“Dapat salam dari Gilbert,” seringai Rachel kala datang ke kediaman Gayatri yang sedang tidak ada jadwal dan berniat malas-malasan di rumah.
“Kaya anak remaja saja kirim salam,” dengus Gayatri dengan raut bosan. “You know i mean,” kekeh Rachel. “Sudah ditolak berkali-kali enggak menyerah juga. Untung proyek sama dia sudah selesai. Kamu enggak shoping? Jangan bilang ke sini bawa kerjaan. Aku mau enggak produktif dulu please.” Gayatri melempar Rachel yang justru tertawa mendengar penolakan jelas darinya. “Aku numpang molor, gila punggung aku capek sekali tapi malas ke salon. Di rumah ada saja yang mengganggu. Enggak boleh tinggal di apartemen tapi enggak pernah bisa bobok cantik tanpa gangguan.” Rachel merebahkan tubuh di samping Gayatri dengan posisi telungkup setelah menanggalkan semua pakaiannya dan menyisakan sepasang pakaian dalam berwarna hitam. “Bukannya senang rumah kamu ramai, coba lihat rumah ini? kaya enggak ada penghuninya. Pakai baju ih.” Gayatri menepuk punggung Rachel sebal. “Alah siapa yang lihat, kamu doang. Memang kamu nafsu lihat aku polos sekalipun,” kelakar Rachel. “Tetap saja kita sudah seperti pasangan melambai sampai tidur bareng tanpa baju,” kekeh Gayatri. “Perduli setan sama omongan orang, eh ini surat dari little Pilar?” Rachel langsung bangun saat matanya enggak sengaja menatap sebuah bingkai manis yang Gayatri letakan di nakas di bawah lampu meja kamarnya. “Iya.” Gayatri menjawab dengan senyuman hangat. Rachel berganti telentang untuk membaca tulisan tangan nan rapi dari remaja bernama Pilar. Kemudian senyum tulusnya tercetak dengan tangan meraih telapak Gayatri di sampingnya untuk ia belai pelan. “Anak kamu sungguh manis.” Rachel meletakan kembali bingkai surat dari Pilar ke tempat semula. “Yes ... Pilar ... anak manis. Sebelum mengalami trauma parah,” lirih Gayatri. Rachel memandang wajah sendu menerawang wanita di sampingnya. Kembali membelai lengan kurus Gayatri pelan. “Sudah, katanya mau malas-malasan, aku juga mau off dari semua panggilan menggila dari semua laki-laki yang hanya mencari kamu.” Rachel mendengus kesal mengingat tidak semua panggilan yang berhubungan dengan Gayatri adalah mengenai pekerjaan.Tak jarang ia menjadi cupit menyebalkan karena selama mendampingi Gayatri selama sepuluh tahun, panggilan-panggilan tersebut lebih banyak adalah usaha para laki-laki mendapatkan Gayatri yang di kenal sedingin es pada kaum laki-laki namun bisa langsung berubah bagai peri ketika di depan kamera.“Enggak perlu diurusin yang begituan, blokir kalau perlu,” tukas Gayatri enteng.“Enak saja blokir, kalau mereka mau kerja sama bagaimana?” bantah Rachel.“Pekerjaan ya pekerjaan di luar itu jangan digubris. Aku malas meladeni basa-basi busuk mulut manis mereka,” tandas Gayatri.“Lebih suka mulut belati bapaknya little Pilar ya?” kekeh Rachel.Gayatri mendaratkan pukulan menggunakan bantal pada Rachel yang entah mengapa sangat suka menggodanya demikian padahal ia jelas sangat tahu kisah mereka hancur lebur tanpa bisa di rapikan kembali.“Aku mau tanya boleh?” tanya Rachel.“Hem.” Gayatri menjawab dengan berkutat pada ponsel pintarnya.“Kamu enggak kangen tidur sama laki-laki, Gaya?” tanya Rachel.Gayatri langsung menoleh menyipitkan mata. “Enggak!” Rachel kembali tertawa lebar akan sentakan jawaban Gayatri, memeluk bantal guling dengan berbaring menyamping memandang Gayatri yang bersandar nyaman pada kepala ranjang. “Dengarkan dulu, kamu wanita normal dan sebelumnya sudah pernah punya anak. Berarti kan kamu sudah pernah melakukan hubungan badan sama bapaknya little Pilar. Memang enggak ingin melakukannya lagi? ok lah kalau kamu enggak mau sama sembarang laki-laki. Kenapa enggak jalin hubungan dengan satu laki-laki saja. Kamu pasti pernah dong merasakan tiba-tiba ingin dipeluk, dibelai, dicium ... di .... “ “Mulutmu Chel, gua cabein sumpah.” Gayatri menimpa tubuh ramping Rachel dan membekap mulut Rachel yang menjerit histeris