Lira menapak kaki di provinsi Aceh lagi. Masa lalu membuat pikirannya seakan memutar video lama. Sangat memalukan. Dia tidak pernah ingin berjumpa lagi dengan mereka. Angga, Pak Muhar dan Mahra. Sepuluh tahun dalam penjara membuatnya sadar. Jika dia terlalu tidak tahu diri. Dia menyampirkan selendangnya ke belakang. Dia harus menutup rambutnya, memakai baju muslimah untuk menghargai adab di negeri syariat itu.Lira mengeluarkan ponsel lalu memesan taksi online. “Kemana Bu?” tanya sopir.“Ke hotel saja dulu pak ini sudah malam!” sahut Lira. Malam hari Lira mencari alamat yayasan matahati. Ternyata ada sosial medianya. Dia segera mengintip aku @yayasan matahati. Ada banyak sekali gambar dan video kreasi anak-anak. Rupanya yayasan itu bukan sekadar panti asuhan. Anak-anak disitu dibimbing dengan baik. Ada banyak sekali gambar-gambar prestasi mereka. Namun, dia tertegun pada sebuah video.“Ananda Rea Arsyila mendapatkan peringkat menulis cerita anak se Aceh!” caption pada video tersebut.
Lira duduk dengan perasaan hancur. Ternyata Rea tidak seperti yang dia pikir. Justru tidak mau mengakunya ibu. Hatinya hancur. Tak sadar air matanya mengalir.“Mbak sabar ya. Rea hanya butuh waktu menerima Mbak!” Mahra menenangkan. Bagaimanapun dia juga seorang ibu. Dia paham apa yang Lira rasakan. Apalagi jauh-jauh dari Jakarta setelah mencarinya kemana-mana.Lira terus menangis sesenggukan. “Semua ini memang salahku! Aku bukan ibu yang baik!” lirinya.Mahra terdiam. Ustazah Rahmi sejak tadi mencari Rea. Rupanyagadis kecil itu meringkuk di atas tempat tidur. “Rea sayang!” panggil Ustazah Rahmi. “Boleh ustazah duduk?” tanya perempuan dua puluh dua tahun itu.Rea menggangguk pelan. Air matanya tumpah. Dia seperti ketakutan.“Rea pernah dengar cerita Uwais Alqarni?” tanya Ustazah setelah membawanya dalam pelukan.Rea juga hanya mengangguk.“Nah beruntunglah untuk orang-orang yang masih memiliki orang tua!” sambung ustazah muda itu.“Tapi, Zah. Rea takut kalau itu bukan Mama Rea. Karen
“Mahra Rea tidak mau ikut saya ke Jakarta! Dia mau tetap di sini!” jelas Lira setelah Mahra kembali ke yayasan lagi.“Baik, Mbak. Kami tetap menerimanya!” Mahra lalu bercerita kalau anak-anak di yayasannya bukan hanya anak yatim piatu. Tapi, juga anak kurang mampu dan telantar.“Giman kalau saya bayar saja untuk makan dan biaya pendidikan Rea?” Lira merasa kalau malu karena sekolah di sana gratis. Padahal dia mampu.“Nggak usah Mbak. Di sini tidak ada satupun yang mengutip biaya. Rasanya nggak enak kalau Rea dibayar sedangkan fasilitasnya sama dengan yang lain!” jelasnya lagi.“Tapi, gimana Mahra saya merasa nggak enak. Kalau Rea tidak saya biayakan!” jelas Lira lagi.“Emmmm, gini aja Mbak. Kalau mau, mbak bisa masuk lewat jalur donatur!” ujarnya memberi penjelasan. “Mbak bisa mengirim uang ke yayasan lewat jalur donatur! Kita tidak mematok berapun jika ingin menyumbangkan!”“Baik, Mahra!” Lira mangut-mangut dia bisa menyisihkan pendapatan kosannya untuk disumbang ke yayasan tersebut.
