Angga bergegas terbang ke Aceh demi melamar sang pujaan hati. Dia mendorong kursi roda ayahnya dengan gembira. Wajahnya berseri, dia tidak sabar untuk duduk di pelaminan dengan perempuan dambaannya sejak dulu. Angga sudah mengabari semua kerabat. Meskipun mereka tidak datang, tapi, semua berjanji akan datang ketika acara pernikahannya nanti.Di Banda Aceh, Angga dan ayahnya serta beberapa bodyguard menginap di hotel mereka. Acara lamaran akan berlangsung hari jumat pagi. Kediaman Mahra sudah dihadiri ramai keluarga, mereka seaakan menyiapkan acara lamaran pertama untuk anak perempuan Pak Burhan itu. Pagi hari, istrinya Akmal, Jelita sudah memesan make up artis ke rumah. “Kak, nggak usahlah pakek make up segala?” protes Mahra.“Dek, please jangan protes ya!” Jelita memegang kedua bahu adik iparnya. “Kamu harus tampil cantik!”“Kak, aku bukan pertama lamaran pun!” Mahra masih belum terima.“Justru karena ingin memulai buka lembaran baru. Adek harus tampil sempurna, memulai semua ini
Di tempat berbeda, di negeri sakura. Refans duduk menatap ke luar jendela dengan mata berkaca-kaca. Setelah bertahun, bercerai kenapa akhir-akhir ini. Dia baru benar-benar sadar betapa berharganya Mahra dalam hidupnya. Selama bekerja di Jepang, mutlak setelah dia berpisah dengan Mahra. Tidak ada lagi orang yang sepeduli mantan istrinya itu padanya. Tidak ada lagi teh hangat menyambutnya di pagi hari. Tidak ada lagi, nasi goreng disuguhkan untuknya sarapan pagi. Tidak ada lagi yang peduli dengan pakaian-pakaiannya. Bahkan hal terkecil, mengingatkan dia mati lampu sebelum tidur. Ada yang lebih membuat Refans tersadar, tidak ada yang lagi mengingatkan dia untuk salat. Bahkan ibunya saat ini.“Abang ayo sarapan dulu!”“Abang ayo salat dulu!”“Abang bajunya sudah siap ya!”Suara merdu Mahra tergiang-giang di telinganya. Membuat dia semakin dilema.Ibu dan Kakaknya hanya tahu memeras uangnya saja. Untuk mengurus rumah dan memasak, Refans harus membayar orang. Padahal ibu dan kakaknya tidak
“Saya terima nikahnya Nadia Asyuratul Mahra Binti Burhanuddin dengan mas kawin sepuluh manyam mas tunai!” ungkap Angga sekali napas. Wajahnya tertunduk menanti pengesahan dari para saksi.“Bagaimana para saksi sah?” tanya penghulu.“SAH,” Jawab para saksi bersamaan.“Alhamdulillah!” ungkap Angga sembari mengusap wajahnya. Seraya menoleh ke belakang. Kea rah Mahra yang duduk anggun di damping ibu dan Kakak iparnya.Serangkaian doa dilafadzkan penghulu. Lalu Cika membantu Angga memakai mahar pada tangan Mahra. Berupa gelang emas murni senilai sepuluh manyam. Di Aceh, emas untuk perhiasan disebut manyam. Satu manyam setara dengan 3,3 gram emas. Demikian juga untuk mahar. Orang Aceh terkenal dengan mahar yang tinggi. Berkisar 8 manyam, 10, 12, 15 bahkan ada yang 3o manyam. Semua itu tergantung, tempat dan tingkat pendidikan.Kebiasannya, untuk perempuan berstatus janda. Mahar hanya sekitar 4 atau 5 manyam saja. Hanya saja. Angga yang cukup paham seluk belum adat Aceh. Dia tidak mau member
Malam sudah menyelimuti kota Banda. Angga dan Mahra salat isya berjamaah di kamarnya. Setelah lelah seharian mengikuti prosesi pernikahan hingga pesta baru siap sore hari.“Mahra!” panggil Angga setelah dia duduk di atas tempat tidur. Sedangkan Mahra masih sibuk menata mukena dan beberapa kain lain. Sebenarnya bukan sibuk. Dia hanya memperlambat merapikan mukenanya. Entah kenapa dia merasa hatinya berdebar-debar, gugup. Bahkan jemarinya bergetar.Mahra menoleh.“Sini!” Angga menepuk tempat tidur di sampingnya. Laki-laki itu masih dengan sarungnya.Mahra sudah memakai hijab instan, serta piyama lengan panjang menutup tubuh rampingnya.Langkah Mahra begitu berat. Tangannya memilin ujung piyama.“Sini lagi dong!” ujar Angga lagi. “Kenapa sih? Takut sama Abang ya? Abang nggak makan orang lho!”Mahra semakin gugup. Wajahnya sudah seperti kepeting rebus.Angga semakin gemes melihat gelagat istrinya. Segera dia gemgam jemari Mahra yang tadi asyik memainkan ujung piyama. Mahra semakin gugup.
