Nama Mahra dan Angga kembali bersih. Kini justru nama Resa, Lala dan Lira yang dihujat netizen. Lala tidak sempat menutup akunnya, sehingga mereka diseret ke penjara. Berbagai komentar hujat-hujatan ditulis di kolom komentarnya.Sedangkan nama Mahra dan Angga semakin diagung-agungkan. Meskipu kedua pasangan ini tidak melihat sosial media. Mereka merasa tidak perlu mengklarifikasi apapun. Atau memposting apapun. Karena mereka bukan artis. Bukan public figure yang harus membagi segala momen di sosial media.Mahra semakin sibuk mengurus bayi kembarnya. Bahkan untuk menulis saja dia cuti hingga anak-anaknya sudah berumur tiga tahun. Meskipun ada karyanya yang sudah mengkrak di laptop. Namun, kini dia ingin membesarkan buah hati terlebih dahulu.Selama ini sudah menerbit banyak buku, bahkan kini terus dicetak ulang. Royaltinya cukup untuk perkembangan yayasannya. Kini seluruh waktunya hanya dihabiskan untuk mengurus suami dan bayinya.Setiap pagi, rutinitasnya sudah berbeda. Mandi sebel
Sepuluh tahun kemudian.“Alifa, Alif, ayo cepat Papa sudah menunggu di depan Nak!” Mahra berdiri di depan pintu kamar si kembar sambil memegang perutnya yang sudah enam bulan. Mereka mengambil tas masing-masing lalu beranjak.“Mama kan sudah bilang, waktu sarapan tasnya langsung di bawa turun ke bawah!” Mahra membelai kepala kedua anak kembarnya.“Iya, Ma. Kita pikir akan diambil sama pelayan!” seru Alif. Setelah mencium tangan ibunya.Mahra susah payah mensejajarkan tubuh dengan anak laki-lakinya itu. “Nak jangan selalu bergantungan sama pelayan. Kalau untuk bawa turun tas sendiri bisa kan?”“Tapi, Mama. Mereka kan bekerja untuk kita? Begitu kata Mbak Rohmah!” sahut Alifa yang mengikat kuncir rambutnya dengan pita pink. Sangat menggemaskan.“Iya, tapi, nggak boleh manja. Kita harus mengurus diri sendiri. Nggak boleh bergantungan sama mereka. Gimana kalau mereka pulang kampung? Kan kita harus bisa mengerjaka sendiri!” Mahra kini memegang kedua bahu anak perempuannya.“Iya, Mama!” sahu
Jam enam sore Lira sudah tiba di depan rumah Jeni di Bandung. Dia tidak sabar menemui Rea. Dia masih ingat terakhir di bertemu Rea saat umur empat tahun. Setelah itu, Jeni hanya datang seorang diri setahun sekali. Dia menekan bel dengan penuh semangat. Namun, dia sangat terkejut, melihat orang asing membuka pintu.“Maaf Mbak cari siapa?” tanya perempuan yang hampir seumuran dengannya.“Saya cari Jeni, Jeninya ada?” tanya Lira.“Jeni? Di rumah ini tidak ada yang namanya Jeni saya Cuma tinggal sama suami!” jelas perempuan itu.“Maaf Mbak, Jeni itu pemilik rumah ini?” Lira tidak percaya dengan pernyataan peremuan itu.“Kapan Mbak? Rumah ini sudah kami tempatin selama lima tahun.”Jelas Perempuan itu.“Jadi rumah ini sudah kalian beli? Mbak tahu nggak pemilik dulu kemana?” tanya Lira lagi dengan rasa khawatir. Karena nomor ponsel sahabatnya itu sudah tidak bisa dihibungi.“Nggak tahu Mbak. Soalnya rumah ini ayah saya yang beli untuk kami!” jelasnya masih dengan ramah.Lira menatap sekelili
Lira menapak kaki di provinsi Aceh lagi. Masa lalu membuat pikirannya seakan memutar video lama. Sangat memalukan. Dia tidak pernah ingin berjumpa lagi dengan mereka. Angga, Pak Muhar dan Mahra. Sepuluh tahun dalam penjara membuatnya sadar. Jika dia terlalu tidak tahu diri. Dia menyampirkan selendangnya ke belakang. Dia harus menutup rambutnya, memakai baju muslimah untuk menghargai adab di negeri syariat itu.Lira mengeluarkan ponsel lalu memesan taksi online. “Kemana Bu?” tanya sopir.“Ke hotel saja dulu pak ini sudah malam!” sahut Lira. Malam hari Lira mencari alamat yayasan matahati. Ternyata ada sosial medianya. Dia segera mengintip aku @yayasan matahati. Ada banyak sekali gambar dan video kreasi anak-anak. Rupanya yayasan itu bukan sekadar panti asuhan. Anak-anak disitu dibimbing dengan baik. Ada banyak sekali gambar-gambar prestasi mereka. Namun, dia tertegun pada sebuah video.“Ananda Rea Arsyila mendapatkan peringkat menulis cerita anak se Aceh!” caption pada video tersebut.
