas. Lia nggak mau meninggalkan pekerjaan Lia. Ini nggak adil untuk Lia," sahut Lia enggan menuruti permintaan suaminya."Nggak adil bagaimana? Saya suami kamu, Saya yang akan menjamin seluruh kebutuhan hidup kamu," jawab Lio dengan tegasnya."Bukan soal bagaimana aku akan memenuhi kebutuhanku, Mas. Tapi aku juga mencintai profesiku," sahut Lia tetap tak goyah."Mana yang lebih kamu cinta? Suami atau peofesi kamu?" tanya Lio yang membuat Lia memandangnya penuh keheranan."Mas, kamu ini kenapa, sih?""Jawab, Lia!""Nggak akan bisa dibandingkan antara kamu dengan pekerjaan aku, Mas. Itu dua hal yang berbeda. Pokoknya Lia nggak mau be
Aaaaarrrrhgghhhh," teriak Lio sesaat setelah punggung Lia menghilang di balik pintu. Sedang Lia, kini ia tengah menyandarkan tubuhnya di pintu, menghela nafasnya panjang, mencoba meredakan segala gejolak di hatinya."Ya Allah, kenapa semuanya semakin runyam begini?" batinnya.Ia memejamkan matanya sejenak, mencari ketenangan untuk dirinya. Diliriknya ponsel di tangannya, kemudian menempelkan sidik jarinya agar layar ponsel itu menyala. Dan, halaman pertama yang nampak adalah halaman chattnya dengan Vino.Lagi-lagi ia menghela nafasnya. Ia tak menyangka kejadian hari ini akan berefek sedemikan jauh.Lia kembali menutup ponselnya, lalu beranjak menuju kamar ibunya, sejenak mencari ketenangan dengan aroma khas kamar ibunya.****Lio menghempaskan tubuhnya kasar di sebuah ranjang berukuran kingsize. Dipejamkannya mata menikmati aroma istrinya yang masih tertinggal di sana. Lio menggerakkan tangannya mengusap kasur yang dite
Lia berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu, diputarnya kunci kemudian menarik ganggang pintu bergaya belah kupu-kupu itu untuk membukanya.Setelah pintu terbuka, tampaklah seseorang telah berdiri di sana, menyambutnya dengan senyuman terindahnya."Mas Lio?" "Selamat pagi Lia." sapa Lio hangat."Ngapain Mas Lio di sini?""Kamu nggak ingin mempersilakan saya masuk dulu? Masa ada tamu dibiarkan berdiri di depan pintu?"Lia menghela nafasnya kemudian dengan penuh keterpaksaan mempersilakan Lio masuk."Ya udah, masuk, Mas," ucap Lia.Kemudian Lio masuk dan duduk di sofa. Sedangkan Lia, ia segera beranjak dari hadapan Lio."Kamu mau ke mana, Lia?""Buatin tamu minum," jawab Lia dengan wajah betenya, membuat Lio mengukir senyuman tipis di bibirnya.Lio membiarkan Lia pergi, rasanya ia rindu momen pagi hari bersama istrinya, pagi di mana Lia akan menyiapkan teh hangat dan beberapa
Mobil melaju cepat melewati jalanan yang mulai padat merayap, suasana di antara Lio dan Lia terasa canggung, tidak ada obrolan di antara keduanya. Sedari tadi Lia hanya terdiam sembari menikmati pemandangan dari jendela, sedangkan Lio, ia tengah fokus menyetir, dengan sesekali menoleh ke arah istri di sisinya.Merasa bosan dengan suasana yang sunyi, Lio menyalakan radio, kemudian sebuah lagu dengan judul "Beri Aku Kesempatan" yang dirilis oleh D'DOOLS terputar menghibur perjalanan mereka.Bila saja aku kau beri kesempatanSekali lagiTakkan ada kata pisahYang akan terucapBila saja aku kau beri kesempatanSekali lagiIzinkan ku memelukmuKembali padamuLio mendengarkan lagu itu dengan seksama, entah mengapa ia merasa lagu itu begitu sesuai dengan isi hatinya saat ini, diliriknya Lia yang ternyata juga tengah memandanginya, rupanya, lagu "Beri Aku Kesempatan" berhasil mencuri perhatiannya.Lio mengulas senyum pada Lia, membuat Lia den
"Itu ..." Lina menggantung kalimatnya kemudian menoleh ke arah kerumunan rekan-rekan kerjanya."Itu mereka berkerumun karena penasaran siapa minggu ini yang punya giliran menggantikan jadwal shift malam kamu, karena tadi Pak Sigit bilang, kalau kita semua akan digilir bergantian bertukar jadwal shift malam dengan kamu. Kita semua sangat antusias karena untuk pertukaran shift malam dengan kamu kita akan mendapatkan bayaran dua kali lipat," jelas suster Lina membuat liat tercengang heran.Lia melirik Lio di sisinya yang sedang tersenyum merekah, " Apa mungkin ini yang dimaksud Mas Lio bahwa dia telah memperkirakan segala sesuatunya? Mas Lio memang memiliki power, dia bisa melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya, tapi aku bersyukur, karena dengan ini rekan-rekan kerjaku tidak merasakan kecemburuan sosial," batin Lia."Btw, aku nggak nyangka lho kalau kamu ternyara istri dari pemilik rumah sakit ini, Masya Allah, selamat ya, Lia, aku turut bahagia, semoga pernikahan kalian langgeng
[ Pak Lio, tenang, ya. Dampingi dulu istrinya, saya masuk minta bantuan satpam saja. ][ Baik, Dok. Mohon maaf sebelumnya. ][ Nggak apa-apa, saya mengerti kok, Pak. ]Panggilan berakhir, kemudian Lio segera mendekati Lia, memberi support dan afirmasi positif untuk istri tercintanya."Kamu pasti kuat, Sayang. Kamu pasti bisa."Selang lima menit, dr. Melani datang dan langsung mengambil tindakan. Dengan cekatan dr. Melani mengecek pembukaan jalan lahir."Masih bukaan 4 Pak Lio, tapi kondisi Bu Lia sudah melemah. Bisa tolong bantu saya pasangkan cairan infusnya?" tanya dr. Melani.Dengan cekatan Lio segera melakukan apa yang dr. Melani perintahkan. 10 tahun mengenyam pelajaran kedokteran ternyata tak cukup membuat Lio memahami apa yang harus dilakukannya di saat-saat genting seperti ini. Isi otaknya seakan ngeblank ketika dihadapkan dengan situasi seperti saat ini.Di sisi lain, dr. Melani segera memasang Kardiotokografi di perut Lia, sebuah alat yang merekam denyut nadi janin juga keku
"Bukan mancing, Mas ...""Terus?""Tapi minta," sahut Lia dengan senyuman genitnya, membuat Lio tak dapat menahan untuk tak mencubit gemas hidung mungilnya."Dengan senang hati, Sayang ..." sahut Lio sembari mulai membelai pipi Lia yang semakin hari semakin chuby efek kehamilannya.Dan malam itu, mereka kembali menyatu sebagai sepasang suami istri, saling memberikan kehangatan dan kenikmatan, menciptakan peluh dan desahan penuh kenikmatan.Lia dan Lio tertidur sesaat setelah sama-sama mencapai puncak nikmat penyatuan mereka. Kondisi yang melelahkan membuat keduanya begitu mudah terbuai di alam mimpi.Hingga waktu memasuki pertengahan malam, Lia merasakan perutnya begitu mulas, seperti ingin BAB. Dengan terburu-buru Lia berusaha bangun dan beranjak ke kamar mandi. Lio yang merasa kelelahan akibat aktifitas malam mereka, tak merasakan apapun dalam tidurnya, ia begitu terlelap hingga tak menyadari bahwa istrinya tak lagi di sisinya."Mas Lio ...!" tiba-tiba suara Lia yang berteriak di da
"Ke bawahan lagi, Mas ...""Ini?""Dikit lagi, Mas.""Sudah, Pas?""Terlalu ke bawah itu, Mas.""Jadi yang sebelah mana?"Tanya Lio mulai frustasi, itulah rutinitasnya tiap malam di sembilan bulan kehamilan istrinya.Lia yang perutnya semakin membuncit kerap kali mengeluh merasa kesakitan di punggungnya. Mungkin akibat ketidak seimbangan beban dengan pasaknya.Setiap malam, sebelum tidur, Lio selalu menyempatkan diri untuk memijat halus tubuh istrinya, menyampaikan afirmasi positif untuk istri dan juga janin yang ada di dalam kandungannya."Kalian sangat kuat, kalian juga sangat hebat. Papa yakin, Mama dan Dede di perut bisa bekerja sama dengan baik nantinya. Papa selalu berharap, semoga semua prosesnya diberi kelancaran," ucap Lio diikuti ciuman yang mendarat di perut buncit milik istrinya.Saat Lio baru saja mendaratkan bibirnya di sana, tiba-tiba ia merasakan tendangan kuat dari dalam perut Lia tepat mengenai bibirnya."MasyaAllah, kamu menyambut Papa ya, Nak? Papa jadi nggak sabar
"Apa sih yang nggak buat kamu?""Ya udah, tolong Mas bilang sama cheffnya, ya suruh ikutin resepnya abang-abang martabak yang biasa di pinggir jalan."Kenapa harus gitu, Sayang? Dah biar resepnya apa kata mereka aja, ya? Pastinya mereka juga lebih tau dan ahli dibanding abang-abang penjual kaki lima.""Tapi Lia pengennya yang gitu, Mas," rengek Lia."Ya udah, ya udah, nanti Mas coba bilangin, kamu doa aja ya semoga cheffnya bisa dan mau.""Amiin."Lio lalu mengantar Lia ke kamar untuk beristirahat, kemudian meninggalkannya ke restoran tempat mereka menginap.Satu jam berlalu, saat Lio dengan penuh semangat membawa martabak manis pesanan istri tercinta. "Sayang, Mas datang ..." ucapnya seraya memasuki kamar, berharap istrinya itu akan menyambutnya dengan mata berbinar-binar.Namun ternyata kenyataan tak semanis yang dibayangkan. Istrinya itu justru tengah terpejam, lelap dalam tidur siangnya, bahkan sampai tak menyadari kehadirannya.Lio tersenyum simpul, diletakkannya piring berisi
"Udah boleh dibuka belum, Mas?" tanya Lia sembari memegangi kain yang menutupi matanya."Belum, dikit lagi," sahut Lio yang memapahnya dari belakang. Diputarnya tubuh sang istri perlahan."Kamu ini ada-ada aja deh, Mas. Seharusnya kamu yang dapat surprise dari aku, karena kamu kan yang baru pulang dari rumah sakit. Ini kok kebalik, malah kamu yang kasih aku surprise," ungkap Lia sembari suaminya memutar-mutar tubuhnya."Udah ya, kamu nurut aja sama Mas," sahut Lio setelah mendapatkan posisi yang pas."Udah?""Udah, saya buka ya, tapi kamu tetap pejamkan mata sampai hitungan ke-tiga," ucap Lio mengarahkan."Okey."Perlahan Lio membuka kain yang menutupi mata istrinya, lalu mulai berhitung, "Satu ... Dua ... Tiga ... Buka mata kamu, Sayang!" titah Lio. Dan perlahan Lia mulai membuka matanya."Masya Allah," gumam Lia pelan. Ternyata suaminya itu membawanya ke sebuah Villa yang terletak di sebuah tebing, saat ini mereka tengah berada di area kolam renang yang terletak di balkon kamar, den
***Lio mengerjapkan matanya kala cahaya mentari mulai menyilaukan matanya, dan pemandangan pertama yang ia lihat saat matanya terbuka adalah seorang wanita cantik yang tengah tersenyum hangat padanya. Wanita yang belakangan selalu memenuhi pikiran dan hatinya.Lio membalas senyum istrinya, " Lia ..." ucapnya lirih. Ini kali pertama ia mengeluarkan suaranya setelah sadar dari koma, semalam, setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Lio segera tertidur hingga pagi ini."Selamat pagi, Mas," sambut Lia dengan ucapan selamat pagi."Aku seneng deh, Mas, akhirnya pagi ini aku bisa melihat kamu membuka mata, setelah sebulan lamanya di setiap pagi