Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Arif, Yusuf melirik ke luar mobil. Berharap ada sesuatu yang dia ingat barangkali di kota itu.“Apakah aku besar di kota ini?” tanya Yusuf, di dalam mobil itu hanya ada sopir, Arif dan istrinya.“Tentu, kita dibesarkan di sini, di kota ini. Selepas kepergian Abang Mama dan Papa pulang ke kampung halaman di ujung sumatera. Menikmati hari tua di pendesaan.”Yusuf berbalik badan menatap adiknya, ekpresinya menunjukkan ceritanya dilanjutkan.“Papa dan Mama meninggal saat tsunami besar melahap habis setiap dataran rendah!” tambah Arif tiba-tiba raut mukanya menjadi sendu.Ponsel Arif berdering.“Kami sedang dalam perjalanan pulang!” ujar Arif pada orang di seberang telepon.Yusuf masih menunggu cerita Arif.“Adik bungsu kita sudah menunggu di rumah!” ujar Arif.“Kita punya adik lagi?” tanya Yusuf.“Iya, Irfan, adik bungsu kita!” seru Arif. ‘Postur badan, Irfan sama seperti abang. Kalau kulit kita sama. Irfan lebih gelap!”“Apakah kamu mengenal kedua la
“Akhirnya kita tiba di sini!” ucap Alifa sambil tersenyum menatap rumahnya yang cukup lama ditinggalkan. Juga sekolah sudah dua minggu mereka belum bisa masuk karena insiden macam-macam di jawa.“Iya, dek Abang nggak sabar mau sekolah!” tambah Alif.“Abang sini bantuin Eyang!” panggil Mahra.“Iya, Ma.” Alif bergegas membantu kakeknya. Para pelayan menurunkan semua koper mereka. Alesya hanya mengambil ranselnya.“Eyang pasti lelah! Istirahat terus ya!” Kebiasan Alif selalu mengajak kakeknya mengobrol.Pak Muhar hanya mengangguk. Banyak hal yang sedang dia pikirkan terutama Angga yang kini sedang menyelesaikan masalahnya seorang diri. Dia tahu, Faisal tidak akan tinggal diam apa yang sudah menimpa putranya. Mungkin sekarang dia nampak tak berkutik hanya karena Angga memegang rahasia besarnya.Yusuf merupakan sepupu jauh almarhum istrinya dulu. Faisal sudah menzolimi hidupnya bahkan kehilangan seluruh kekayaan dan keluarganya. Angga sudah berhasil mencari jejaknya. Bahkan menemukan Ana y
Sebelum Faisal keluar negeri. Dia bertemu dengan seorang kolega jauh. Dia sudah menjual sisa asset yang tertinggal. Di singapur dia punya sebuah apartemen tempat Raymond tinggal ketika dia melanjutkan studinya dulu. Dia dan Yuni sudah berumur. Mereka ingin menghabiskan waktu di sana.“Jas tolong bantu keluarkan anakku dari sana!” ucap Faisal. Dia membayangkan keadaan Raymond yang babak belur saat dia jumpain di penjara.Jasmi seorang pengacara kondang. Sangat miris melihat kondisi sahabatnya itu.“Anakmu yang tidak pernah mau menikah itu benar-benar buat masalah! Demi apa dia cari gara-gara dengan Angga!” sahut Jasmi sambil meniup asap lintingnya yang mengepul.“Aku tidak tahu Jas. Tolong Jas, hanya kamu tempat aku bisa memohon sekarang!” pinta Faisal.“Baiklah, akan aku coba. Tapi, ada satu persyaratan. Raymond setelah ini harus diasingkan ke luar negeri!” tambah Jasmi.“Kami memang sudah siap keluar negeri Jas!” Faisal tersenyum kecut pada sahabatnya.“Kamu tahu, selama satu minggu
Raymond sepanjang perjalanan hanya terdiam. Demikian ayah ibunya. Meskipun sempat beberapa kali transit. Mereka memilih diam bahkan saat hendak makan. Dia tidak bertanya apapun. Dari sorot mata ayah ibunya dia bisa melihat bagaimana keduanya sangat kecewa atas kehilangan semua harta mereka.Padahal jika untuk bertahan hidup. Raymond masih memiliki banyak kekayaan berupa emas batangan yang dia simpan di tempat rahasia. Bahkan emas-emas itu jika dia jual, mereka akan tetap hidup mewah tanpa perlu bekerja. Itulah yang dia lakukan secara diam-diam tanpa seorang pun tahu. Bahkan Satrio sekalipun. Laki-laki berdarah jawa itu hanya tahu. Raymond membelikan sebuah rumah jauh di perdalaman Bandung.Rumah minimalis yang dikelilingi sayur mayor. Semua itu dia berikan pada seorang pelayannya yang sudah tua bersama sang istri untuk mengelola. Bahkan dia tidak pernah meminta hasil panen mereka. Namun, ada sebuah kamar yang dia bangun di bawah tanah. Berupa ruang rahasia yang tidak boleh siapapun ma