Lira memperhatikan dari jauh kediaman orang tuanya. Dia mengepal tangan.“Kalian akan aku usir dari rumahku ini!” geram Lira dia menatap anaknya yang Nampak anteng duduk di sampingnya.Sebuah hrv putih masuk ke perkarangan rumah. “Itu pasti perempuan sialan itu!” gumam Lira. Namun, dia segera menancap gas. Karena Maria nampak berjalan memperhatikan mobilnya. Lira segera memutar mobilnya menuju sebuah kosan yang kini merupakan satu-satunya penghasilan Yatma dan istrinya. Lira tidak pernah menyangka jika mereka sekejam itu padanya.“Permisi, Mbak!” sapa Lira pada seorang perempuan yang baru keluar dari perkarangan kosan tersebut.“Pemilik kos ini ada di sini?” tanya Lira basa-basi.“Nggak Mbak. Biasanya Bu Maria dan suaminya sebulan sekali ke sini!” sahutnya.“Oo, kira-kira ada kamar kosong nggak?” Lira memperhatikan kosan bertingkat itu. Terlihat bangunannya sangat terawatt.“Kayaknya nggak ada Bu,” perempuan itu memperhatikan Lira dari atas ke bawah. “Tapi, tempat ini kebanyakan anak
“Mahra tahu nggak, kalau Swiss ini negera terbersih di dunia lho!” ujar Angga sembari menggamit tangan sang istri.“Iya, Mahra pernah baca di sebuah artikel. Di tulis langsung oleh orang Indonesia yang kerja di sini!” sahut Mahra yang sangat takjub melihat pemandangan yang sangat indah. Bahkan, tak pernah dia melihat sampah sebijipun. Di dekat mereka ada beberapa orang mengambil air di kran langsung dimasukkan ke dalam tumblr mereka. Di Swiss air kran sudah terjamin kebersihannya.“Yok ambil minum di situ!” ajak Angga. “Di sini tidak dijual air mineral!”Mereka mendekati kran air tersebut. Di sana ada seorang laki-laki sedang memasukan air ke dalam tumblr hitamnya. Begitu berbalik. Wajahnya sontak memerah. Matanya membola. Demikian juga dengan Angga dan Mahra. Sejenak mereka saling terdiam.Refans masih terdiam di sana, hanya dua meter dari tempat dia berdiri.“Hai Bro! Sedang apa di sini? Liburan?” Angga langsung memecahkan keheningan itu.“A-aku ambil air…”“Iya maksud gue. Lo lagi
Perwakilan dari pengadilan mengatakan kalau rumah itu sudah kosong. Penguhuninya sudah pergi. Lira tidak berusaha mencari mereka. Dia segera menjual rumah peninggalan orang tuanya. Pengadilan sudah memberikan keputusan atas keabsahan hartanya. Termasuk kosan dan rumah. Karena memang hanya itu kini yang masih tinggi. Padahal di surat perjanjian pertama. Aset orang tua Lira mencapai dua belas miliar. Kini hanya dua miliar lagi.Hasil penjualan tersebut dia beli apartemen di Jakarta. Sisanya dia beli rumah minimalis sekitar rumah lamanya. Kini dia punya rumah minimalis tiga unit. Dia sewakan. Uangnya akan masuk ke kasnya setiap bulan. Belum lagi persewaan kosan di Bandung. Yang masih dihuni penuh oleh kebanyakan mahasiswa. Karena kosan tersebut berada di sentral kota tersebut.“Terima kasih Ayah. Sudah bantu Lira. Setidaknya tidak perlu repot-repot mengusir mereka!” ujar Lira saat berkunjung ke rumah mantan mertuanya itu. Berharap dia juga bisa melihat istri Angga di sana.“Sama-sama Nak
