Brukk! Aira tampak kaget karena menabrak seseorang."Maaf, Saya tidak sengaja." Aira menunduk, ia melihat sepatu orang yang ditabraknya. Sepatu perempuan yang terlihat mahal harganya."Nggak apa-apa, Aira. Kamu kan nggak sengaja."Aira mendongakkan wajahnya, terlihat Firda menatapnya sambil tersenyum."Eh, Bu Firda. Maaf, Bu.""Kamu dari mana?" tanya Firda."Dari toilet, Bu. Sakit perut.""Oh, kenapa? Belum sarapan?" Firda terlihat peduli dengan Aira. "Tadi belum sempat sarapan, Bu. Buru-buru." Aira memberikan alasan yang kira-kira masuk akal."Saya yakin pasti setiap pagi kamu sangat sibuk mengurus rumah, anak dan suami. Tapi tetap semangat ya? Tidak semua orang punya kesempatan seperti itu." Suara Firda terdengar agak sedih."Maaf, Bu. Maksudnya?" Aira menjadi penasaran."Kamu lebih beruntung dibandingkan saya. Sampai sekarang kamu belum dikarunia anak.""Oh, maaf, saya tidak tahu.""Nggak apa-apa! Sekarang kamu sarapan dulu, kalau masih sakit, minum obat ya? Jangan sampai nanti pu
"Ada apa sih?" Dewi sangat penasaran melihat ekspresi Alan dan Trisa."Nggak ada apa-apa kok, Ma." Alan dengan tenang, ia masih memegang ponsel Trisa. "Kok ponsel Trisa ada di tanganmu?" selidik Dewi."Nggak apa-apa, Ma. Pinjam sebentar.""Memangnya ponselmu kemana? Disita oleh Aira? Memang Aira itu benar-benar perempuan yang tidak bisa menghargai suami. Sampai-sampai ponsel saja diambil." Dewi mengomel. Memang benar, kalau hati sudah membenci seseorang, apapun yang dilakukan oleh orang itu selalu salah. Dan Aira yang selalu menjadi kambing hitamnya."Ma, aku tahu kalau Mama membenci Aira, tapi jangan selalu berprasangka buruk pada Aira. Itu penyakit hati, Ma," kata Alan."Halah, kamu sok menasehati Mama."Tiba-tiba Dwita pulang dan langsung berjalan menuju ke kamar. Tidak menyapa siapapun, sepertinya ia sedang ada masalah."Dwita! Dwita!" panggil Dewi, tapi Dwita tetap masuk ke kamar.Blam! Suara pintu yang ditutup dengan penuh emosi. Membuat yang mendengarnya kaget."Ada apa dengan
"Mau menamparku? Ayo tampar aku, biar kamu puas!" tantang Aira sambil mendekatkan wajahnya.Alan terdiam, ia pun menurunkan tangannya."Masih mending Reza ketahuan selingkuh ketika mereka belum menikah. Kalau aku? Sudah terlanjur punya anak. Menyesal pun tidak guna lagi. Aku hanya berusaha menjalani hidupku demi Kenzo dan kewarasanku.""Dwita itu kena batunya! Sibuk mengirim fotoku dengan Pak Irwan, supaya keluargamu berpikir kalau aku selingkuh. Ternyata…haha, senjata makan tuan." Aira tertawa kecil.Alan kesal, ia berjalan menuju keluar."Bawa kunci rumah. Siapa tahu pulangnya tengah malam atau bahkan tidak pulang!" teriak Aira. Alan menghentikan langkahnya, kemudian menatap tajam ke arah Aira. Aira hanya tersenyum. Alan pun melanjutkan berjalan menuju keluar.Aira menghela nafas panjang, dadanya terasa sesak, matanya menghangat mengingat kondisi rumah tangganya saat ini. Ia sudah tidak tahu lagi, bagaimana arah biduk rumah tangganya. Ia sudah berusaha untuk melupakan perselingkuhan
"Reza?" gumam Aira yang kaget melihat sosok Reza. Begitu juga Reza, ia kaget melihat Aira bersama Vani. "Mbak Aira kenal dengan Reza?" tanya Vani."Iya." Aira menjawab pelan."Apa kabar, Mbak?" Reza yang tampak gugup berusaha untuk menguasai keadaan."Alhamdulillah kabar baik.""Kok bisa kenal dengan Vani?" tanya Reza lagi."Teman satu kantor." Aira menjawab sambil tersenyum."Oh, Mbak Aira sekarang bekerja lagi ya?""Iya, perempuan itu harus mandiri, bisa menghasilkan uang sendiri. Supaya tidak dikatakan beban suami. Ya, kan?" sindir Aira, Reza paham apa yang dimaksud oleh Aira."Haha, iya Mbak. Kenzo sama siapa?""Ada yang mengasuh.""Oh, gitu. Vani apa kabar? Kok ada disini, Van? Cari apa?" tanya Reza pada Vani."Ponsel untuk Gibran." Vani menjawab dengan singkat."Ayo, Mbak, kita ke kantor lagi. Jangan sampai telat." Vani berusaha menghindari Reza."Oke! Reza, kami duluan ya?" pamit Aira."Iya, Mbak." Reza melambaikan tangan.Di perjalanan pulang, Vani tampak lebih diam dari bias
Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, membuat Aira terperanjat."Sialan, aku ketahuan," kata Aira dalam hati."Ngapain, Dek?""Mau minum, Mas. Haus! Pas mau buka pintu ternyata Mas sudah buka duluan. Bikin kaget saja. Sudah lama pulangnya, Mas? Maaf aku ketiduran." Aira langsung nyerocos untuk menghilangkan kecurigaan Alan."Belum lama kok pulangnya," sahut Alan."Bukannya Mas menginap di rumah sakit?""Enggak, tadi banyak kerjaan, capek." Alan memberikan alasan. Alan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kemudian memeluk Kenzo, Aira keluar dari kamar untuk mengambil minum.Alan tidak bisa tidur, banyak hal yang ia pikirkan. Akhirnya ia membuka ponselnya, ia tampak terkejut. Ia sudah salah kirim bukti transfer uang, yang seharusnya dikirim kepada mamanya ternyata malah dikirim ke Aira."Waduh gawat, pasti Aira sudah membuka foto ini. Alasan apa yang harus aku buat? Kok bisa-bisanya aku teledor?" Alan merutuki dirinya sendiri.Ceklek! Alan langsung pura-pura tidur, tapi ia lupa kalau po
Jantung Aira berdetak dengan kencang melihat Alan yang sedang makan bersama dengan Beni dan seorang lagi tidak ia kenal. Kemudian Aira melihat ekspresi wajah Firda, sepertinya Firda belum tahu kalau ada Alan. Firda dan Aira akhirnya makan karena makanan pesanan mereka sudah datang. Dengan berbincang ringan, mereka menikmati makanan yang ada. Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan makan. Firda dan Aira beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari restoran. Di pintu keluar mereka bertemu dengan Alan dan teman-temannya. Terlihat kalau Alan dan Firda sangat gugup."Alan? Eh Pak Alan ada disini juga ya?" sapa Firda dengan gugup."Iya, Bu. Ternyata kita bertemu disini." Alan juga berkata dengan gugup, sambil menatap ke arah Aira. Aira pura-pura tidak melihatnya. Ia syok melihat Firda bersama dengan Aira."Iya, saya sedang bersama karyawan suami saya. Namanya Aira. Ada urusan yang sedang kami selesaikan." Firda menjawab sambil tersenyum. Firda memperkenalkan Aira pada Alan da
Drtt…drtt…ponsel Alan berdering, membuatnya berdecak kesal karena aktivitasnya terganggu. Firda menjauh dari Alan. Alan melirik ponselnya, ternyata Dewi yang menelponnya.Alan mengabaikan panggilan itu, tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu. Firda segera duduk di sofa seolah-olah sedang memainkan ponselnya. Ternyata Beni yang masuk dengan membawa beberapa berkas."Taruh situ saja, nanti saya cek dulu ya?" kata Alan."Baik, Pak!" Beni keluar lagi, sebelumnya ia sempat melirik ke arah Firda."Perempuan nggak punya malu," kata Beni dalam hati."Alan, aku nggak suka sama karyawanmu itu. Pandangannya mesum." Firda tampak cemberut."Nggak usah dipikirin. Mungkin karena kamu cantik, jadi Beni terpesona melihatmu. Kamu pulang saja dulu, nanti aku ke apartemenmu." "Benar ya? Jangan bohong, aku tunggu ya?" Firda berjalan mendekati Alan, kemudian mencium bibir Alan."Aku tunggu." Firda berkata lagi sambil melangkah keluar dari ruangan Alan.Alan pun menyibukkan dirinya dengan berkas-berkas
"Ma, aku mau kerja lagi. Jangan khawatir, Mas Alan sudah tahu kalau aku kerja dan kebetulan dia kenal dengan atasanku ini." Aira berkata sambil tersenyum."Ingat, Bu. Bu Aira ini karyawan saya, kalau sampai Ibu menuduh saya macam-macam, saya tidak akan tinggal diam!" Irwan berkata dengan setengah mengancam. Kemudian melangkah pergi menuju ke mobil, Aira dan Vani mengikuti Irwan.Dewi terdiam, begitu juga dengan Dwita."Maaf atas kejadian tadi, Pak. Beliau itu Ibu mertua dan adik ipar saya." Aira menjelaskan pada Irwan ketika mereka berada di dalam mobil."Kok Vani bisa kenal dengan mereka?""Pacarnya Vani selingkuh dengan adik ipar saya, Pak." Aira yang menjawab."Kalau masih pacaran sudah selingkuh, cari yang lain saja. Itu sudah menunjukkan tanda-tanda nggak beres. Ya kan, Fahmi?" kata Irwan pada Fahmi, sopir kantor."Iya, Pak.""Kalau yang sudah menikah tapi selingkuh, bagaimana Pak?" tanya Vani."Waduh, kalau ini pertanyaan berat. Terkadang banyak hal yang harus dipikirkan, jika s
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d