“Lihat Gita, siapa yang datang,” bisik Firda.“Mana?” Gita mau menoleh ke arah mata Firda memandang.“Jangan menoleh, dia ada jauh di belakangmu.”“Siapa sih? Bikin penasaran saja.”“Derry.” Firda tersenyum, tapi kemudian senyumnya menghilang.“O ya?” Gita tersenyum sumringah, ia pun menoleh ke arah belakang.Senyum Gita langsung menghilang seperti senyum Firda tadi. Jantungnya berdetak dengan kencang, ia pun segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya berkaca-kaca.“Sialan, ngapain dia kesini dengan perempuan itu sih?” umpat Gita dengan pelan.“Wajar dong dia pergi dengan istri dan anak-anaknya. Sudah kamu biasa saja, jangan terlalu kelihatan kalau kamu cemburu.”Firda dan Gita pun pura-pura asyik dengan ponselnya. Derry yang dari kejauhan melihat mereka berdua, berusaha mengajak istrinya untuk mencari jalan lain. Jangan sampai melewati Firda dan Gita.Gita melirik ke arah Derry, bertepatan dengan Derry yang melirik ke arah Gita. Kedua orang itu saling melempar senyum.Kela
Tok tok! Jendela kaca mobil Firda diketuk orang dari luar. Firda dan Gita saling berpandangan. Perlahan mereka berdua melihat ke arah jendela, mereka semakin syok.Tok tok!Firda membuka jendela kaca mobilnya.“Ada apa? Kamu sengaja membuntutiku ya?” Firda berkata dengan kesal.“Tentu saja! Kamu itu istriku, wajar kalau aku khawatir denganmu.” Bara berkata dengan lembut dan tampak tersenyum manis.“Kamu kenapa Gita? Kok melihatku seperti itu? Jangan-jangan kamu menyukaiku ya? Kamu kan senangnya dengan suami orang.” Bara mengejek Gita yang tampak pucat.“Kamu jangan ikut campur urusanku.” Gita tampak emosi.“Sabar Gita sayang? Ternyata kamu kalau sedang marah cantik juga ya? Apakah kamu juga garang di ranjang seperti temanmu itu?” Bara menunjuk ke arah Firda, ia memang sengaja membuat emosi dan mental Gita jatuh.“Bara, jangan sembarangan bicara kamu! Kamu sudah menghina Gita!” teriak Firda.“Sesama pelakor memang harus saling membela,” ejek Bara.Tiba-tiba Bara berteriak memanggil ora
“Jangan-jangan Aira jadi istri simpanan bosnya.” Trisa berkata dengan wajah yang serius.“Jangan sembarangan bicara kamu.” Dwita tidak setuju dengan ucapan Trisa.“Iya Trisa, jangan bicara sembarangan. Timbulnya nanti fitnah,” kata Gunawan.“Lho kok Mbak Dwita sekarang membela Aira sih?” tanya Trisa.Dwita langsung gelagapan.“Bukan membela, hanya berbicara fakta saja. Kita tidak boleh berburuk sangka,” kilah Dwita.“Apa betul itu Dwita? Kamu sekarang membela Aira ya?” selidik Dewi.“Nggak membela, Ma. Hanya berbicara apa adanya.”“Mungkin karena nasib Mbak Dwita sama dengan Aira. Sama-sama diselingkuhi, hihi.” Trisa tertawa.Brak! Dwita menggebrak meja, membuat semua orang tampak terkejut.“Apa-apaan kamu Dwita!” teriak Dewi.“Memang aku dan Mbak Aira senasib karena sama-sama diselingkuhi. Aku yang diselingkuhi tunangan saja sampai sakit dan masuk rumah sakit. Sedangkan Mbak Aira, diselingkuhi suami, di KDRT, tapi masih tetap sehat. Dia itu perempuan kuat dan hebat.” Dwita berkata de
“Diam!” Alan dan Dewi langsung terdiam. Tampak Gunawan yang dari tadi hanya diam saja menjadi emosi mendengarkan pertengkaran anak dan istrinya.Alan menunduk, tidak berani menatap wajah papanya. Sedangkan Dewi pura-pura sibuk mengambil makanan yang ada di meja.“Memangnya tidak ada hal yang lain yang bisa dibahas? Papa capek mendengarkan kalian berdebat tanpa henti tentang Aira.” Gunawan menarik nafas panjang.“Ma, sudahlah, nggak usah ikut campur urusan Alan. Biarkan ia menyelesaikannya sendiri. Kalau nanti ia butuh bantuan kita, baru kita membantunya.” Dewi hanya terdiam, walaupun dalam hati ia tidak setuju dengan ucapan suaminya itu.“Alan, benar katamu, kamu jangan menguasai rumah itu. Biarkan rumah itu untuk Kenzo. Kasihan Kenzo umur segitu, orang tuanya sudah berpisah. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Papa tidak menyalahkan Aira yang menggugatmu. Papa yakin, semua sudah dipikirkan masak-masak oleh Aira. Kamu harus tetap bertanggung jawab memberi nafkah untuk Kenzo. Semampu kamu.”
“Kamu masih kerja disini, ya? Oh iya, kamu kan butuh uang untuk hidup,” bisik Firda pada Aira. Aira tampak kaget dengan ucapan Firda.“Terima kasih, Bu. Saya tidak akan melupakan momen ini, mendapatkan hadiah motor dari perusahaan,” kata Aira dengan pelan, tapi masih bisa didengar oleh Bara. Bara langsung menoleh ke arah Firda. Firda kaget melihat Bara menatapnya dengan tatapan tajam.“Sama-sama Aira, semoga kamu betah bekerja disini.” Firda berkata dengan wajah yang dibuat semanis mungkin. Ia takut jika sampai Bara marah di depan orang banyak.Acara pun diakhiri dengan makan-makan, semua yang datang tampak sangat menikmati hidangan yang disediakan. Tentu saja dengan hidangan mewah.“Hari ini kita beruntung ya Mbak, dapat doorprize,” kata Vani di sela-sela mereka makan.“Alhamdulillah.” Aira berkata sambil menyuapkan makanan ke mulutnya.“Apa rencana Mbak Aira?”“Maksudnya?” Aira mengernyitkan dahi.“Mbak Aira kan punya dua motor. Apakah dua-duanya mau dipertahankan? Atau salah satu
“Aira?” gumam Gunawan ketika melihat siapa yang masuk ke ruangannya.“Iya, Pa, ini Aira. Apa kabar, Pa? Papa sehat kan?” sapa Aira ketika ia masuk ke ruangan kerja Gunawan, papanya Alan.Siang ini, waktu jam istirahat, Aira sengaja mendatangi Gunawan di kantornya. Karena Aira tahu, Biasanya Gunawan jarang keluar kantor ketika istirahat siang. “Alhamdulillah, ayo duduk.” Gunawan beranjak dari kursinya dan duduk di sofa tamu berhadapan dengan Aira.“Bagaimana Kenzo? Sehat?” tanya Gunawan.“Alhamdulillah, Pa. Sehat.”“Kalau kamu kerja, siapa yang mengasuhnya?”“Ada tempat penitipan anak, kebetulan satu gedung dengan tempat tinggal saya, hanya beda lantai saja.”“Oh, syukurlah.”“Kamu sudah makan siang?” lanjut Gunawan.“Sudah, Pa.”“Beli makan dimana?”“Saya biasa membawa bekal dari rumah. Biar nggak repot-repot cari makan.”Gunawan mengangguk-anggukkan kepalanya.Setelah berbasa-basi, akhirnya Aira menyampaikan tujuannya datang menemui Gunawan.“Pa, saya kesini mau memberitahu Papa ka
“Kamu itu bikin malu saja!” Bara berkata dengan pelan pada Firda, tapi masih terdengar oleh Aira dan Irwan. Aira melihat ke arah Firda dan tersenyum sinis seolah mengejek Firda.“Awas kamu Aira,” gumam Firda.“Firda, kamu pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan,” kata Bara.“Tapi aku mau disini menemanimu.”“Nggak usah sok peduli kamu.” Bara berbisik di telinga Firda, Firda merah padam karena marah. Bara berjalan menuju ke ruangannya, ia kesal dengan kelakuan Firda yang mempermalukan Aira. Ia tahu kalau Firda itu memiliki dendam terhadap Aira.Sementara itu di ruangan Irwan, Aira tampak tertunduk.“Terima kasih, Pak,” kata Aira dengan pelan.“Untuk apa?”“Karena sudah menyelamatkan saya dari amukan Bu Firda.”“Saya hanya kasihan melihat Bu Aira dimaki-maki di depan umum. Bu Aira tahu kan kalau Bu Firda itu memiliki dendam kesumat dengan Bu Aira?”“Iya, Pak. Saya tahu, karena itu saya diam saja, tidak membalas ucapannya. Karena apa pun yang saya ucapkan pasti salah. Lebih baik mengala
“Ada apa? Kok malah diam saja?” Hendrawan berdecak kesal melihat anak dan menantunya.“Begini, Pa….” Belum selesai Bara berbicara, Firda langsung menyela.“Kami mau bercerai, Pa.” Firda berkata dengan mantap. Hendrawan memegang dadanya, ucapan Firda terasa menusuk jantungnya. Ia syok, tidak menyangka kalau Firda akan berkata seperti itu. Hendrawan mencoba untuk menarik nafas panjang. Bara menjadi kasihan melihat mertuanya.“Kenapa mesti bercerai?” tanya Hendrawan.Firda terdiam.“Kamu masih selingkuh dengan Alan?” Firda tetap diam.“Jawab!” teriak Hendrawan.Bara dan Firda kaget mendengar teriakan Hendrawan. Begitu juga dengan Linda dan Malvin, mereka berdua langsung mendekati Hendrawan.“Ada apa, Pa?” tanya Linda sambil memegang tangan Hendrawan.“Tanyakan pada anakmu itu.” Hendrawan berkata dengan pelan.“Papa kenapa?” tanya Malvin, ia tampak cemas melihat papanya seperti tidak berdaya.“Ada apa, Firda? Bara?” tanya Linda sambil menatap Firda dan Bara secara bergantian.“Maafkan s
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d