Pagi minggu tahun 1996 rumah megah didatangi banyak melayat, semua keluarga dan teman-teman, datang melayat. Hanya ktp dan baju yang dikenakannya yang bisa menunnjukkan kalau itu Yusuf. Anggota tubuhnya sudah tidak dikenali lagi. Terlihat Fatimah memangku anaknya yang masih bayi, matnaya sembab. Hatinya girang karena yusuf benar-benar raib.Saat itu, Naina baru berusia satu Tahun, dia tidak tahu apa-apa tentang ayahnya yang dizalimi itu. Dia juga tidak tahu, kalau ayahnya sudah tiada. Semua orang yang datang mengelus puncak kepalanya sebagai anak yatim. Semua orang bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh Fatimah dan anaknya. Di hari ke tujuh Fatimah mulai ke kantor. Mengatakan kalau kini perusahaan tersebut sudah dipimpinnya. Tidak ada ahli waris lain yang mempertanyakan soal harta Yusuf, karena keluarga Yusuf dari orang berada. Mereka hanya menginginkan Fatimah membesarkan Riana semata wayang itu. Dan semua harta Yusuf untuk mereka. “Fat, kerjaanku beres ‘kan?” Faisa
Setelah Angga mempersilahkan Masuk. Ani segera melangkah ke dalam seraya menyalami sepupunya. Hal yang sangat jarang dia lakukan. Lalu menyalami Mahra.“Sudah membaik Mbak?” tanya dia basa-basi.“Alhamdulillah, Dik! Sendiri kesini?” tanya Mahra.“Iya, Mbak. Mama lagi ada kondangan di dekat rumah!” sahutnya. Alif sangat siaga memperhatikan gerak-gerik Ani.“Oh ya. Ini ada Mama masakin bubur buat Mbak!” perempuan lima belas tahun itu.“Mama nggak boleh makan sembarangan!” sahut Alif.“Dek, ini masakan sehat kok!” Ani mulai kesal dengan laki-laki kecil yang dari tadi membuat dia tidak nyaman.“Iya, tapi...”“Wah enak ini sayang. Tante Rini memang paling enak kalau buat bubur!” sahut Angga setelah mengambil rantang secara tiba-tiba di tangan Ani.Ani sangat kaget dengan cara Angga mengambil rantang darinya. Tapi, hatinya bersorak. Karena itu artinya pekerjaannya berjalan dengan mulus.“Alif kok bengong! Tolong ambilkan piring nak!” perintah Angga.Kamar itu memang kelas VIP bahkan bukan h
Raymond duduk di sel dengan muka ditekuk. Dia ingin sekali menebas siapapun yang mengganggunya.“Woi pembunuh!” teriak seorang laki-laki berbadan kekar di ujung sana. Baju biru tahanan mereka dilipat hingga menampak ototnya yang kekar.“Hei tahanan 315!” teriaknya lagi.“Tuli dia bos!” sahut yang lain.Ada empat laki-laki mengelingi laki-laki bertato itu.Tiba-tiba sebuah badan melayang ke atas kepala Raymond.Raymond membalikkan badannya menatap mereka dengan sangar.“Mau kalian apa?” tanya Rey.Mereka ketawa mengejek.“Kalian nggak tahu aku siapa?” tanya Rey seakan dia sedang berada di pendoponya.“Kamu itu pembunuh ayam! Dan sekarang kamu berada dikandang para pembunuh harimau dan buaya!” gelak mereka lagi.Raymond semakin kesal. Dia menggemgam tangannya.“Kalian pikir aku takut sama kalian!” sahut Raymond. “Aku bisa membuat kalian di sini sampai mati!”Mereka kembali tertawa dengan suara menggelegar. “Kami memang dikurung sampai mati di sini!” Mereka kembali tergelak. “ Jadi siapa
Rini tergopoh-gopoh membuka pintu. Matanya terkejut melihat dua laki-laki dengan pakaian serba hitam. Wajahnya tajamnya, badannya gempal. Seperti rentenir di film-film. Dia tidak merasa masih ada sangkut paut dengan siapapun.“Ada apa Pak?” tanya Rini tergagap.“Dimana anak perempuan kalian?” tanya laki-laki itu.“Siapa Bu?” Udin muncul di sana. Dia terkejut melihat dua laki-laki itu di depan pintu mereka.“Anak saya sudah tidak pulang dari kemarin Pak!” jelas Rini.“Maaf Pak, ada perlu apa dengan anak saya?” tanya Udin.“Anak kalian sudah mengambil uang dari kami! Tapi dia tidak melakukan pekerjaannya!” jelas mereka.“Uang? Kerja apa Pak?” tanya Udin lagi kebingungan. Dan sejak kapan gadisnya berusan dengan preman-preman di depan mereka.“Bapak salah orang kali. Anak saya tidak mungkin minjem uang ke orang!” elak Rini.Salah satu preman itu mengeluarkan ponselnya.“Ini anak kalian kan?” laki-laki itu menyodorkan foto Rini saat mengambil uang dari mereka.Keduanya menutup mulut. “Ya A
