“Kamu itu bikin malu saja!” Bara berkata dengan pelan pada Firda, tapi masih terdengar oleh Aira dan Irwan. Aira melihat ke arah Firda dan tersenyum sinis seolah mengejek Firda.“Awas kamu Aira,” gumam Firda.“Firda, kamu pulang saja. Aku masih banyak pekerjaan,” kata Bara.“Tapi aku mau disini menemanimu.”“Nggak usah sok peduli kamu.” Bara berbisik di telinga Firda, Firda merah padam karena marah. Bara berjalan menuju ke ruangannya, ia kesal dengan kelakuan Firda yang mempermalukan Aira. Ia tahu kalau Firda itu memiliki dendam terhadap Aira.Sementara itu di ruangan Irwan, Aira tampak tertunduk.“Terima kasih, Pak,” kata Aira dengan pelan.“Untuk apa?”“Karena sudah menyelamatkan saya dari amukan Bu Firda.”“Saya hanya kasihan melihat Bu Aira dimaki-maki di depan umum. Bu Aira tahu kan kalau Bu Firda itu memiliki dendam kesumat dengan Bu Aira?”“Iya, Pak. Saya tahu, karena itu saya diam saja, tidak membalas ucapannya. Karena apa pun yang saya ucapkan pasti salah. Lebih baik mengala
“Ada apa? Kok malah diam saja?” Hendrawan berdecak kesal melihat anak dan menantunya.“Begini, Pa….” Belum selesai Bara berbicara, Firda langsung menyela.“Kami mau bercerai, Pa.” Firda berkata dengan mantap. Hendrawan memegang dadanya, ucapan Firda terasa menusuk jantungnya. Ia syok, tidak menyangka kalau Firda akan berkata seperti itu. Hendrawan mencoba untuk menarik nafas panjang. Bara menjadi kasihan melihat mertuanya.“Kenapa mesti bercerai?” tanya Hendrawan.Firda terdiam.“Kamu masih selingkuh dengan Alan?” Firda tetap diam.“Jawab!” teriak Hendrawan.Bara dan Firda kaget mendengar teriakan Hendrawan. Begitu juga dengan Linda dan Malvin, mereka berdua langsung mendekati Hendrawan.“Ada apa, Pa?” tanya Linda sambil memegang tangan Hendrawan.“Tanyakan pada anakmu itu.” Hendrawan berkata dengan pelan.“Papa kenapa?” tanya Malvin, ia tampak cemas melihat papanya seperti tidak berdaya.“Ada apa, Firda? Bara?” tanya Linda sambil menatap Firda dan Bara secara bergantian.“Maafkan s
Drtt..drtt, ponsel itu masih berdering.“Diangkat nggak ya?” gumam Aira, ia bimbang melihat siapa yang menelponnya.Dering ponsel pun berhenti, Aira bisa bernafas lega. Tapi rupanya Aira hanya lega untuk sesaat. Ponsel itu pun berdering lagi. Akhirnya Aira menerima panggilan itu.“Halo,” sapa Aira.“Aira, kamu pindah kemana? Aku ke rumahmu, ternyata orang lain yang menempatinya. Pindah kok nggak bilang-bilang.” Tanpa membalas salam dari Aira, suara orang di seberang langsung nyerocos.“Maaf Mbak, memangnya Mbak ada disini?” Aira sudah paham dengan watak si penelpon.“Iya, aku dan Mas Fariz sedang ada kegiatan di kota ini. Share loc sekarang ya?”“I-iya, Mbak.” Panggilan pun diakhiri.“Waduh, gawat. Mbak Amel pasti akan banyak bertanya.” Aira merasa sangat cemas.“Bagaimanapun juga, harus aku hadapi. Tidak mungkin masalahku ini aku sembunyikan. Semangat Aira.” Aira menyemangati diri sendiri, kemudian ia mengirim lokasinya pada Amel, kakak perempuannya.Aira mengajak Kenzo untuk keluar
“Mas Fariz nggak mungkin selingkuh, apa kurangnya aku? Aku bisa merawat diri dan melayani Mas Fariz dengan baik. Mas Fariz sangat mencintaiku.” Amel berkata dengan angkuhnya. Ia tersenyum bangga, sedangkan Fariz merasa tidak enak dengan kelakuan Amel. Ia hanya tersenyum kecut.“Itulah, Mbak, yang dulu aku pikirkan tentang Mas Alan. Aku rela keluar dari kerja demi merawat Kenzo dan supaya bisa mengurus rumah tangga dengan baik. Selalu menyambutnya pulang kerja, memberikan perhatian lebih padanya, memasak yang enak-enak. Tapi nyatanya apa? Begitu ia bertemu dengan masa lalunya, semuanya langsung berubah.” “Tapi seharusnya kamu memaafkannya.” Amel masih saja menyalahkan Aira. Ia masih beranggapan kalau perceraian Aira itu karena kesalahan Aira.“Aku sudah memaafkannya dan memberinya kesempatan. Bahkan ketika ia membuatku keguguran, aku tetap memaafkannya. Tapi ketika ia berselingkuh lagi dan lagi dengan orang yang sama, bahkan sudah berkali-kali berhubungan badan, apakah aku harus tetap