Satrio sudah bersiaga untuk membumi hanguskan kediaman Pak Muhar. Karena itu plan terakhir dari Raymond. Jika gagal membunuh Mahra. Maka bumi hanguskan kediamannya. Pastikan semua anak-anak dan istri Angga mati menggenaskan. Tak ada ampun.“Ingat Satrio jika Mahra gagal kalian bunuh. Maka lakukan tindakan yang lebih gila. Bakar rumah mereka. Biarkan seluruh keluarga Angga terpanggang api!” ucap Raymond terakhir kali saat ditemui di kantor polisi.“Baik Bos!” sahut Satrio penuh khidmat.Setelah itu Raymond tidak boleh dijenguk siapapun lagi di penjara. Satrio menjalankan misinya. Taka da satupun misinya yang berhasil. Kini plan terakhir. Membakar kediaman orang tua Angga. Karena di sana terdapat seluruh keluarganya. Pagi hari Satrio memantau keadaan rumah itu. Dengan pagar yang menjulang. Dia hanya bisa melihat satpam di muka pagar. Memang sangat sulit bertamu di kediaman itu. Karena penjaga di sana sangat ramai. Satpam pun bukan lagi joko sudah diganti semacam bodyguard yang lebih k
“Bos sebenarnya Raymond sudah bebas dari penjara. Hanya saja kita tidak tahu kemana dia. Karena pada pernyataan polisi dia dipindahkan lapas. Tapi, tidak ada satupun yang bisa menemukan sekian banyak penjara di negeri ini!” jelas Panji panjang lebar.“Berarti kita harus menambah kesiagaan kita. Apalagi anak-anak dan istriku. Sepertinya aku harus menambah pasukan lagi!” Angga menahan gerahamnya. Wajahnya tajam, memikirkan banyak hal untuk keselamatan anaknya.“Iya, Bos kita harus menambah pasukan. Sebaiknya, Bu Mahra dan anak-anak tidak beraktivitas di luar untuk sementara waktu!” tambah Panji.“Kamu benar Panji. Sasaran Raymond bukan untuk menjatuhkan bisnisku saja. Tapi, melenyapkan istriku!” Angga pernah membaca sebuah teori. Seorang yang sedang dimabukkan cinta, dia akan melakukan apapun demi mendapatkan cintanya. Apalagi dia memelihara sifat kebinatangannya. Maka, dalam pikirannya hanya satu. Jika yang diinginkan tidak dapat maka orang lain juga tidak boleh.“Sialan Raymond. Kenap
Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.“Apakabar di kantor, A
“Sudah waktunya makan siang?” gumannya seorang diri.Mahra langsung fokus pada Refans yang keluar dengan terburu-buru. Lalu menancap gas mobilnya keluar dari perkarangan kantor. Berselang beberapa saat, dua buah mobil jep dan ssatu mobil Hammer seakan mengekori sang suami. Mahra segera mengekori mereka dengan perasaan cemas.“Ya Tuhan lindungilah suamiku!” ucapnya berkali-kali.Mobil Refans terus melaju. Bukan ke rumah makan yang biasa di datanginya tapi jauh ke arah jalan lain. Mobil terus melaju di bawah rinai hujan bulan Desember.“Apakah Bang Refans nggak sadar kalau ada yang ngikutin dia?” pikir Mahra.Mahra berada di paling belakang. Setelah setengah jam, Refans masuk ke sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis. “Itu rumah siapa?” Pikir Mahra. “Kok Bang Refans punya kuncinya juga?” Sembilan laki-laki kekar keluar dari mobil mereka. Seorang lelaki dengan postur cukup tinggi. Kulitnya nampak mencolok dari kedelapan pengawalnya. Dia mengenakan kemeja putih lengannya digulung samp