Perwakilan dari pengadilan mengatakan kalau rumah itu sudah kosong. Penguhuninya sudah pergi. Lira tidak berusaha mencari mereka. Dia segera menjual rumah peninggalan orang tuanya. Pengadilan sudah memberikan keputusan atas keabsahan hartanya. Termasuk kosan dan rumah. Karena memang hanya itu kini yang masih tinggi. Padahal di surat perjanjian pertama. Aset orang tua Lira mencapai dua belas miliar. Kini hanya dua miliar lagi.Hasil penjualan tersebut dia beli apartemen di Jakarta. Sisanya dia beli rumah minimalis sekitar rumah lamanya. Kini dia punya rumah minimalis tiga unit. Dia sewakan. Uangnya akan masuk ke kasnya setiap bulan. Belum lagi persewaan kosan di Bandung. Yang masih dihuni penuh oleh kebanyakan mahasiswa. Karena kosan tersebut berada di sentral kota tersebut.“Terima kasih Ayah. Sudah bantu Lira. Setidaknya tidak perlu repot-repot mengusir mereka!” ujar Lira saat berkunjung ke rumah mantan mertuanya itu. Berharap dia juga bisa melihat istri Angga di sana.“Sama-sama Nak
Begitu azan subuh berkumandang. Mahra ingin segera bangun seperti biasanya. Namun, kepala terasa pusing. Matanya berkunang-kunang. Dia tidak bisa benar-benar membuka mata. Susah payah untuk bangun. Akhirnya dia tertidur kembali. Subuh pun terlewatkan.Angga sedang berada di luar kota. Demi untuk mengontrol perusahaan induk di Bandung. Meskipun sedang tak bersama. Begitu habis subuh laki-laki itu segera menghubungi istrinya. Setelah beberapa pesan dan panggilan. Sang istri tidak juga merespon.“Kemana sih? Biasanya gercep banget balesnya?” gumam Angga sambil terus menghubungi Mahra. Angga memang sudah bisa mengingat rutinitas sang istri. Bangun sebelum subuh, mandi, kemudian salat dan baca alqur’an. Menyiapkan sarapan lalu menulis. Jam sembilan pagi dia akan ke pergi ke yayasan. Jika Angga di sisinya. Hampir tak melihat ponselnya beberapa jam hingga dia tiba di yayasan. Berbeda jika dia tidak bersamanya. Mahra justru mengecek hp berkali-kali.Bu Mei masuk ke kamar anaknya. Dia melihat
Angga tiba di rumah. Hatinya masih sangat gundah sebelum bertemu sang istri. Sampai di kamar dia melihat istri terkulai lemas. Wajahnya pucat. Kain kompres masih terletak di atas keningnya.“Sayang kamu demam?” panggil Angga sembari mendarat ciuman di pipi sang istri.Mahra membuka mata. Reflek memeluk suaminya. Seakan dia sudah lama sekali ditinggal pergi.“Kenapa lama sekali pulang!” rengek Mahra dengan manja.“Eh, tadi banyak sekali pekerjaan di sana!” Angga mendekap sang istri. Padahal bukan kali ini saja dia meninggalkan istri untuk keluar kota.“Aku mau makan Abang yang suapin! Soalnya Mamak dan Ayah bau pesing!” jelas Mahra lagi.“Hah bau pesing? Kok bisa?” Angga merasa konyol. Sejak kapan mertuanya bau besing. Toh mereka tidak kerja di pasar ikan.“Abang nggak mau suapin suapin aku?” Mahra malah merajuk. Melepaskan diri dari pelukan. “Abang nggak sayang sama Mahra!”“Hah? Kok merajuk sih? Mau dong. Mana makanannya biar abang suapin!” Angga melihat sekeliling ada piring nasi ta
Pak Muhar tidak mengabari Angga tentang syukuran di rumahnya. Memang Bapak satu anak itu. Tidak suka meminta anaknya pulang jika dia sedang bekerja atau urusan apapun di luar. Dia sangat percaya. Anaknya sangat tahu aturan main. Angga juga tidak begitu merasa sedih ketika ayahnya sangat suka membuat acara syukuran.“Sayang lihat!” Angga menunjukkan stori unggahan Nino di kediaman ayahnya.“Ini kan di kediamana Ayah. Ngapain rame-rame? tanya Mahra.“Ayah ngadain syukuran! Atas kehamilan kamu!” ucapnya dengan sumringah.“Hah! Banyak banget yang di undang?” Mahra melihat lagi video berdurasi tiga puluh detik itu.“Biasanya ayah ngadain syukuran kalau Abang menang tender!” cerita Angga. “Tapi kali ini menang tender juga sih. Tendernya lebih besar malah! Angga mengelus perut sang istri yang masih rata. Karena kehamilannya baru enam minggu.“Kamu bisa aja Bang!” Mahra membelai kepala sang suami. “Aku bersyukur banget bisa dapat mertua seroyal itu dalam bersedekah,” tambah Angga.“Aku juga b
Kehamilan Mahra sudah masuk tujuh bulan selama itu Angga bahkan tidak pernah keluar kota. Dia mempercayai manager-managernya di setiap cabang. Angga selalu memantau perkembangan pembangunan rumah dan perusahaannya. Dia yakin, akan Banda Aceh kota dia menetap terakhir. Kota tersebut yang akan dikenang anak-anaknya sebagai kota kelahiran. Biarlah Bandung hanya kota kelahirannya. Tapi, tidak dengan anaknya. Dia ingin anak-anaknya memiliki pondasi agama yang lebih kuat. Dan Aceh menurutnya, Tempat yang paling tepat untuk membesarkan mereka dengan pondasi syariat islam.Selama kehamilan sang istri dia berusaha semaksimal mungkin untuk merawat Mahra dengan penuh kasih sayang. Apalagi calon dari ibu dari anak-anaknya sangat manja. Dan tidak mau diurus orang lain, selain Angga. Laki-laki yang sedang mempersiapkan diri menjadi seorang ayah tidak merasa kerepotan. Justru sangat senang selalu di sisi sang istri.“Nak yang sabar ya menghadapi Mahra!” Entah berapa kali Bu Meilinda berkata demikian
Lira semakin sering berkunjung ke rumah Pak Muhar. Setiap kali ke Bandung dia selalu ke sana. Bahkan salah satu kamar tamu di rumah megah itu sudah seperti kamarnya. Bahkan dia sengaja meninggalkan barang-barang di sana. Berharap akan berpapasan dengan istri Angga. Tapi, perempuan itu tidak pernah pulang ke sana.“Ayah aku datang!” panggil Lira sembari menuju kamar Pak Muhar.“Maaf Mbak. Tuan sedang tidak ada!” jelas salah satu pelayan yang sedang mengelap guci di dekat kamar Pak Muhar.“Kemana?” tanya Lira penasaran.“Ke Aceh, Mbak.” Pelayan itu hendak melanjutkan pekerjaannya.“Ngapain Ayah setiap bulan ke sana?” tanya Lira dengan raut tidak suka.“Anu Mbak. Istri Mas Angga sudah tujuh bulanan!” jelas Pelayan tersebut. “Wajar lho Mbak. Kan menantu kesayangan!” Pelayan itu sengaja menekan kata kesayangan. Untuk mengejek perempuan di depannya itu.Lira menatap pelayan itu dengan tajam. Tapi, tidak mengatakan apapun. Lalu dia dengan anaknya duduk di ruang tengah. “Ngapain pulak setiap
Semakin sering Lira mengintip kehidupan Angga dan istrinya. Semakin besar pula kebenciannya pada mereka, terutama Mahra. Seakan Mahra adalah pelakor yang merampas kebahagiaannya. Sebenarnya pasangan yang sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka. Tidak sesering itu memposting rutintas mereka di sosial media. Bahkan hampir tidak pernah.Terhitung sejak Mahra hami. Angga hanya sekali memposting feed instagram. Dan dua kali di insta stori.Namun, Lira punya tempat paling up to date melihat keseharian merela. Suster yang merawat Pak Muhar. Perempuan itu kerab membagikan momen dimanapun dia berada. Namanya Saleha. Sebenarnya dia masih keluarga jauh Pak Muhar. Karena keterbatasan ekonomi. Setelah SMA dia menjadi suster Pak Muhar. Belum lama. Semenjak Angga menikah. Dia hanya membantu menyiapkan air dan perlengkapan lain ketika hendak mandi. Membantu menyiapkan pakaian. Karena Pak Muhar bukan stroke. Tapi dia hanya lemah fisik. Untuk mandi, makan, pakai baju bisa dilakukan sendiri. Saleha
“Selamat bayi Bapak dan Ibu kembar!” ucap dokter dengan gembira setelah menampilkan hasil USG di monitor.“Kembar?” pekik Mahra terharu.“Iya, Bu Mahra. Sehat sehat ya. Sampai lahiran!” tambah dokter lagi. Sedangkan Angga masih terpaku, terlena, tidak menyangka.“Mas anak kita kembar!” Mahra menarik tangan suami yang masih terpaku pada monitor. “Mas!” Mahra memanggil suaminya.“Iya, Sayang. Ini beneran nggak sih dok?” Angga masih belum percaya.“Iya. Pak. Calon bayi kalian kembar!” Dokter kembali mengulanginya.Angga seketika melakukan sujud syukur. Hatinya merekah, bagai mendapat emas satu karung.“Alhamdulillah. Bayinya satu laki-laki-laki satu perempuan. Beruntung sekali Bapak dan Ibu!” jelas dokter senior itu lagi.Mereka kembali kegirangan setelah mengetahui gender anak mereka. “Allah maha baik kan sayang!” Angga menggamit tangan sang istri. Di usia mereka yang cukup matang. Dapat kejutan sebesar itu. Bukankah sesuatu yang tak disangka-sangka.Mereka pulang dengan hati gembira. N