pada serangan sang sahabat hingga ia terpingkal-pingkal menyadari wajah Gayatri merah padam. “Astaga jangan bilang saat ini kamu membayangkan punya bapaknya little Pilar?” seru Rachel langsung melompat dari ranjang karena Gayatri sudah siap mencekiknya hingga mati. “Sini elu anak sompret,” seru Gayatri dengan bernafsu mengejar Rachel yang terpingkal-pingkal. “Mengamuk lagi emaknya Pilar. Gila gua mau tidur woi bukan mau menyerahkan leher untuk dicekik,” sindir Rachel masih geli sekali. “Rachel!” Gayatri menjerit dengan berlari mengejar Rachel yang keluar kamarnya hanya dengan pakaian dalam, sungguh tidak memiliki malu temannya satu ini. Aksi kejar-kejaran tidak mampu ditahan lagi, Gayatri yang tidak terima di sebut belum bisa move on dari Eliot, membabi buta ingin menghabisi Rachel yang terus tertawa tiada henti. Sampai pada akhirnya sebuah suara bel rumah Gayatri menghentikan aksi kekanakan mereka berdua. Gayatri dan Rachel saling melempar pandang sampai bel rumah terdengar kembali berdentang. “Kamu ada janji?” tanya Rachel.Gayatri menggeleng kecil. “Enggak, janji sama siapa? enggak ada yang tahu aku tinggal di sini sejak kembali ke Indonesia kecuali kamu. Heh gila pakai baju sana, astaga.” Rachel kesetanan berlarian ke kamar Gayatri dan memakai pakaiannya secepat kilat. Belum ia selesai merapikan rambut singanya setelah bergulat dengan Gayatri, pemilik kamar mendatanginya dengan panik. “Pilar,” bisik Gayatri. “Hah? Pilar? Kok bisa?” Melotot Rachel kaget bukan kepalang. “Enggak tahu, sana kamu yang buka. Cepat.” Gayatri menarik lengan Rachel untuk cepak membukakan pintu untuk Pilar sedangkan ia merasa jantungnya berdetak dengan sangat kuat karena ia memprediksi akan terjadi hal tidak mengenakan sampai Pilar tahu kediamannya dan mendatanginya sendiri secara langsung. Rachel berdehem sekali sebelum membuka gagang pintu besar rumah Gayatri, ia juga berdebar-debar menghadapi gadis remaja di balik pintu tersebut. “Pilar? Ya ampun kok kamu bisa sampai sini, apa kabar Sayang?” Dengan ceria dan ramah penuh senyuman Rachel menyapa gadis berpakaian celana jeans biru tua dan kaos merah yang dilapisi jaket jeans biru muda. “Aku ke sini mau memberikan ... mengembalikan ini sama Tante Rachel.” Pilar mengulurkan paper bag yang waktu itu diberikan Rachel untuk dirinya. “Kenapa dikembalikan? Kamu enggak suka?” Rachel tidak langsung menerima pemberian Pilar. “Aku minta maaf sebelumnya jika apa yang akan aku katakan ini tidak sopan. Sebelum aku tahu Tante Rachel siapa, aku sangat senang berkenalan dengan Tante dan cerita mengenai putri Tante yang sedang sakit. Aku senang punya teman baru. Tapi setelah aku tahu, sepertinya aku tidak harus lagi menghormati Tante Rachel. Tante Rachel membohongi aku bukan? tentang cerita putri Tante, Gaya, yang sakit?” Pilar akhirnya meletakan paper bag di lantai karena Rachel enggan menerima kembali. Rachel membeku syok, begitu juga dengan Gayatri yang bersembunyi di balik pintu yang Rachel buka separuh. Keduanya tidak dapat berkata-kata lagi. Saat Rachel tidak juga bersuara, Pilar kembali melanjutkan. “Gaya putri Tante itu hanya fiktif, enggak pernah ada. Yang ada adalah Gaya yang meminta Tante untuk memberikan ini kepada aku, yang ada adalah Gaya yang meminta Tante mendekati aku di sekolah dengan cerita hangat mengenai betapa Gaya ingin bertemu aku setelah sembuh kelak. Kenapa Tante melakukan itu sama aku? aku punya salah apa sama Tante sampai Tante membohongi aku seperti itu? aku tidak mengenal Tante sebelumnya jadi aku merasa aku enggak ada punya salah sama Tante. Apakah Gaya anak Tante juga ada di dalam rumah ini? jika benar maka aku tetap doakan semoga lekas sembuh. Tapi jika memang Gaya itu adalah sosok wanita yang katanya sudah dewasa namun sangat jahat, tolong katakan sama dia bahwa aku sangat tidak suka dia melakukan apa pun dengan alasan apa pun sama aku. Permisi.” Pilar langsung membalikkan badan usai mengatakan kalimat panjangnya. “Pilar, Pilar tunggu.” Rachel langsung berlari menahan lengan Pilar. Akan tetapi mengejutkan, Pilar yang ramah, santun, penuh senyuman, menghentak tangan Rachel dengan sangat kuat hingga genggamannya terlepas. “Jangan lagi menemui aku atau aku juga bisa membenci Tante Rachel,” ancam sang gadis remaja dengan mata memerah menahan amarahnya.“Tolong dengarkan dulu penjelasan Tante, Pilar.” Rachel tidak akan melepas Pilar begitu saja dengan kesalah pahaman. “Aku tidak butuh penjelasan apa pun,” jawab Pilar. “Kamu harus tahu alasan mama kamu pergi,” seru Rachel saat melihat Pilar tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkah menuju sebuah mobil yang kemungkinan mengantarnya. Langkah Pilar terhenti, membalikkan badan dan memandang penuh kemarahan pada sosok Rachel. “Kamu tidak tahu alasan mama kamu pergi saat itu, Pilar. Kamu mau mendengarkan penjelasan Tante? Tante sungguh minta maaf sudah membohongi kamu untuk hadiah ini dan cerita tentang anak Tante. Bisa kita bicara sebentar?” Rachel kembali berjalan pelan mendekati Pilar yang sudah berdiri di ambang pembatas pagar rumah Gayatri. “Aku tidak ingin tahu dan tidak mau tahu. Meninggalkan anak kecil usia lima tahun sendirian adalah kejahatan yang tidak akan bisa aku maafkan sampai kap
“Loh memang enggak bisa di cancel dulu Mbak tadi pesanan saya?” tanya Pilar. “Enggak bisa Dek, sistem komputer kami sudah diprogram seperti itu. Tidak apa-apa ini dibawa rotinya. Selamat sarapan ya.” Kasir memberikan pesanan Pilar dengan senyuman lebar. “Aku bagaimana mengucapkan terima kasih sama orangnya Mbak?” Pilar masih bengong bingung. “Tadi sudah saya gantikan mengucapkan terima kasih, kamu sedang izin keluar kelas kan tadi katanya. Sana lekas balik ke sekolah dan lekas dimakan selagi hangat,” tambah Kasir. Akhirnya Pilar mengucapkan terima kasih dan segera keluar dari toko roti langganannya. Ia memang sedang izin keluar karena kepentingan melengkapi data untuk Olimpiade berikutnya dan ia minta diturunkan di toko roti tersebut oleh bus sekolah yang jaraknya lumayan dekat dengan sekolahnya. Pilar sampai lupa mematikan panggilan dan dari tempatnya tengah meeting, ia diam mendengarkan semua percakapan Pi
“Lepas berengsek!” Rachel memukul punggung Fernan dengan catokan yang ia sambar cepat hingga terdengar debum keras dan cekalan di tangan Gayatri terlepas. “Hei Rachel kurang ajar kamu berani memukul saya!” bentak Fernan sudah hendak meraih kerah baju Rachel namun Gayatri langsung menarik tubuh Rachel ke belakang agar terhindar dari cengkeraman Fernan. “Perlakuan mu menunjukkan kualitas kamu, tunggu tuntutan dari saya secara pribadi karena sudah melakukan penyerangan.” Gaya mendorong dada Fernan yang wajahnya sudah merah padam. Fernan yang mendapatkan ancaman dari Gayatri semakin meradang, ia hendak kembali melayangkan tangannya namun terhenti di udara oleh sebuah seruan suara berat di ambang pintu ruang make up. “Fernan!” seru suara berat di sana yang ternyata adalah manager hotel yang meminta Gayatri menjadi model promosi hotel tersebut. “Eh Pak Manuel.” Fernan langsung menurunkan tangannya
“Duduk Eliot, kita mulai saja acara makan malam ini. Oh iya perkenalkan dulu ini Manager Clairisia Hotel Pak Manuel. Ini Ibu Rachel manager salah satu model kita Gayatri, dan yang ini Silvi serta Revina. Mereka sudah sangat bekerja keras untuk persiapan opening kita nanti dua bulan lagi.” Roy memperkenalkan semua isi kursi yang melingkari meja besar mereka. Eliot menyalami satu persatu yang disebutkan oleh Roy, bahkan ringan saja Eliot menyalami Rachel dan Gayatri seolah mereka baru pertama kali bertemu selayaknya yang lainnya. Setelah menyalami semuanya, Eliot duduk di samping Risa yang memang sudah dipersiapkan untuknya. Makan malam dijalani Gayatri dengan keramahan palsu, ia berusaha biasa saja karena memang mereka tidak ada lagi hubungan apa-apa. Namun mendengar tawa Risa beberapa kali terpecah saat berbincang pelan dengan Eliot membuat Gayatri tidak nyaman sedikitpun. “Gaya ... bolehkan kita berfoto. Aku sangat ingin
“Mau makan apa aku ambilkan.” Rachel menawari Gayatri sarapan setelah berjuang menarik keluar dari kamar, sejak kembali mengambil ponsel semalam, Gayatri tidak mau menurunkan kakinya dari kasur hingga matahari hampir di atas kepala. “Apa saja Chel, aku sesungguhnya tidak lapar dan kalaupun lapar bisa bawa kamar saja.” Gayatri mendesah kecil menyandarkan punggung di salah satu kursi restoran samping hotel yang belum beroperasi tersebut. “Kamu mau mengeram terus, menghasilkan telur tidak? sudah lupakan apa pun yang sedang kamu pikirkan. Kamu sakit kelaparan memang yang mengurusi siapa? aku! ok! jadi lebih baik sakit di Jakarta dari pada di sini. Habis ini kamu libur dua minggu silakan mengeram dalam kamar kamu.” Rachel menepuk bahu Gayatri dan bangun meninggalkan sang model tanpa menunggu balasan dari ucapannya. Gayatri terkekeh kecil akan penuturan Rachel yang diucapkan dengan ketus, jika tidak mengenal wanita tersebut sudah
“Lepas Eliot, kamu menyakiti Gayatri.” Rachel berusaha menarik tangan Eliot yang mencengkeram lengan Gaya kuat. “Ini sudah sangat keterlaluan, kamu mau membunuh Pilar? Hah? jawab!” sentak Eliot tidak menghiraukan seruan Rachel yang menariknya kuat. “Kamu yang bisa membunuh Gayatri jika tidak kamu lepaskan! Gayatrilah yang menolong hidup Pilar asal kamu tahu Eliot,” seru Rachel membantah tuduhan jahat dari Eliot. “Persetan dengan kalian berdua! sumpah mati kalian akan saya tuntut hingga pengadilan. Jangan berani masuk ke kamar Pilar jika tidak ingin saya bunuh.” Eliot menyentak tubuh Gayatri dengan mata berkilat-kilat penuh emosi membara. Gayatri terdorong hingga membentur tembok lorong rumah sakit, Rachel mengumpati Eliot yang langsung masuk dan menutup pintu ruang rawat Pilar di depan hidung mereka. Meraih bahu sahabatnya yang masih pucat karena mencemaskan Pilar, bertambah ketakutan oleh sikap kasar Eliot.
Eliot menuju restoran tempat Pilar mengalami alerginya, Eliot meminta diputarkan cctv. Pihak restoran sudah meminta maaf padanya dan mengatakan mereka sungguh tidak tahu jika putrinya mempunyai alergi almond karena tidak bilang. Eliot tidak mempermasalahkan itu karena memang Pilar yang teledor kali ini. “Saya yang melihat sendiri kalau mulut putri bapak di masuki jari ibu Gayatri sampai beberapa kali Pak, memang muntah banyak sekali baru dibawa ke rumah sakit,” terang seorang waiter yang membantu mengangkat Pilar ke taksi serta menemani Eliot menyaksikan cctv. “Iya Mas terima kasih ya sudah membantu anak saya, dia sudah jauh lebih baik sekarang sedang pemulihan. Sudah bayar belum ya makanan anak saya, maaf sudah dua hari saya baru ke sini karena saya menemani anak saya dulu,” papar Eliot. “Iya sama-sama Pak, kami semua juga sangat panik lihat putri Bapak kesusahan nafas. Semuanya sudah dibayar ibu Gayatri. Ibu Gayatri juga
“Boleh tentu saja. mau bicara di sini? Kamu sudah sehat?” Gayatri memberikan senyuman hangat.Pilar mengangguk. “Sudah sehat, di tempat lain saja. Aku pakai mobil ini, bertemu di tempat restoran depan saja.” “Baiklah. Silakan jalan dulu, aku akan mengikuti,” jawab Gayatri. Gayatri berdebar-debar saat duduk berhadapan dengan Pilar yang masih mengenakan seragam sekolah namun berbalut sweater putih. Ia takut apa yang akan Pilar katakan adalah memintanya kembali jangan memperlihatkan wajahnya. “Baru pulang sekolah? cari apa di Mall?” Gayatri memilih mendahului memecah hening kala melihat Pilar tidak juga bicara. “Iya belanja sebentar karena bahan makan mulai habis, aku langsung saja. Aku mau bilang terima kasih sudah menolong pas di Bali, aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Sama tante Rachel juga tolong sampaikan terima kasih. Aku mau mengatakan itu saja,” tutur Pilar dengan berani memandang wajah Gayatri
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia