“Duduk Eliot, kita mulai saja acara makan malam ini. Oh iya perkenalkan dulu ini Manager Clairisia Hotel Pak Manuel. Ini Ibu Rachel manager salah satu model kita Gayatri, dan yang ini Silvi serta Revina. Mereka sudah sangat bekerja keras untuk persiapan opening kita nanti dua bulan lagi.” Roy memperkenalkan semua isi kursi yang melingkari meja besar mereka. Eliot menyalami satu persatu yang disebutkan oleh Roy, bahkan ringan saja Eliot menyalami Rachel dan Gayatri seolah mereka baru pertama kali bertemu selayaknya yang lainnya. Setelah menyalami semuanya, Eliot duduk di samping Risa yang memang sudah dipersiapkan untuknya. Makan malam dijalani Gayatri dengan keramahan palsu, ia berusaha biasa saja karena memang mereka tidak ada lagi hubungan apa-apa. Namun mendengar tawa Risa beberapa kali terpecah saat berbincang pelan dengan Eliot membuat Gayatri tidak nyaman sedikitpun. “Gaya ... bolehkan kita berfoto. Aku sangat ingin
“Mau makan apa aku ambilkan.” Rachel menawari Gayatri sarapan setelah berjuang menarik keluar dari kamar, sejak kembali mengambil ponsel semalam, Gayatri tidak mau menurunkan kakinya dari kasur hingga matahari hampir di atas kepala. “Apa saja Chel, aku sesungguhnya tidak lapar dan kalaupun lapar bisa bawa kamar saja.” Gayatri mendesah kecil menyandarkan punggung di salah satu kursi restoran samping hotel yang belum beroperasi tersebut. “Kamu mau mengeram terus, menghasilkan telur tidak? sudah lupakan apa pun yang sedang kamu pikirkan. Kamu sakit kelaparan memang yang mengurusi siapa? aku! ok! jadi lebih baik sakit di Jakarta dari pada di sini. Habis ini kamu libur dua minggu silakan mengeram dalam kamar kamu.” Rachel menepuk bahu Gayatri dan bangun meninggalkan sang model tanpa menunggu balasan dari ucapannya. Gayatri terkekeh kecil akan penuturan Rachel yang diucapkan dengan ketus, jika tidak mengenal wanita tersebut sudah
“Lepas Eliot, kamu menyakiti Gayatri.” Rachel berusaha menarik tangan Eliot yang mencengkeram lengan Gaya kuat. “Ini sudah sangat keterlaluan, kamu mau membunuh Pilar? Hah? jawab!” sentak Eliot tidak menghiraukan seruan Rachel yang menariknya kuat. “Kamu yang bisa membunuh Gayatri jika tidak kamu lepaskan! Gayatrilah yang menolong hidup Pilar asal kamu tahu Eliot,” seru Rachel membantah tuduhan jahat dari Eliot. “Persetan dengan kalian berdua! sumpah mati kalian akan saya tuntut hingga pengadilan. Jangan berani masuk ke kamar Pilar jika tidak ingin saya bunuh.” Eliot menyentak tubuh Gayatri dengan mata berkilat-kilat penuh emosi membara. Gayatri terdorong hingga membentur tembok lorong rumah sakit, Rachel mengumpati Eliot yang langsung masuk dan menutup pintu ruang rawat Pilar di depan hidung mereka. Meraih bahu sahabatnya yang masih pucat karena mencemaskan Pilar, bertambah ketakutan oleh sikap kasar Eliot.
