Raymond sepanjang perjalanan hanya terdiam. Demikian ayah ibunya. Meskipun sempat beberapa kali transit. Mereka memilih diam bahkan saat hendak makan. Dia tidak bertanya apapun. Dari sorot mata ayah ibunya dia bisa melihat bagaimana keduanya sangat kecewa atas kehilangan semua harta mereka.Padahal jika untuk bertahan hidup. Raymond masih memiliki banyak kekayaan berupa emas batangan yang dia simpan di tempat rahasia. Bahkan emas-emas itu jika dia jual, mereka akan tetap hidup mewah tanpa perlu bekerja. Itulah yang dia lakukan secara diam-diam tanpa seorang pun tahu. Bahkan Satrio sekalipun. Laki-laki berdarah jawa itu hanya tahu. Raymond membelikan sebuah rumah jauh di perdalaman Bandung.Rumah minimalis yang dikelilingi sayur mayor. Semua itu dia berikan pada seorang pelayannya yang sudah tua bersama sang istri untuk mengelola. Bahkan dia tidak pernah meminta hasil panen mereka. Namun, ada sebuah kamar yang dia bangun di bawah tanah. Berupa ruang rahasia yang tidak boleh siapapun ma
Satrio sudah bersiaga untuk membumi hanguskan kediaman Pak Muhar. Karena itu plan terakhir dari Raymond. Jika gagal membunuh Mahra. Maka bumi hanguskan kediamannya. Pastikan semua anak-anak dan istri Angga mati menggenaskan. Tak ada ampun.“Ingat Satrio jika Mahra gagal kalian bunuh. Maka lakukan tindakan yang lebih gila. Bakar rumah mereka. Biarkan seluruh keluarga Angga terpanggang api!” ucap Raymond terakhir kali saat ditemui di kantor polisi.“Baik Bos!” sahut Satrio penuh khidmat.Setelah itu Raymond tidak boleh dijenguk siapapun lagi di penjara. Satrio menjalankan misinya. Taka da satupun misinya yang berhasil. Kini plan terakhir. Membakar kediaman orang tua Angga. Karena di sana terdapat seluruh keluarganya. Pagi hari Satrio memantau keadaan rumah itu. Dengan pagar yang menjulang. Dia hanya bisa melihat satpam di muka pagar. Memang sangat sulit bertamu di kediaman itu. Karena penjaga di sana sangat ramai. Satpam pun bukan lagi joko sudah diganti semacam bodyguard yang lebih k
“Bos sebenarnya Raymond sudah bebas dari penjara. Hanya saja kita tidak tahu kemana dia. Karena pada pernyataan polisi dia dipindahkan lapas. Tapi, tidak ada satupun yang bisa menemukan sekian banyak penjara di negeri ini!” jelas Panji panjang lebar.“Berarti kita harus menambah kesiagaan kita. Apalagi anak-anak dan istriku. Sepertinya aku harus menambah pasukan lagi!” Angga menahan gerahamnya. Wajahnya tajam, memikirkan banyak hal untuk keselamatan anaknya.“Iya, Bos kita harus menambah pasukan. Sebaiknya, Bu Mahra dan anak-anak tidak beraktivitas di luar untuk sementara waktu!” tambah Panji.“Kamu benar Panji. Sasaran Raymond bukan untuk menjatuhkan bisnisku saja. Tapi, melenyapkan istriku!” Angga pernah membaca sebuah teori. Seorang yang sedang dimabukkan cinta, dia akan melakukan apapun demi mendapatkan cintanya. Apalagi dia memelihara sifat kebinatangannya. Maka, dalam pikirannya hanya satu. Jika yang diinginkan tidak dapat maka orang lain juga tidak boleh.“Sialan Raymond. Kenap
Suara sendok bertemu piring memecahkan keheningan di ruang makan. Di sana hanya diisi oleh dua sejoli. Tidak ada pembicaraan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Refans berusaha menyiapkan sarapannya. Sedangkan Mahra, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagaimana dia memulai pembicaraan untuk menghangatkan suasana pagi itu. Setelah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, Refans tidak pernah menyantap masakannya. Dia berpikir keras, apa yang sepatutnya dia tanya. Agar mendapat sambutan hangat dari sang suami.Mahra mencuri-curi perhatian, memperhatikan wajah Refans. Dia masih tetap tampan seperti dulu. Jam tangan rolex masih melingkar pergelangan tangannya. Jam tangan itu hadiah dari Mahra dua tahun yang lalu. Hadiah yang dipesan langsung dari Jerman. Refans senang diberikan hadiah berupa barang-barang mewah. Tapi, ada satu yang telah berbeda. Suaminya sudah tidak pernah tersenyum untuknya lagi. Mahra rindu, segaris senyum yang merekah di bibirnya.“Apakabar di kantor, A