Lira duduk dengan perasaan hancur. Ternyata Rea tidak seperti yang dia pikir. Justru tidak mau mengakunya ibu. Hatinya hancur. Tak sadar air matanya mengalir.“Mbak sabar ya. Rea hanya butuh waktu menerima Mbak!” Mahra menenangkan. Bagaimanapun dia juga seorang ibu. Dia paham apa yang Lira rasakan. Apalagi jauh-jauh dari Jakarta setelah mencarinya kemana-mana.Lira terus menangis sesenggukan. “Semua ini memang salahku! Aku bukan ibu yang baik!” lirinya.Mahra terdiam. Ustazah Rahmi sejak tadi mencari Rea. Rupanyagadis kecil itu meringkuk di atas tempat tidur. “Rea sayang!” panggil Ustazah Rahmi. “Boleh ustazah duduk?” tanya perempuan dua puluh dua tahun itu.Rea menggangguk pelan. Air matanya tumpah. Dia seperti ketakutan.“Rea pernah dengar cerita Uwais Alqarni?” tanya Ustazah setelah membawanya dalam pelukan.Rea juga hanya mengangguk.“Nah beruntunglah untuk orang-orang yang masih memiliki orang tua!” sambung ustazah muda itu.“Tapi, Zah. Rea takut kalau itu bukan Mama Rea. Karen
“Mahra Rea tidak mau ikut saya ke Jakarta! Dia mau tetap di sini!” jelas Lira setelah Mahra kembali ke yayasan lagi.“Baik, Mbak. Kami tetap menerimanya!” Mahra lalu bercerita kalau anak-anak di yayasannya bukan hanya anak yatim piatu. Tapi, juga anak kurang mampu dan telantar.“Giman kalau saya bayar saja untuk makan dan biaya pendidikan Rea?” Lira merasa kalau malu karena sekolah di sana gratis. Padahal dia mampu.“Nggak usah Mbak. Di sini tidak ada satupun yang mengutip biaya. Rasanya nggak enak kalau Rea dibayar sedangkan fasilitasnya sama dengan yang lain!” jelasnya lagi.“Tapi, gimana Mahra saya merasa nggak enak. Kalau Rea tidak saya biayakan!” jelas Lira lagi.“Emmmm, gini aja Mbak. Kalau mau, mbak bisa masuk lewat jalur donatur!” ujarnya memberi penjelasan. “Mbak bisa mengirim uang ke yayasan lewat jalur donatur! Kita tidak mematok berapun jika ingin menyumbangkan!”“Baik, Mahra!” Lira mangut-mangut dia bisa menyisihkan pendapatan kosannya untuk disumbang ke yayasan tersebut.
Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.“Apakabar di kantor, A
“Sudah waktunya makan siang?” gumannya seorang diri.Mahra langsung fokus pada Refans yang keluar dengan terburu-buru. Lalu menancap gas mobilnya keluar dari perkarangan kantor. Berselang beberapa saat, dua buah mobil jep dan ssatu mobil Hammer seakan mengekori sang suami. Mahra segera mengekori mereka dengan perasaan cemas.“Ya Tuhan lindungilah suamiku!” ucapnya berkali-kali.Mobil Refans terus melaju. Bukan ke rumah makan yang biasa di datanginya tapi jauh ke arah jalan lain. Mobil terus melaju di bawah rinai hujan bulan Desember.“Apakah Bang Refans nggak sadar kalau ada yang ngikutin dia?” pikir Mahra.Mahra berada di paling belakang. Setelah setengah jam, Refans masuk ke sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis. “Itu rumah siapa?” Pikir Mahra. “Kok Bang Refans punya kuncinya juga?” Sembilan laki-laki kekar keluar dari mobil mereka. Seorang lelaki dengan postur cukup tinggi. Kulitnya nampak mencolok dari kedelapan pengawalnya. Dia mengenakan kemeja putih lengannya digulung samp