aku terus mengharapkannya," ucap Lia penuh bahagia."Maaf, ya, Mas terlalu lama melewatkan waktu bersama kamu," ucap Lio sembari membelai pipi istrinya."Kamu nggak perlu minta maaf, Mas. Dengan kamu kembali sadar seperti ini, aku sudah sangat bahagia. Selamat ulang tahun, ya, Mas. Semua harapan
Satu bulan berlalu dan Lio masih belum sadar dari komanya. Selama itu pula Lia selalu berada di sisinya, melangitkan doa-doa agar keajaiban datang memberi kesembuhan pada suaminya, memohon pada Allah agar ia diberi kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki segala kesalahan yang sempat ia lakukan sebelumnya."Lio sangat beruntung memiliki kamu, Lia," ucap Arumi saat baru saja memasuki ruang rawat anaknya. Lia baru saja selesai sholat isya' saat mertuanya itu datang dan masuk ke ruangan."Eh, Bunda? Ayah mana?" sapa Lia sembari mencium punggung tangan mertuanya."Ayah masih ada urusan sebentar, bentar lagi juga kesini," jelas Arumi sembari mendekati putranya yang masih terbaring koma.Arumi meraih tangan Lio, kemudian mengecupnya beberapa kali, "Bagaimana kabarmu hari ini, Nak? Bunda selalu berharap kamu segera pulih, lihatlah, kita semua menunggumu, Lio. Kita semua merindukanmu.Lihatlah Lia, setiap hari istrimu itu selalu mengurusmu dengan begitu baik, bahkan sampai tak sempat mengur
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi, namun Lio tak kunjung datang menjemput Lia. Sedari tadi Lia tampak gelisah, langkahnya tak berhenti mengitari rumah, mondar-mandir tak tentu arah."Tumben sih Mas Lio datang telat? Apa dia lupa ya kalau harus jemput aku? Mana dihubungi dari tadi susah banget lagi. Suka begini deh kalau lagi genting,'' gerutu Lia dalam hati. Walau begitu ia sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya yang tak kunjung datang.Waktu terus berlalu, hingga menunjukkan pukul 07.30, tapi Lio tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Perasaan Lia semakin resah, disamping ia kepikiran suaminya, kini ia juga tak dapat terlalu lama menunggu, karena ia akan datang terlambat jika tidak segera berangkat.Segera Lia membuka aplikasi hijau, dan memesan sebuah taxi online. Namun tiba-tiba sebuah panggilan dari Vino masuk.Sejenak Lia ragu untuk mengangkatnya, mengingat suaminya yang begitu sensitif jika ia berhubungan dengan Vino. Lia sengaja mengabaikan panggilan itu dan lanjut memesan
Tok ... Tok ... Tok ..."Lia, buka pintunya, Nak!" Lia mendengar suara ketukan dari pintu kamarnya, perlahan ia berjalan dan membukanya."Ibu?" tanya Lia sedikit terkejut."Boleh Ibu masuk?""Boleh dong, Bu. Ayo," ucap Lia bersemangat."Ibu, Lia kangen banget ...," ucap Lia sesaat setelah duduk di tepi ranjang lalu memeluk ibunya."Ibu juga kangen sama, Lia," sahut Ibunya membalas pelukan. "Lia kenapa di sini? Bukankah seharusnya Lia ada di rumah suami Lia?" tanya Ibunya sembari perlahan melepas pelukannya." Lia kangen sama Ibu," jawab Lia sembari memandang wajah teduh Ibunya, wajah itu kini tampak semakin segar dan cantik, berbeda dengan yang Lia lihat saat terakhir bertemu."Ibu sudah sehat?" tanya Lia ingin mengetahui kondisi ibunya.Rani tersenyum, anak perempuannya itu tidak pernah berubah, selalu mencari pelukannya setiap kali menghadapi masalah, juga selalu memperhatikan kesehatannya."Ibu sehat, Nak. Ibu sudah tidak sakit lagi, seperti yang kamu lihat," jelas Rani pada putr