Faisal langsung mendatangi perusahaan tempat Yusuf bekerja. Setelah ditekan oleh ANgga. Kalau sempat dia membeberkan ke publik. Faisal akan mendekam dipenjara seumur hidup. Cukup Raymond sekarang dipenjara. Dia tidak snaggup kehilangan semuanya.“Satu kehormatan kamu datang ke sini, Faisal!” ujar Giantoro yang sekarang memimpin perusahaan elektronik terbesar di kuala lumpur.“Aku harus menjemput tahananku!” sahut Faisal.“Apakah kamu berencana membawa pulangnya kembali pada istri dan anaknya?” tanya Gian sambil terbahak-bahak.“Tentu, keadaan sudah mencekik. Aku dan ini temanku sudah sepakat apapun resiko!” seru Faisal. Setelah mereka berbincang-bincang. Giantoro memanggil Yusuf di bagian gudang ke ruangannya.Tidak lama, laki-laki lima puluh tahun itu muncul dengan pakaian kerjanya. Dia masih setampan dulu. Bahkan gaya berpakaiannya masih serapi dulu. Hanya kerutan di wajahnya sudah menunjukkan usianya sudah kepala lima. Apalagi ubannya satu dua sudah muncul sebagian.Herman yang ti
Dua puluh delapan tahun yang lalu. Seperti biasa. Abdullah bertugas sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan elektronik. Kadang dia baru pulang hingga jam sembilan malam. Sejak dua puluh tahun lebih, sejak dia bangun dari tidur panjangnya. Abdullah langsung bekerja di tempat tersebut, dan diantar petugas rumah sakit ke rumah yang kini ditempatinya. Kata petugas rumah sakit, itu rumahnya. Tapi, dia tidak melihat apapun yang menunjukkan benda-benda untuk mengingat siapa dirinya. Karena sejak tersadar di rumah sakit, dia tidak tahu siapa dirinya.“Ini rumah Bapak!” kata petugas itu.“Apakah saya tinggal sendirian?” tanya Abdullah.“Istri dan kerabat bapak meninggal tempo hari saat kecelakaan mobil, hanya Bapak yang tersisa,” jelas perawat itu.“Berapa lama saya koma?” tanya Abdullah.“Setahun!”Setelah mengucapkan terima kasih, perawat itu pergi. Seketika Abdullah ingat, kenapa dia tidak menanyakan laki-laki tadi. Meskipun sepanjang jalan dia melihat begitu ramai, gedung yang kokoh da
Raymond terbangun disaat semuanya terlelap. Entah sejak kapan dia pingsan. Kepalanya pusing. Perutnya lapar. Tapi, dia tidak melihat apa-apa di sana. Selain beberapa orang terlelap jauh darinya. Di bawah keremangan lampu dia pergi ke kamar mandi. Seumur hidupnya baru kali ini melihat kamar mandi yang sangat kotor. Dia hendak muntah tapi, tidak ada cara lain dia harus melepaskan air seninya.“Ya Tuhan laper banget gue!” rintihnya sambil menaikkan celana. Dia hendak segera keluar. Tapi, entah kenapa pintu kamar mandi itu tidak bisa dia buka.“Hei tolong bukakan pintu!” teriaknya. Tapi, tidak ada yang menjawab. Dia terus menjerit. Percuma ruangan itu tidak kedap suara. Dia meringkuk kedinginan di atas lantai wc yang cukup bau itu. Perutnya berkali-kali bunyi.“Mama!” ucapnya pelan. Dia merindukan kediamannya yang mewah. Seumur hidup tidak pernah kesusahan. Tapi, mala mini adalah mimpi buruk baginya.“Awas kalian bajingan aku akan buat perhitungan dengan kalian!” dia memegang perutnya me
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Arif, Yusuf melirik ke luar mobil. Berharap ada sesuatu yang dia ingat barangkali di kota itu.“Apakah aku besar di kota ini?” tanya Yusuf, di dalam mobil itu hanya ada sopir, Arif dan istrinya.“Tentu, kita dibesarkan di sini, di kota ini. Selepas kepergian Abang Mama dan Papa pulang ke kampung halaman di ujung sumatera. Menikmati hari tua di pendesaan.”Yusuf berbalik badan menatap adiknya, ekpresinya menunjukkan ceritanya dilanjutkan.“Papa dan Mama meninggal saat tsunami besar melahap habis setiap dataran rendah!” tambah Arif tiba-tiba raut mukanya menjadi sendu.Ponsel Arif berdering.“Kami sedang dalam perjalanan pulang!” ujar Arif pada orang di seberang telepon.Yusuf masih menunggu cerita Arif.“Adik bungsu kita sudah menunggu di rumah!” ujar Arif.“Kita punya adik lagi?” tanya Yusuf.“Iya, Irfan, adik bungsu kita!” seru Arif. ‘Postur badan, Irfan sama seperti abang. Kalau kulit kita sama. Irfan lebih gelap!”“Apakah kamu mengenal kedua la