“Sudah waktunya makan siang?” gumannya seorang diri.Mahra langsung fokus pada Refans yang keluar dengan terburu-buru. Lalu menancap gas mobilnya keluar dari perkarangan kantor. Berselang beberapa saat, dua buah mobil jep dan ssatu mobil Hammer seakan mengekori sang suami. Mahra segera mengekori mereka dengan perasaan cemas.“Ya Tuhan lindungilah suamiku!” ucapnya berkali-kali.Mobil Refans terus melaju. Bukan ke rumah makan yang biasa di datanginya tapi jauh ke arah jalan lain. Mobil terus melaju di bawah rinai hujan bulan Desember.“Apakah Bang Refans nggak sadar kalau ada yang ngikutin dia?” pikir Mahra.Mahra berada di paling belakang. Setelah setengah jam, Refans masuk ke sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis. “Itu rumah siapa?” Pikir Mahra. “Kok Bang Refans punya kuncinya juga?” Sembilan laki-laki kekar keluar dari mobil mereka. Seorang lelaki dengan postur cukup tinggi. Kulitnya nampak mencolok dari kedelapan pengawalnya. Dia mengenakan kemeja putih lengannya digulung samp
Setelah subuh Mahra, memasak nasi goreng kesukaan Refans. Memasak untuk terakhir kalinya.“Semoga Bang Refans mau makan masakanku ini!” ujarnya. Dia sudah tidak menangis lagi. Hatinya sudah ikhlas menerima perpisahan dengan Refans.Perempuan yang baru saja genap 29 tahun usianya september lalu, mengemaskan semua barang-barangnya. Di kamar megah Refans dia tidak meninggalkan sepotong bajupun. Karena sudah bukan lagi suami istri. Mahra tidur di kamar belakang yang kosong. Dia tidak menanti lagi kepulangan Refans.Jam tujuh dini hari rumah sudah rapi. Baju-baju kotor Refans sudah dicuci. Sarapan sudah tersedia di atasa meja. Mahra hanya meneguk segelas susu dan memakan sepotong roti. Dia tidak nafsu makan. Entah karena hatinya yang masih terasa pilu. Semalaman dia bersimbah dia atas mihrab. Mengadukan nasipnya yang malang pada Tuhan. Setelah memesan taksi online dia hendak membawa kopernya ke depan rumah. Sengaja tidak pamit lagi pada Refans. Perasaannya yang kini tercabik-cabik. Akan b
Setelah berpuluh kali membolak balik benda pipih itu. Tangannya gemetar, hatinya bergemuruh. Kabar yang di bawanya tentu bukan kabar baik untuk keluarganya. Tapi kini langit Jakarta sudah lepas dari pandangannya. Dia hampir mendarat di Kuala Namu. Tapi, dia belum berani menghubungi orang tuanya. Tentu menjadi boomerang tersendiri. Mahra dan Refans sudah tidak pernah pulang hampir dua tahun. Tiba-tiba pulang tanpa bersuami. Perempuan 27 tahun itu menghembus napas kasar. Hatinya tak menentu. Tapi, sejak talak menjulur begitu saja dari mulut Refans. Hanya satu yang ingin dia lakukan. Memeluk sang ibu. Dia sangat merindukan dekapan hangat itu. Dekapan tulus tanpa karena. Entahlah, apapun yang terjadi dia akan segera sampai ke kota kelahirannya. Mau tidak mau dia harus segera menghubungi keluarganya.“Mak, Mahra sudah di Bandara Kuala Namu. Sebentar lagi sampai Banda. Jemput Mahra ya, Mak?” sebuah pesan mendarat di telpon selule Meilinda. Sang Ibu terkejut bukan main. Berulang kali perem
Di ruang kerjanya yang bertingkat, Angga merebahkan punggung ke sofa. Badannya bagai dicengkram oleh sesuatu yang berat. Sedangkan hatinya terasa mengembun sesuatu yang membuatnya ngilu. Kenapa primadona hatinya yang tiba-tiba muncul di hari sangat kurang tepat. Belum lagi, Angga sendiri menjadi dalang atas berakhirnya rumah tangga Mahra si Nona Aceh itu.Angga menatap langit-langit yang abu-abu. Membayangkan hancurnya hati Mahra terhadap sikap Refans. Dia menggigit gerahamnya, geram. Laki-laki jakung itu sangat benci kepada lelaki yang suka mempermainkan hati wanita. Apalagi wanita baik-baik seperti Asyuratul Nadia Mahra.Angga berlari kecil, wajahnya gelisah. Tanpa berbicara sepatahpun dengan orang kantornya, dia keluar kantor hendak mencari Mahra. Dengan perlahan dia memutar pedal mobil hingga mendekati pagar rumah yang terbilang mewah. Senyap, tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di dalam sana, hatinya berkecamuk. Kemana Mahra? Sudah dua kali dia ke rumah itu. Baru beberapa hari