Eliot menuju restoran tempat Pilar mengalami alerginya, Eliot meminta diputarkan cctv. Pihak restoran sudah meminta maaf padanya dan mengatakan mereka sungguh tidak tahu jika putrinya mempunyai alergi almond karena tidak bilang. Eliot tidak mempermasalahkan itu karena memang Pilar yang teledor kali ini. “Saya yang melihat sendiri kalau mulut putri bapak di masuki jari ibu Gayatri sampai beberapa kali Pak, memang muntah banyak sekali baru dibawa ke rumah sakit,” terang seorang waiter yang membantu mengangkat Pilar ke taksi serta menemani Eliot menyaksikan cctv. “Iya Mas terima kasih ya sudah membantu anak saya, dia sudah jauh lebih baik sekarang sedang pemulihan. Sudah bayar belum ya makanan anak saya, maaf sudah dua hari saya baru ke sini karena saya menemani anak saya dulu,” papar Eliot. “Iya sama-sama Pak, kami semua juga sangat panik lihat putri Bapak kesusahan nafas. Semuanya sudah dibayar ibu Gayatri. Ibu Gayatri juga
“Boleh tentu saja. mau bicara di sini? Kamu sudah sehat?” Gayatri memberikan senyuman hangat.Pilar mengangguk. “Sudah sehat, di tempat lain saja. Aku pakai mobil ini, bertemu di tempat restoran depan saja.” “Baiklah. Silakan jalan dulu, aku akan mengikuti,” jawab Gayatri. Gayatri berdebar-debar saat duduk berhadapan dengan Pilar yang masih mengenakan seragam sekolah namun berbalut sweater putih. Ia takut apa yang akan Pilar katakan adalah memintanya kembali jangan memperlihatkan wajahnya. “Baru pulang sekolah? cari apa di Mall?” Gayatri memilih mendahului memecah hening kala melihat Pilar tidak juga bicara. “Iya belanja sebentar karena bahan makan mulai habis, aku langsung saja. Aku mau bilang terima kasih sudah menolong pas di Bali, aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Sama tante Rachel juga tolong sampaikan terima kasih. Aku mau mengatakan itu saja,” tutur Pilar dengan berani memandang wajah Gayatri
“Aku sudah melihat kejadian yang sebenarnya di restoran itu,” tutur Eliot akhirnya memutuskan ia akan berbicara di dalam mobil di tepi jalan. Eliot bukan tidak bisa menemui Gayatri selepas terbang kembali ke Jakarta, ia hanya sangat disibukkan pekerjaan. Dan ada secuil rasa malu karena menuduh Gayatri berbuat jahat pada Pilar. Karena kebenciannya pada Gayatri seolah sudah mendarah daging. “Saat Pilar alergi?” tegas Gayatri. “Iya, untuk semua tuduhan aku, aku minta maaf. Harusnya sepanik apa pun aku tidak langsung menuduh kamu seperti itu. Aku sangat ketakutan saat mendengar Pilar mengalami alergi itu,” jelas Eliot. “Kamu pikir aku tidak panik? Aku tidak ketakutan? Sekujur badan aku menggigil ketakutan saat membuatnya muntah ... tapi memang pada dasarnya kamu sudah menilai aku jelek jadi apa pun yang aku lakukan sudah pasti salah di mata kamu. Aku memang punya banyak sekali dosa pada kalian. Tapi tidak ada ni
“Ok thanks, Babe.” Ucapan tersebut dikatakan oleh seorang fotografer yang memotret Gayatri hari itu di sebuah galeri besar di salah satu sudut kota metropolitan. “Sama-sama Briel, aku ganti dulu ya. Nanti aku mau lihat, sepertinya hari ini aku sangat cantik,” kekeh Gayatri berkelakar pada sang fotografer wanita yang langsung melepas tawa dengan mengatakan ia memang sudah cantik bahkan tanpa pengeditan sekalipun. “Kamu menang lotre?” bisik Rachel saat membuntuti Gayatri ke ruang ganti guna membantu melepas baju dengan harga menggila milik sebuah butik besar yang menunjuk Gayatri sebagai model, agar tidak ada yang rusak tidak sengaja walau sedikit saja jika Gayatri melepas sendirian. “Lotre? Aku enggak main begitu, kalau mau main ke kasino langsung di Tokyo sana,” kekeh Gayatri tidak habis pikir dengan pertanyaan managernya. Rachel membantu melepas kancing-kancing mini di sepanjang tulang punggung Gayatri deng
“Senyum-senyum terus dapat chat cinta dari siapa?” tanya seorang fotografer pada Gayatri saat tengah istirahat mengganti setting background pemotretan mereka. “Tahu saja aku dapat chat cinta, dari rahasia,” jawab Gayatri dengan kekeh kecil. “Wow bau-bau sebar undangan ini,” ledek sang fotografer. Gayatri tertawa geli tanpa memberikan jawaban pasti, ia tidak akan mengumbar kehidupan pribadinya dengan siapapun terkecuali Rachel. Sudah satu minggu semenjak pertemuannya dengan Pilar, ia menerima chat sekali dalam sehari dan selalu pukul tiga tepat. Sepertinya itu jam pulang sekolah putrinya. “Gayatri, katanya sepulang pemotretan kita diminta ke kantor dulu. Satu jam lagi selesai kan ya?” Rachel menghampiri dengan mengangsurkan ponsel sang model. “Ada apa? aku ingin berendam padahal,” desah Gayatri. Rachel mengedikan bahunya karena hanya itu pesan yang ia terima dari agensi. Gayat
“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia