Lio melangkahkan kaki perlahan, sembari kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Lia. Hingga akhirnya kedua matanya menangkap objek yang sedang dicarinya. Ya, ia menemukan istrinya, Lia, tengah berbincang dengan seseorang yang tak asing lagi baginya, di sebuah meja yang terletak di ujung kantin.
Melihat itu, tangan Lio terkepal kuat, prrtanda emosi mulai menghampirinya, 'Sehari semalam kamu mengabaikan panggilan dan chat saya, Lia. Dengan alasan butuh ruang dan waktu untuk menenangkan diri. Dan saya rela menahan diri untuk menemui kamu. Tapi sore ini, saya justru sedang melihat kamu tengah bercengkrama dengan lelaki lain, bahkan kalian terlihat begitu dekat dan akrab. Apa memang seperti ini caramu menenangkan diri?' batin Lio geram.Ia berjalan cepat ke arah meja yang ditempati Lia dan Vino, berniat segera menghentikan aktifitas mereka, namun langkahnya terhenti saat mendengar pembahasan yang sedang dibicarakan oleh kedua orang yang menjadi objekLio berjalan cepat menuju parkiran dengan menggandeng tangan Lia yang ada di belakangnya, ia bahkan mengabaikan beberapa karyawannya yang menyapa.Setelah sampai di parkiran, Lio segera memakai helmnya, kemudian menyerahkan helm lainnya kepada Lia dan memintanya untuk memakainya."Nih, pakai!""Kamu kenapa sih, Mas?""Pakai helmnya, Adelia!""Lia mau kerja, Mas.""Saya nggak izinkan kamu kerja hari, ini. Cepat pakai kemudian naik!" titah Lio sembari menaiki motor.Tak dapat membantah lagi, akhirnya Lia memilih untuk menurut. Setelah menggunakan helmnya, Lia segera naik ke atas motor. Setelah itu, Lio segera melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata"Pegangan, Lia!" titah Lio pada Lia yang sedari tadi hanya diam dan terkesan menjaga jaraknya dengan Lio."Udah," balas Lia singkat. Tanpa banyak bicara, Lio segera meraih tangan kiri Lia dan mengarahkannya untuk berpegangan di perutnya,
"Kamu ngomong apa sih, Mas?" ucap Lia tak suka."Berkali-kali saya mengajak kamu pulang, kamu menolak. Tapi sekalinya Vino yang minta kamu pulang, kamu langsung menurut. Jadi sebenarnya yang suami kamu itu saya atau Vino?" kali ini Lio semakin tak dapat menyembunyikan kecemburuannya."Cukup, ya, Mas!" balas Lia sedikit membentak. Ucapan Lio berhasil menyulut emosi Lia."Lia!" bentak Lio tertahan."Apa, Mas?" tanya Lia sedikit menantang."Saya ajak kamu bicara baik-baik, tapi kenapa respon kamu seperti ini?""Lalu menurut kamu aku harus bagaimana, Mas? Hem? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang telah banyak menorehkan luka di hatinya? Bagaimana seorang istri harus bersikap pada suaminya yang banyak mengabaikan hak-haknya? Bagaimana seorang istri harus bersikap kepada suaminya yang bahkan membencinya?Apa menurut kamu Lia harus terus tersenyum, bersikap hangat dan penuh kasih sayang di hadapan kamu de
Mobil Lio berjalan membelah jalanan malam. Suasana di dalam mobil begitu sunyi. Baik Lio maupun Lia, semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Sejak tadi Lia hanya memandang ke arah luar jendela, sama sekali tak melirik suami di sisinya, tapi walau begitu, tak dapat dipungkiri, bahwa pikirannya dipenuhi oleh lelaki yang bergelar suami itu."Dulu, dua hal yang selalu aku harapkan dari pernikahan ini adalah ungkapan cinta dari mas Lio dan penyatuan jiwa raga kami dalam sebuah pergulatan yang indah. Dan kini, sebenarnya dua hal itu telah aku dapatkan, tapi mengapa rasanya begitu menyakitkan? Mengapa harus dengan cara seperti ini aku mendapatkannya?Dua hal yang seharusnya menjadi hal yang sangat membahagiakan bagjku, kini justru menjadi momok yang selalu menghantuiku.Ya Allah, apa nungkin aku bisa melalui hari-hari selanjuynya bersama mas Lio dengan baik? Setelah apa yang terjadi di antara kami.Apakah hati ini masih bisa ditumbuhi ole