Begitu azan subuh berkumandang. Mahra ingin segera bangun seperti biasanya. Namun, kepala terasa pusing. Matanya berkunang-kunang. Dia tidak bisa benar-benar membuka mata. Susah payah untuk bangun. Akhirnya dia tertidur kembali. Subuh pun terlewatkan.Angga sedang berada di luar kota. Demi untuk mengontrol perusahaan induk di Bandung. Meskipun sedang tak bersama. Begitu habis subuh laki-laki itu segera menghubungi istrinya. Setelah beberapa pesan dan panggilan. Sang istri tidak juga merespon.“Kemana sih? Biasanya gercep banget balesnya?” gumam Angga sambil terus menghubungi Mahra. Angga memang sudah bisa mengingat rutinitas sang istri. Bangun sebelum subuh, mandi, kemudian salat dan baca alqur’an. Menyiapkan sarapan lalu menulis. Jam sembilan pagi dia akan ke pergi ke yayasan. Jika Angga di sisinya. Hampir tak melihat ponselnya beberapa jam hingga dia tiba di yayasan. Berbeda jika dia tidak bersamanya. Mahra justru mengecek hp berkali-kali.Bu Mei masuk ke kamar anaknya. Dia melihat
Lima tahun kemudian.Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Kini anak-anak sudah tumbuh menuju dewasa. Si kembar sudah SMA menjelang tamat. Rasa-rasanya, Angga ingin segera pensiun dari pekerjaannya. Dia sudah mempercayai beberapa kerabat dekat untuk mengelola perusahaannya.“Sayang, rasanya aku di rumahnya. Pensiun lebih cepat!” ucap Angga pagi itu setelah anak-anak semua pergi sekolah. Mahra selama tidak memiliki bayi. Sudah kembali aktif menulis.“Terserah Mas! Mahra senang aja kalau Mas di rumah! Apalagi Mas sudah bekerja sejak muda. Pensiun dini lebih baik sebagai bonus kerja keras selama ini!” Mahra menghentikan pekerjaannya. Lalu duduk di sampingnya.“Kamu masih tetap cantik!” Angga menatap sang istri lebih lekat.“Mahra sudah tua, Mas! Sudah ada satu dua uban!” ujarnya tersipu.“Tapi, masih tetap cantik!” Angga menggamit tangan sang istri.“Mas juga masih gagah, orang tidak akan percaya Mas sudah menuju kepala lima!” Mahra membalas tatapan sang suami.“Karena Mas masih gant
“Total belanjaan Kakak seratus dua puluh ribu!” ucap Kasir.Alika merongong tasnya. Capek dia cari-cari dompet. “Duh kemana sih domper?” keluh Alika.“Kak?” panggil kasir. “Antriannya panjang sekali.”Dia baru sadar ada sepuluh orang sedang mengatri di belakang.“Aduh maaf bang, dompet saya tinggal! Saya transfer aja boleh?” tanya Mahrasambil menahan malu.“Tidak bisa kak, rekening toko lagi bersamalah!” ujar kasir.“Tapi, gimana bang saya nggak bawa dompet!” Alika sudah hampir menangis.Tiba-tiba seseorang meletakkan dua lembar pecahan dua ratus di sana. “Ini sekalian untuk bayaran ustazah ini!” ujar laki-laki itu dengan tenang. Sembari menunjukkan sebotol air mineral dan bisquit.“Oke!” kasir lamgsung mengerjakan tugasnya.Alika masih di sana terpaku. Mengingat sejenak sepertinya pernah jumpa. Tapi dimana? laki-laki dengan penampilan kasual nampak santai dengan celana training, baju kaos jersey dan sepatu olahraga.“Terima kasih Pak!” seru Alika cepat-cepat.“Sma-sama Ustazah!” lak
Bab 1Mengenal Makhluk HidupAlika merupakan siswa kelas III SD. Alika tinggal bersama Ayah dan Ibunya dan adiknya Affa. Affa masih berumur tiga tahun. Alika sangat menyayangi adik Affa.Setiap hari Alika ke sekolah dengan berjalan kaki dengan Dini dan Andi. Mereka tinggal di satu komplek Perumahan Hijau. Dini, Andi dan Alika berteman baik sejak kelas I.“Hari ini kita belajar apa?” tanya Andi sambil mengayun langkah.“Kita akan belajar tentang makhluk hidup,” sahut Alika.