“Rumah itu disewakan, uang sewanya untukku. Alhamdulillah, untuk tambahan biaya hidup kami berdua. Mas Alan memang belum memberi nafkah untuk Kenzo….”“Kamu harus memperjuangkan nafkah untuk Kenzo! Jangan keenakan dia, sudah selingkuh, melakukan penganiayaan, tidak mau menafkahi anaknya. Laki-laki seperti itu yang dulu kamu perjuangkan pada Ayah dan Ibu?” Lagi-lagi Amel nyerocos dan selalu menyalahkan Aira.“Ma, sudahlah. Jangan selalu menyalahkan Aira. Ia sudah cukup menderita hidupnya, jangan ditambahi dengan ucapan yang semakin menyakiti hatinya.” Fariz berusaha mengingatkan Amel untuk tidak menyalahkan Aira.“Pa, Alan ini harus diberi pelajaran supaya tidak meremehkan Aira. Kalau sampai aku bertemu dengannya, aku maki-maki dia!” Aira hanya diam, entah apa yang ia rasakan saat ini. Apakah ia bahagia karena Amel membelanya, walaupun tadi sempat menyalahkannya? Yang jelas, ia sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Amel dan orang tuanya. Ia ingin fokus pada kehidupannya d
“Kenzo, sini sama Ayah,” kata Alan sambil mengulurkan kedua tangannya. Kenzo tampak ragu-ragu.“Peluk Ayah,” kata Aira pada Kenzo, Kenzo pun mendekati Alan dan kemudian memeluknya. Alan terharu sampai mata berkaca-kaca, ia tetap memeluk Kenzo dengan eratnya.“Kenzo sudah besar ya? Jangan nakal, nurut sama Ibu,” kata Alan sambil melepaskan pelukannya.“Kenzo sudah makan?” tanya Alan.“Sudah,” jawab Kenzo.“Sama apa?”“Sop.” Kenzo menjawab dengan singkat. Ia masih terlihat kaku di dekat Alan, karena memang sudah hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Aira memang sengaja membatasi pertemuan dengan Alan dengan Kenzo. Waktu itu Aira dan Alan masih bersengketa di pengadilan, takutnya Alan akan berbuat nekat.“Kapan-kapan kita jalan-jalan ya?” kata Alan pada Kenzo.Kenzo bingung mau menjawab apa, ia pun menatap ibunya.“Iya, nanti Kenzo bisa jalan-jalan dengan Ayah.” Aira menjawab keraguan Kenzo, Kenzo pun mengangguk.“Aku senang melihat kalian berdua sehat. Maafkan aku belum bisa memberi y
Ciiit…. Tiba-tiba Fariz mengerem mendadak. Amel syok, untung saja ia memakai sabuk pengaman, jadi kepalanya terhindar dari benturan dengan dasbor mobil.Amel langsung menoleh ke arah Fariz, butuh mobil menepi dan berhenti. Fariz masih fokus menatap ke depan, nafasnya terengah-engah sepertinya ia sedang menahan amarah.“Pa, apa Papa mau membuat kita mati kecelakaan? Apa yang Papa pikirkan? Oh, pasti Papa memikirkan Aira kan?” Amel langsung mengomel lagi.Fariz menarik nafas panjang.“Ma, bisa nggak sih Mama itu berpikir positif, jangan selalu berpikir negatif tentang Aira. Ingat ma, ucapan itu adalah doa. Apa yang Mama ucapkan bisa saja suatu saat jadi kenyataan.” Fariz berkata dengan perlahan.“Oh, jadi Papa punya niat mendekati Aira ya? Iya?” bentak Amel.“Ma, Papa tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menduakan Mama. Apalagi dengan mendekati Aira. Tapi Mama sudah menuduh yang enggak-enggak, seolah-olah Papa ini laki-laki hidung belang. Selama ini Papa selalu mengalah dengan segala
Pandangan mata Aira beralih ke ponsel. [Jangan takut, Mbak. Ini kemauanku sendiri bukan disuruh Mama. Aku janji nggak akan memberi tahu tempat tinggal Mbak Aira. Aku hanya ingin ngobrol-ngobrol.]Aira menghela nafas panjang membaca pesan dari Dwita.[Ok. Nanti pas libur ya?] Aira membalas pesan itu.Tak butuh waktu lama, Dwita langsung membalas pesan Aira.[Terima kasih, Mbak.]Aira pun meletakkan ponselnya di meja lagi.Vani yang dari tadi memperhatikan Aira, tidak berani bertanya. Padahal banyak pertanyaan yang ada di kepalanya. Ia ingin menghargai privasi Aira.Aira melanjutkan pekerjaannya, walaupun pikirannya menerawang kemana-mana. Tapi ia tetap berusaha untuk berkonsentrasi mengerjakan semuanya. Ia sedih karena hubungannya dengan Dwita sudah membaik, tapi malah hubungan perkawinannya dengan Alan sudah bubar. Aira hanya berharap semoga hubungannya dengan Dwita tetap baik. Apalagi ada Kenzo yang merupakan keponakan Dwita. Dwita juga terlihat sayang dengan Kenzo. Vani masih saj
Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu
Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran
Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,
Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B
Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per
Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te
Ceklek! Pintu IGD terbuka, semua mata langsung melihat ke arah pintu.“Bagaimana kondisi istri dan anak saya, Dok?” tanya Gunawan sambil berjalan mendekati dokter.“Kedua pasien masa kritisnya sudah lewat, tapi memang belum siuman. Karena itu biar mereka di ruangan ini dulu, sampai kondisi mereka benar-benar stabil.”“Bagaimana dengan luka-lukanya, Dok? Maksud saya yang luka bagian mana saja?” “Belum bisa dilakukan tindakan lain, menunggu kondisi stabil, baru nanti akan dicek semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan tidak ada luka yang serius.”“Kalau tidak ada luka serius, kok sampai pingsan?” tanya Trisa.“Pingsannya bisa saja karena syok. Nanti setelah pemeriksaan lebih lanjut bisa diketahui hasilnya bagaimana. Mohon bersabar ya, kami mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien.” “Boleh saya masuk ke dalam, Dok?” tanya Gunawan dengan wajah memelas.Dokter kasihan melihat wajah Gunawan, yang sepertinya sangat tertekan.“Boleh, tapi hanya sebentar saja dan satu per satu.”“Terima kasi
“Alan, sepertinya Mama mengenal perempuan tadi.” Dewi berkata dengan ragu-ragu.Alan hanya diam saja, ia masih memikirkan apa yang terjadi pada Firda.“Bukankah itu tadi Firda?” tanya Dewi. “Yang mana, Ma?” “Yang duduk di kursi roda tadi.”“Masa, sih.” Alan pura-pura tidak percaya.“Iya juga ya, Mama ragu kalau itu tadi Firda. Memangnya Firda sakit? Perasaan Firda sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu tadi bukan Firda.” Dewi juga ragu dengan penglihatannya tadi.Alan mendorong kursi roda mamanya menuju ke ruang terapi. Satu Minggu sekali Dewi harus melakukan terapi, untuk mengembalikan saraf-saraf yang bermasalah supaya bisa seperti sedia kala. Yang mengantarkan Dewi terapi juga bergantian, antara Gunawan, Dwita, Trisa dan Alan. Selama menunggu mamanya diterapi, Alan masih memikirkan tentang Firda. Sudah lama Firda tidak menghubunginya, ia mau menghubungi duluan, takut kalau ketahuan Bara. Ia masih ingat dengan ancaman Bara beberapa waktu yang lalu.“Sakit apa Firda ya? Kok Malvin yang
“Mama lemas, Pa,” kata Dewi dengan pelan, nafasnya tersengal-sengal. Gunawan menoleh ke arah Dewi yang tampak sangat pucat.“Ma, kenapa?” Gunawan meminggirkan mobilnya dan kemudian berhenti. Ia memeriksa kondisi istrinya.“Pusing.” Suara Dewi terdengar bergetar.“Sabar ya, Ma.” Gunawan melajukan kendaraannya lagi. Tujuannya adalah rumah sakit. Dengan berusaha bersikap tenang, Gunawan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Sampai di rumah sakit ia langsung menuju ke IGD. Ia memberikan isyarat pada satpam untuk mendekati mobilnya.“Pak, tolong kursi roda,” pinta Gunawan pada satpam. Satpam dengan cekatan mengambil kursi roda. Dibantu Gunawan, Dewi turun dari mobil dan langsung duduk di kursi roda.“Tekanan darah Ibu tinggi sekali, lebih baik dirawat saja. Biar pengobatannya maksimal,” kata dokter yang memeriksa Dewi.“Nggak bisa rawat jalan saja, Dok?” tawar Dewi dengan pelan, karena tubuhnya sangat lemas.“Biar maksimal pengobatannya, Bu.”“Sudahlah, Ma. Kita ikuti anjuran d