Namun, Lio justru menahan tangan Lia di genggamannya. Ditariknya tangan itu mendekat ke arah bibirnya, kemudian mengecupnya pelan, lalu ia menarik kepala Lia untuk mendekat ke arahnya, kemudian mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening istrinya.Perlakuan Lio yang begitu manis sejenak membuat Lia menegang, merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya. Sesaat situasi di antara keduanya menjadi canggung, "kamu jaga diri baik-baik, ya, kalau butuh sesuatu kamu hubungi Mas saja," ucap Lio memecah keheningan.Lia hanya mengangguk mengiyakan."Oiya, besok jadwal kamu shift pagi atau malam?" tanya Lio lagi."Pagi, Mas," jawab Lia singkat."Ya sudah, besok pagi Mas jemput kamu, kita berangkat bersama, ya," ucap Lio dengan senyuman mengembang, yang lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan oleh Lia."Kalau gitu, Lia turun dulu, ya, Mas," ucap Lia lagi."Sebentar," ucap Lio menahan Lia, kemudian meraih makanan yang
Ehem!]Tiba-tiba suara deheman Lio menginterupsi. Membuat Lia memandangnya penuh makna. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian Lio meraih ponsel dari tangan Lia.[Lia, itu suara suami kamu? Kamu sedang bersama dia kah?]Tanya Vino dari seberang sana.[Iya, ini saya, Adelio Mahendra.]Sahut Lio membuat Vino di seberang sana terkejut.[Kenapa? Anda kaget seluruh percakapan Anda dengan istri saya terdengar langsung oleh saya?]Tanya Lio lagi.[Maaf, pak Lio, saya tidak tahu Anda di sana,][Anda dengar ya dr. Elvino Sebastian! Ada saya ataupun tidak, seharusnya Anda bisa menjaga sikap Anda terhadap wainta yang sudah bersuami.Anda, tidak perlu mengkhawatirkan istri saya, karena saya sebagai suaminya, akan senantiasa menjaga dan melindunginya. Saya akan pastikan dia baik-baik saja berada di sisi saya.Dan satu lagi, tolong Anda tidak perlu ikut campur dan ingin tahu urusan kami. Anda harus sadar, Anda sud
"Mas ingin kamu berhenti bekerja." Deg!Pernyataan Lio sukses membuat Lia menoleh ke arahnya dengan kedua mata yang membulat, ia benar-benar tak menyangka bahwa kecemburuan suaminya akan berakibat sejauh ini."Mas, kamu apaan, sih?""Tolong, Lia. Ikuti kemauan Mas, kali ini saja," ucap Lio."Lia nggak mau, Mas. Lia nggak mau meninggalkan pekerjaan Lia. Ini nggak adil untuk Lia," sahut Lia enggan menuruti permintaan suaminya."Nggak adil bagaimana? Saya suami kamu, Saya yang akan menjamin seluruh kebutuhan hidup kamu," jawab Lio dengan tegasnya."Bukan soal bagaimana aku akan memenuhi kebutuhanku, Mas. Tapi aku juga mencintai profesiku," sahut Lia tetap tak goyah."Mana yang lebih kamu cinta? Suami atau peofesi kamu?" tanya Lio yang membuat Lia memandangnya penuh keheranan."Mas, kamu ini kenapa, sih?""Jawab, Lia!""Nggak akan bisa dibandingkan antara kamu dengan pekerjaan aku, Mas. Itu dua hal yang berbeda. Pokoknya Lia nggak mau be
Aaaaarrrrhgghhhh," teriak Lio sesaat setelah punggung Lia menghilang di balik pintu. Sedang Lia, kini ia tengah menyandarkan tubuhnya di pintu, menghela nafasnya panjang, mencoba meredakan segala gejolak di hatinya."Ya Allah, kenapa semuanya semakin runyam begini?" batinnya.Ia memejamkan matanya sejenak, mencari ketenangan untuk dirinya. Diliriknya ponsel di tangannya, kemudian menempelkan sidik jarinya agar layar ponsel itu menyala. Dan, halaman pertama yang nampak adalah halaman chattnya dengan Vino.Lagi-lagi ia menghela nafasnya. Ia tak menyangka kejadian hari ini akan berefek sedemikan jauh.Lia kembali menutup ponselnya, lalu beranjak menuju kamar ibunya, sejenak mencari ketenangan dengan aroma khas kamar ibunya.****Lio menghempaskan tubuhnya kasar di sebuah ranjang berukuran kingsize. Dipejamkannya mata menikmati aroma istrinya yang masih tertinggal di sana. Lio menggerakkan tangannya mengusap kasur yang dite
Lia berjalan menuju ruang tamu untuk membukakan pintu, diputarnya kunci kemudian menarik ganggang pintu bergaya belah kupu-kupu itu untuk membukanya.Setelah pintu terbuka, tampaklah seseorang telah berdiri di sana, menyambutnya dengan senyuman terindahnya."Mas Lio?" "Selamat pagi Lia." sapa Lio hangat."Ngapain Mas Lio di sini?""Kamu nggak ingin mempersilakan saya masuk dulu? Masa ada tamu dibiarkan berdiri di depan pintu?"Lia menghela nafasnya kemudian dengan penuh keterpaksaan mempersilakan Lio masuk."Ya udah, masuk, Mas," ucap Lia.Kemudian Lio masuk dan duduk di sofa. Sedangkan Lia, ia segera beranjak dari hadapan Lio."Kamu mau ke mana, Lia?""Buatin tamu minum," jawab Lia dengan wajah betenya, membuat Lio mengukir senyuman tipis di bibirnya.Lio membiarkan Lia pergi, rasanya ia rindu momen pagi hari bersama istrinya, pagi di mana Lia akan menyiapkan teh hangat dan beberapa