Pilar terdiam sesaat memandang wajah Rachel yang berdebar-debar karena menyebut nama mama dari Pilar sendiri. Setelah Pilar menarik senyum dan mengangguk, otomatis Rachel menghembuskan nafas lega. Pilar berkutat pada buku berwarna penuh gambar lucu yang Rachel sebut binder.
“Kalau sudah sembuh bisa bertemu aku kalau Tante izinkan, nanti kita bisa sama-sama belajar. Semoga setelah membaca surat aku, tambah semangat untuk sembuh ya Tante. Dan terima kasih hadiahnya.” Pilar melipat surat menjadi tiga bagian dan memasukkannya ke dalam amplop senada yang ternyata ada di bagian belakang buku warna. Rachel menerima dengan senyuman, ada secuil sesal di sudut hatinya karena membohongi remaja manis berhati lembut seperti Pilar. Namun di sisi lain ia membantu sahabatnya yang sangat merindukan remaja tersebut. “Terima kasih ya Pilar, kamu anak baik,” tutur Rachel tulus. Pilar mengangguk penuh senyuman lalu melambaikan tangan pada Rachel yang menutupkan pintu setelah sang remaja memasuki mobilnya. Segera menuju lokasi pemotretan Gayatri untuk memberikan surat dari putrinya. Gayatri menerima segelas minuman dari Rachel usai ia menyelesaikan pekerjaannya satu jam kemudian. Memberikan waktu Gayatri berganti pakaian dan menghapus semua polesan warna di wajahnya sebelum kembali duduk di sampingnya. “Ini.” Rachel memberikan amplop pink manis pada Gayatri. “Surat? Dari?” Gayatri menerima surat dari tangan Rachel. “Pilar, sebaiknya kamu baca di rumah. Takutnya banjir air mata nanti.” Rachel menahan tangan Gayatri yang sudah membuka penutup amplop. Gayatri kembali memasukkan surat dan mengangguk sebelum memasukkannya ke dalam tasnya. “Kok bisa kasih surat, kamu cerita? Aduh jangan-jangan isinya makian,” bisik Gayatri sudah takut duluan. “Buat anak fiktif aku sebenarnya, nanti saja ceritanya. Intinya kado kamu sudah diterima dengan senyuman lebar. Aku yakin isinya bukan makian, langsung pulang saja istirahat, besok Kita ke Bandung.” Rachel menyeruput lemon tea dinginnya. Gayatri tidak sabar membaca surat dari Pilar meskipun ia tahu surat itu dibuat putrinya bukan untuk ia, melainkan untuk anak fiktif Rachel yang sedang sakit. Menyandarkan punggung pada sofa di ruang kamarnya, Gayatri perlahan membuka kertas berwarna pink kebiruan di tangan. Senyumnya langsung berkembang kala melihat tinta berwarna hijau nan rapi tersusun di atas kertas. Dear Gaya “Rachel menyebut anaknya bernama Gaya?” gumam Gayatri sebelum melanjutkan membaca tulisan tangan Pilar. Dear GayaSalam kenal, aku Pilar. Kita mungkin sudah pernah bertemu saat perlombaan sekolah tapi kita belum mengenal secara langsung. Aku harap kita bisa bertemu satu saat nanti ya, saat badan kamu sudah sehat. Semoga sakit kamu lekas sembuh agar bisa kembali bersekolah, jangan berkecil hati walau kemarin tidak menjadi juara. Semua peserta sudah juara karena bisa melewati begitu banyak sesi penyisihan. Kata tante Rachel kamu sedih ya tidak bisa bertemu aku, jangan sedih ya ... kita akan bertemu saat kamu sembuh. Semangat Gaya, aku mendoakan kesembuhan kamu agar kita bisa bertemu ya.Salam sayang, Pilar. Apa yang Rachel perkiraan menjadi kenyataan, Gayatri sudah menangis dari pertama membaca kata salam. Meskipun di sini yang dimaksud bukan dirinya namun ia merasa surat tersebut dibuat sepenuh hati untuknya. Walau ia telah berbohong, namun Gayatri bersyukur bisa merasakan sedikit ketulusan Pilar pada sosok Gaya fiktif. “Pilar ... mama sangat menyayangi kamu, Nak.” Gayatri memeluk selembar surat Pilar di dadanya dengan sedu lirih menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Gayatri meringkuk di sofa sendirian, dengan lampu temaram memeluk kertas surat yang ditulis putrinya sepenuh hati untuk Gaya. “Tidak bisakah Mama memeluk kamu, Pilar,” ratap Gayatri diantara kesunyian rumahnya. Keesokan harinya Gayatri dan Rachel menuju Bandung untuk kepentingan pekerjaan. Surat pemberian Pilar ia masukan ke bingkai berwarna emas dan ia letakan di samping tempat tidurnya agar ia bisa peluk saat ia hendak tidur. “Menangis semalaman ya?” bisik Rachel pada Gayatri. “Hanya dua jam, enggak bengkak tenang saja aku tetap paripurna depan kamera,” kekeh Gayatri. “Apa isinya?” tanya Rachel keduanya sudah berada di sebuah hotel di daerah Bandung. “Kalimat semangat agar Gaya, anak kamu, sehat dan dapat segera bertemu dengan Pilar,” jawab Gayatri. “Ouh ... manisnya.” Rachel memegangi dadanya penuh haru, kemudian mengusap punggung Gayatri dengan senyuman kecil. “Aku doakan siang malam semoga hati Pilar dan bapaknya lembut dan menerima kamu lagi ya,” ucap Rachel. “Pilarnya saja, bapaknya enggak usah,” ralat Gayatri menyeringai. “Dan lagi, memang kapan kamu sholatnya mau mendoakan aku siang malam?” ledek Gayatri telak.Rachel menepuk lengan Gayatri. “Sialan.” Gayatri tertawa terbahak-bahak, impas rasanya bisa membalas tiap ledekan Rachel selama ini. Ia menjalani pemotretan pada sebuah tempat dan menginap di salah satu hotel ternama di Bandung. Gayatri adalah pekerja keras profesional. Keputusannya keluar dari Agency Kanada sejujurnya banyak yang menyayangkan dan menahannya. Akan tetapi Gayatri sudah meniatkan memang ia ingin menebus dosanya pada Pilar, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkan pengampunan dan berharap bisa kembali diterima walau bukan dalam bentuk keluarga utuh kembali. “Iya benar Resort depan vila yang tadi punya saya, hubungi saya saja jika Pak Gerald mau berlibur ke tempat yang lumayan sunyi. Di sana hanya ada kurang dari sepuluh Resort, sebagian punya saya.” Suara dua orang laki-laki terdengar tengah bercakap menuju tempat Gayatri duduk menikmati keindahan hutan buatan yang sudah dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Gayatri belum kembali ke hotel karena ingin melihat-lihat dengan duduk santai memegang kopi hangat, namun ternyata hal tidak ia sangka terjadi. Di depan sana, kurang dari 50 meter tampak dua orang bercakap dengan pakaian rapi jas hitam dan tampilan parlente. Gayatri menegang seketika, dia adalah Eliot membawa sebuah tablet di tangannya. “Saya suka yang bagian selatan Pak, nanti saya bawa anak istri saya ke sana saat mereka libur sekolah,” timpal laki-laki di samping Eliot. “Silakan, saya senang jika Pak Gerald berkenan.” Eliot dan tamunya melewati meja kursi yang sedang Gayatri duduki begitu saja, seolah keduanya tidak pernah saling mengenal. Gayatri entah mengapa saat kedua laki-laki tersebut berjalan di sampingnya ia menahan nafas dan melepas nafas ketika keduanya sudah melewati dirinya. Terasa tercubit keras dengan apa yang baru saja melewatinya. Eliot ... tidak menegurnya, Eliot pura-pura tidak mengenalnya. Ada goresan tidak kasat mata di lubuk hati Gayatri. Memutuskan mengakhiri sesi mengopinya yang sudah lain rasanya, Gayatri segera membayar dan berlalu dari kedai kopi ternama di sana. “Kenapa membuntuti aku?” Suara berat memotong jalan Gayatri yang hendak menaiki taksi menuju hotelnya. “Astaga!” Gayatri memegangi dadanya karena kaget luar biasa akan sapaan berat Eliot. “Kenapa membuntuti aku?” tanya Eliot kedua kalinya.Gayatri menghela nafas panjang. “Aku tidak mengikuti kamu, aku di sini karena pekerjaan.”Eliot mendengus tidak percaya. “Kamu bahkan membuntuti aku sampai depan rumah.”“Aku enggak membuntuti kamu,” sanggah Gayatri kuat. “B 5632 ZX adalah plat mobil yang kemarin diam lebih dari sepuluh menit di depa rumah aku. Dan mobil volvo itu milik Rachel Ariani Putri yang mana adalah manager dari seorang model bernama Gayatri. Masih mau mengelak?” desak Eliot tanpa memberi ampun. Gayatri menghela nafas panjang, menggaruk keningnya yang tidak gatal sebelum ia menjawab tuduhan Eliot. Belum ia memberikan penjelasan, Eliot sudah kembali memberinya peringatan. “Jika sekali lagi kamu menguntit saya apalagi Pilar, jangan salahkan aku jika agensi kamu saya tuntut bukan hanya kamu dan Rachel. Dengarkan itu baik-baik.” Eliot memberikan ancaman dengan rahang mengetat sempurna dan langsung membalikkan badan dan meninggalkan Gayatri yang tergagap tidak diberikan kesempatan menjelaskan. Sepeninggal Eliot, Gayatri menghela nafas panjang dan meneruskan memasuki taksi. Moodnya semakin jelek karena tud
“Dapat salam dari Gilbert,” seringai Rachel kala datang ke kediaman Gayatri yang sedang tidak ada jadwal dan berniat malas-malasan di rumah. “Kaya anak remaja saja kirim salam,” dengus Gayatri dengan raut bosan. “You know i mean,” kekeh Rachel. “Sudah ditolak berkali-kali enggak menyerah juga. Untung proyek sama dia sudah selesai. Kamu enggak shoping? Jangan bilang ke sini bawa kerjaan. Aku mau enggak produktif dulu please.” Gayatri melempar Rachel yang justru tertawa mendengar penolakan jelas darinya. “Aku numpang molor, gila punggung aku capek sekali tapi malas ke salon. Di rumah ada saja yang mengganggu. Enggak boleh tinggal di apartemen tapi enggak pernah bisa bobok cantik tanpa gangguan.” Rachel merebahkan tubuh di samping Gayatri dengan posisi telungkup setelah menanggalkan semua pakaiannya dan menyisakan sepasang pakaian dalam berwarna hitam. “Bukannya senang rumah kamu ramai, coba li
“Tolong dengarkan dulu penjelasan Tante, Pilar.” Rachel tidak akan melepas Pilar begitu saja dengan kesalah pahaman. “Aku tidak butuh penjelasan apa pun,” jawab Pilar. “Kamu harus tahu alasan mama kamu pergi,” seru Rachel saat melihat Pilar tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkah menuju sebuah mobil yang kemungkinan mengantarnya. Langkah Pilar terhenti, membalikkan badan dan memandang penuh kemarahan pada sosok Rachel. “Kamu tidak tahu alasan mama kamu pergi saat itu, Pilar. Kamu mau mendengarkan penjelasan Tante? Tante sungguh minta maaf sudah membohongi kamu untuk hadiah ini dan cerita tentang anak Tante. Bisa kita bicara sebentar?” Rachel kembali berjalan pelan mendekati Pilar yang sudah berdiri di ambang pembatas pagar rumah Gayatri. “Aku tidak ingin tahu dan tidak mau tahu. Meninggalkan anak kecil usia lima tahun sendirian adalah kejahatan yang tidak akan bisa aku maafkan sampai kap
“Loh memang enggak bisa di cancel dulu Mbak tadi pesanan saya?” tanya Pilar. “Enggak bisa Dek, sistem komputer kami sudah diprogram seperti itu. Tidak apa-apa ini dibawa rotinya. Selamat sarapan ya.” Kasir memberikan pesanan Pilar dengan senyuman lebar. “Aku bagaimana mengucapkan terima kasih sama orangnya Mbak?” Pilar masih bengong bingung. “Tadi sudah saya gantikan mengucapkan terima kasih, kamu sedang izin keluar kelas kan tadi katanya. Sana lekas balik ke sekolah dan lekas dimakan selagi hangat,” tambah Kasir. Akhirnya Pilar mengucapkan terima kasih dan segera keluar dari toko roti langganannya. Ia memang sedang izin keluar karena kepentingan melengkapi data untuk Olimpiade berikutnya dan ia minta diturunkan di toko roti tersebut oleh bus sekolah yang jaraknya lumayan dekat dengan sekolahnya. Pilar sampai lupa mematikan panggilan dan dari tempatnya tengah meeting, ia diam mendengarkan semua percakapan Pi