“Makhluk hidup itu seperti kita ini, Ka?’’ tanya Dini.“Iya, makhluk hidup seperti kita ini manusia, hewan dan tumbuhan,” jelas Alika sambil menunjuk ke arah pohon yang memayungi jalan yang mereka lewati.“Apa saja ciri-ciri makhluk hidup, Ka?” tanya Andi lagi.“Memerlukan makan dan minum, bernapas, tumbuh dan berkembang biak,” sahut Alika lagi.“Pintar sekali kamu, Ka. Tahu dari mana?” tanya Dini.“Aku baca buku, Dini. Ayah dan Ibuku selalu menghadiahkan aku buku dan mengajakku ke perpustakaan,” jawab Alika.“Nanti
Danil sangat kikuk duduk diantara orang-orang yayasan. Dimana penampilannya sangat mencolok. Semua laki-laki di sana menggunakan peci, serta baju koko yang cukup sopan. Belum lagi yang perempuan, membuat dia menjerit seakan sedang terjebak ke dalam tempat yang sangat sulit dia dambakan.Sebelum rapat dimulai. Angga sengaja meminta Danil duduk di sampingnya.“Maaf sebelumnya, Ustaz Ustazah semua. Perkenalkan ini Danil tangan kanan saya di perusahaan. Hari ini kebtulan saya ajak ke sini, untuk mengenal dunia pendidikan lebih jauh!” jelas Angga. Membuat semua orang memperhatikan Danil dengan seksama. Laki-laki dengan postur tubuh proposional. Hitung mancung, alis tebal dan sekilas terlihat berkarisma. Buru-buru ustazah di sana menundukkan pandang. Karena spek laki-laki di depan mereka sangat memukau, bagai artis.Danil agak terkejut dengan penuturan bosnya. Apa ini cara bosnya mengenalkan dia pada ustazah di sana. Rapat berlangsung. Beberapa ustazah menyampaikan laporan mereka. Ada juga
Angga pulang hampir larut. Tidak biasanya dia seperti itu. Namun, beberapa pekerjaan menjelang akhir tahun ini membuat semuanya sibuk. Apalagi dia baru memecat sekretarisnya.“Danil, tolong carikan sekretaris baru untukku! Ingat laki-laki ya!” perintahnya.“Baik, Bos. Akan segera saya dapatkan!” sahut Danil. Danil merupakan kaki tangan ANgga. Namun, dia punya jabatan yang besar di perusahaan itu.“Maafkan saya terkait Sela Bos. Saya menyesal terhadap kejadian yang menimpa Bos!” tambah Danil. Angga sedang bersiap hendak pulang.“Its Oke. Jadi kita lebih waspada ke depan!” sahut Angga. Sekali lagi dia melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan jam 12 dini hari. Sudah lama dia tidak lembur selama ini.“Baik, Bos.” Danil menunggu Bosnya keluar dari ruangan.Lalu mereka berjalan beriringan untuk ke parkiran.“Danil, kalau nanti kamu bekerluarga usahakan, melindungi dan menjaga pernikahanmu. Banyak sekali wanita jalangyang mengincar kalau kita punya pekerjaan dan penghasilan y
Sela keluar dari gedung pencakar langit itu dengan berat hati. Mau gimana lagi, dia benar-benar dipecat secara tidak terhormat. Bahkan bodyguard menyeretnya dengan kasar.“Saya ingin mengambil barang-barang saya dulu!” pintanya memelas karena ada beberapa barang berharganya di sana.“Ingat hanya lima menit kamu sudah keluar dari gedung ini!” tegas bodyguard tersebut. Sela berjalan cepat menuju lift lalu ke ruangannya tepat di samping ruangan Angga, sang CEO.Saat menenteng sebuah kardus keluar dari sana. Dia berpapasan dengan kedua temannya Ani dan Dini. Bukan rasa kasihan yang ditunjukkan malah diejek habis-habisan.“Aduh Sela- sela baru setengah jam lalu, kita bilang apa. Kamu mimpi ketinggian. Kasian sekali. Padahal cita-citanya mau jadi simpanan bos!” ledek Dini.“Memang kamu itu terlalu kepedean tahu. Kamu bisa tuh, incarin om sana, tapi tidak dengan Bos Angga. Dia itu spek setia. Kamu belum lihat istrinya secantik dan sekeren apa. Dibandingkan kamu bukan apa-apa Sel!” tambah Ani
Angga berjanji akan segera memecat Sela pada kedua anaknya. Mereka akan melihat langsung proses itu. Begitu pulang sekolah, Angga menjemput sendiri kedua anak kembarnya itu yang kini sudah masuk sekolah Madrasah Tsanawiyah. Masih dengan baju sekolah mereka diboyong ke kantornya. Memang sejak pagi Sela merasa aneh, bahkan bosnya itu tidak menyapanya sama sekali. Pekerjaan pun tidak ada yang diansurkan padanya. Justru staf lain yang hilir mudik mengantar sendiri.“Kenapa sih Bos?” gumamnya.“Bos mau dibuatkan kopi?” tanya Sela dengan lancang masuk ke ruangnya.“Saya tidak minum kopi, kamu tahu itu kan?!” Angga terus sibuk memperhatikan berkas di depannya tanpa menoleh.“Maaf Bos, yang lain barang kali?” tanya Sela lagi.“Tidak perlu!” jawab Angga puntung.“Untuk makan siang bagaimana Bos?” perempuan itu mendekati meja kerja bosnya. Hari ini dia sengaja memakai kemeja yang agak ketat, dengan hijab dililit ke belakang. Menurutnya cukup membakar gairah seorang laki-laki. Sejak masuk ke san
“Ma semalam Kakak mimpi buruk lagi!” seru Alifa setelah duduk di samping ibunya yang sedang memakai wangi-wangian pada anak bungsunya.Mahra menoleh, ini bukan kali pertama Alifa mimpi buruk. Tiga hari yang lalu putri kembarnya itu juga bermimpi buru. Dia bermimpi dililit ular sampai napasnya tersenggal-senggal. Itu dapat dia lihat langsung saat dia memeriksa kamar anaknya. Tiga hari sebelumnya lagi juga demikian. Itu pertama kali si kakak mimpi dikejar harimau besar.“Malam ini mimpi apa kak?” tanya Mahra dengan tenang. Dia bisa melihat putrinya seperti ketakutan.“Mimpi Papa nikah lagi, dan istri baru papa jahat!” Alifa berujar dengan penuh penyesalan.Mahra membeliakkan matanya. Dia memang sempat mencari internet perihal tafsir mimpi. Namun, dia ragu apakah anak remaja seusia alifa mimpinya bisa memiliki makna?“Apa-apa?” Angga yang hanya mendengar ujungnya saja tentu shock bukan main. Mata elangnya menatap sang ayah dengan ganas.“Kenapa Kakak lihat Papa begitu?” tanya Angga. Dia
Sudah dua jam, Mahra duduk di depan laptop. Menulis sebuah artikel. Selama beberapa tahun terakhir, dia membangun sebuah blogger parenting. Cukup berpenghasilan dan maju. Mahra sudah lama tidak menulis buku, karena anak-anaknya masih balita. Dia tidak ingin anak-anaknya kekurangan kasih sayangnya. Membangun blogger tidak begitu sulit dan menguras waktunya. Setidaknya dia masih menulis setiap 3 atau 2 kali seminggu.Dia menyisihkan sedikit waktu ketika putranya tidur atau bermain dengan orang lain. Seperti malam ini karena putra bungsunya sedang asyik bermain dengan Angga. Angga nampak piawai bermain dengan si bungsu yang baru bisa berdiri, bahkan sesekali sudah bisa mengangkat langkah dengan gemetar. Sedangkan ketiga anaknya lagi sedang belajar mengaji di mushalla rumahnya. Angga sengaja memanggil orang ke rumah. Ketiga anak itu punya guru yang berbeda. Berdasarkan tingkatan mereka belajar.Si kembar sudah belajar kitab kuning dan fasahah alquran. Sedangkan Alesya masih di iqra’. Sese