“Terima kasih Tuhan telah engkau anugerahkan hamba cahaya, meskipun orang lain menganggapnya petaka!” bisiknya dalam hati. "Aku kini punya caha untuk membawaku pada jalanmu.Lira memandang anaknya yang masih terlelap di atas tempat tidur tepat di sampingnya. Dia terbangun karena Rea meminta agar menstel alarm jam lima agar tidak kesiangan subuh. Dari jauh bisa mendengar sayup-sayup azan berkumandang di masjid-masjid kota banda. Namun, dia masih menatap sang anak dengan penuh syukur. Semalam mengajarinya berwudu, melakukan gerakan salat bahkan kini mereka punya mukena yang couple. Bahkan seumur-umur Lira tidak punya mukena. Itulah mukena pertamanya. Membelinya buku tuntunan salat dab beberapa buku panduan beribadah dan fikih wanita.“Ma, nanti di Jakarta cari guru agar bisa ajarin Mama mengaji!” celetuk gadisnya yang baru menginjak remaja.Dia pernah belajar agama ketika masih di bangku sekolah. Bahkan dia sering bolos ketika masih sekolah. Yatma dan Maria tidak pernah peduli padanya
Lira tiba di apartemen. Dia harus membersihkan apartemennya, karena setelah keluar dari penjara. Perempuan satu anak itu bergegas hendak menemui putri semata wayangnya. Apartemen itu terdiri dari dua kamar. Padahal cukup melelahkan Kini Lira sedang memulai kehidupan baru. Demi anaknya Rea Arsyila. Setelah membersihkan apartemennya yang ditinggal cukup lama. Sayup-sayup azan subuh terdengar.“Yah sudah subuh, aku belum tidur!” gumamnya seorang diri. Bergegas dia mandi, lalu melakukan salat. Mengambil mukena yang dibeli bersama putrinya. Seumur hidup di usianya berkepala empat. Lira baru punya mukena. Dia segera menggelar sajadah dan salat. Meskipun dia hanya melakukan gerak-gerakan seperti dia ajarkan anaknya. Tidak ada yang bisa dia baca. Bahkan Alfatihah saja masih tertukar-tukar.“Ya Allah aku tidak tahu apakah salatku engkau terima. Aku mohon ya Allah tuntun aku ke jalanmu. Mudahkanlah aku mempelajari semua ini perlahan!” dia memanjatkan doa dengan linangan air mata.Lira mengambil
“Kami kenapa pisah kamar Ma?” tanya Alif penasaran. Karena adik perempuannya kini sudah punya kamar sendiri.“Hmmmm, kalian sudah besar, Nak. Jadi biarlah cewek sama cewek!” jelas Mahra.“Jadi Alifa sekarang tidur sama Alesya? Lalu Abang sama siapa?” Alif gesturnya menunjukkan kesedihan.“Nih, bentar lagi lahir teman tidur Abang!” Mahra menunjukkan perutnya. Dia baru saja melakukan USG. Gender anak ke empatnya laki-laki.“Yah masih orok! Kapan mainnya? Alif tertawa lebar.“Nggak apa-apa yang penting bakal ada kan yang temenin Abang!” Mahra membelai kepala sang putra.“Tapi, nggak seru, Abang tidur sendirian sekarang!” keluhnya lagi.“Lho bukannya Abang selama ini mengeluh, Alifa dan Alesya asyik main boneka-an, kamar penuh dengan atribut pink. Nah sekarang abang punya kamar sendiri . Nggak ada lagi tuh boneka kan! Abang bisa tarok miniature apa saja kesukaan Abang!” Angga tiba di sana.“Ha, Abang mau beli gambar Khabib Nurmagomedov! Mau pajang di kamar!” seru Alif.“Siapa itu Bang?”
Kini di lantai dua istana mewah Angga, semua kamar sudah terisi. Alif kamar sendiri dengan dekor monocrome.Di dindingnya sudah ada gambar Khabib sang petinju muslim. Juga ada beberapa miniatur seperti sepeda kuno, vespa dan bola dunia. Alif dikenal oleh orang tuanya penyuka sejarah dan barang antik. Sederet buku sejarah ada di rak kecil dekat meja belajar di kamarnya, yang setiap bulan dia beli. Angga dan Nadia setiap bulan memberikan mereka uang untuk jajan buku dua buah terserah mereka mau buku apa.Alifa dan Alesya sekamar berdua. Kamar itu seperti kamar cewek pada umumnya. Warna pink, banyak boneka, bunga-bunga yang cantik. Ada rak buku kecil, Alifa sangat suka dengan alam. Dia memiliki sederet eksiklopedia tentang alam raya. Bahkan nama-nama makluk hidup beserta spesies dan ordo sudah sangat hafal. Mahra dan Angga sudah memiliki kesimpulan kelak SMA. Anak kembarnya akan memilih jurusan yang berbeda. Alif lebih ke ilmu sosial dan Alifa lebih ilmu alam. Meskipun Alif kalau ditanya
Keadaan Resa berangsur-angsur pulih. Meskipun dia harus mKenggunakan kursi roda. Karena stroke ringan yang dialaminya. Setelah dirawat sepuluh hari. Akhirnya diizinkan pulang.Nasrun membabat semua rumput ilalang yang sudah sepinggang di halaman rumah kakaknya. Ditaman kembali bunga-bunga di bagian depan. Pohon mangga yang sudah meranggas dirapikan. Pada bagian belakang ditanami segala jenis sayuran. Asri istrinya sangat piawai berkebun. Mereka menanam cabe, toba, sawi, bayam, kangkung. Asri sangat rajin. Karena kebiasaannya di kampung.“Terima kasih, Pak Lik Bulik sekarang rumah kami sudah kembali cantik. Plus ada kebun di belakang yang sangat komplit!” ujar Lala.“Sama-sama, kami gatal tangan lihat perkarangan seluas ini hanya ditumbuhi rumput ilalang!” ujar Asri.“Iya, Bulik lama sekali kami dipenjara. Dan kami belum sempat mengurus halaman ibu sudah kecelakaan!” seru Lala setelah membawa teh hangat ke halaman rumah. Ibunya sudah tidur.“Jadi gimana Paklik sama bulik jadi tinggal