“Lepas berengsek!” Rachel memukul punggung Fernan dengan catokan yang ia sambar cepat hingga terdengar debum keras dan cekalan di tangan Gayatri terlepas. “Hei Rachel kurang ajar kamu berani memukul saya!” bentak Fernan sudah hendak meraih kerah baju Rachel namun Gayatri langsung menarik tubuh Rachel ke belakang agar terhindar dari cengkeraman Fernan. “Perlakuan mu menunjukkan kualitas kamu, tunggu tuntutan dari saya secara pribadi karena sudah melakukan penyerangan.” Gaya mendorong dada Fernan yang wajahnya sudah merah padam. Fernan yang mendapatkan ancaman dari Gayatri semakin meradang, ia hendak kembali melayangkan tangannya namun terhenti di udara oleh sebuah seruan suara berat di ambang pintu ruang make up. “Fernan!” seru suara berat di sana yang ternyata adalah manager hotel yang meminta Gayatri menjadi model promosi hotel tersebut. “Eh Pak Manuel.” Fernan langsung menurunkan tangannya
“Duduk Eliot, kita mulai saja acara makan malam ini. Oh iya perkenalkan dulu ini Manager Clairisia Hotel Pak Manuel. Ini Ibu Rachel manager salah satu model kita Gayatri, dan yang ini Silvi serta Revina. Mereka sudah sangat bekerja keras untuk persiapan opening kita nanti dua bulan lagi.” Roy memperkenalkan semua isi kursi yang melingkari meja besar mereka. Eliot menyalami satu persatu yang disebutkan oleh Roy, bahkan ringan saja Eliot menyalami Rachel dan Gayatri seolah mereka baru pertama kali bertemu selayaknya yang lainnya. Setelah menyalami semuanya, Eliot duduk di samping Risa yang memang sudah dipersiapkan untuknya. Makan malam dijalani Gayatri dengan keramahan palsu, ia berusaha biasa saja karena memang mereka tidak ada lagi hubungan apa-apa. Namun mendengar tawa Risa beberapa kali terpecah saat berbincang pelan dengan Eliot membuat Gayatri tidak nyaman sedikitpun. “Gaya ... bolehkan kita berfoto. Aku sangat ingin
“Mau makan apa aku ambilkan.” Rachel menawari Gayatri sarapan setelah berjuang menarik keluar dari kamar, sejak kembali mengambil ponsel semalam, Gayatri tidak mau menurunkan kakinya dari kasur hingga matahari hampir di atas kepala. “Apa saja Chel, aku sesungguhnya tidak lapar dan kalaupun lapar bisa bawa kamar saja.” Gayatri mendesah kecil menyandarkan punggung di salah satu kursi restoran samping hotel yang belum beroperasi tersebut. “Kamu mau mengeram terus, menghasilkan telur tidak? sudah lupakan apa pun yang sedang kamu pikirkan. Kamu sakit kelaparan memang yang mengurusi siapa? aku! ok! jadi lebih baik sakit di Jakarta dari pada di sini. Habis ini kamu libur dua minggu silakan mengeram dalam kamar kamu.” Rachel menepuk bahu Gayatri dan bangun meninggalkan sang model tanpa menunggu balasan dari ucapannya. Gayatri terkekeh kecil akan penuturan Rachel yang diucapkan dengan ketus, jika tidak mengenal wanita tersebut sudah
“Lepas Eliot, kamu menyakiti Gayatri.” Rachel berusaha menarik tangan Eliot yang mencengkeram lengan Gaya kuat. “Ini sudah sangat keterlaluan, kamu mau membunuh Pilar? Hah? jawab!” sentak Eliot tidak menghiraukan seruan Rachel yang menariknya kuat. “Kamu yang bisa membunuh Gayatri jika tidak kamu lepaskan! Gayatrilah yang menolong hidup Pilar asal kamu tahu Eliot,” seru Rachel membantah tuduhan jahat dari Eliot. “Persetan dengan kalian berdua! sumpah mati kalian akan saya tuntut hingga pengadilan. Jangan berani masuk ke kamar Pilar jika tidak ingin saya bunuh.” Eliot menyentak tubuh Gayatri dengan mata berkilat-kilat penuh emosi membara. Gayatri terdorong hingga membentur tembok lorong rumah sakit, Rachel mengumpati Eliot yang langsung masuk dan menutup pintu ruang rawat Pilar di depan hidung mereka. Meraih bahu sahabatnya yang masih pucat karena mencemaskan Pilar, bertambah ketakutan oleh sikap kasar Eliot.
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia