Sugeng rawuh Mbah." (Selamat datang Mbah.)
Suara seseorang memecah kekaguman Andira dan Leni, hingga keduanya pun menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria kurus yang mengenakan sarung serta peci terlihat melangkah menuruni tangga. Seikat tasbih yang terbuat dari kayu cendana juga nampak mengalung di telapak tangan kanannya.
Keduanya mengerutkan kening, menatap pria yang terlihat sedikit lebih muda dengan pria berambut putih yang menyambut mereka tadi.
"Mbah? Siapa yang dia panggil Mbah?" Batin Andira.
Seutas senyum nampak tersemat di wajah keriput pria bersarung itu, dia menyadari kebingungan yang dirasakan Andira dan Leni. "Silakan duduk Bu." Ucapnya kemudian.
"Eh, I-iya Pak." Andira terperanjat hingga tersadar dari lamunannya. Dengan bantuan ibu mertuanya, dia kembali memapah tubuh lemah suaminya memasuki rumah megah tersebut.
Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah itu, Bagas kembali mengerang kesakitan. Sel
***Hawa mistis mulai menyelimuti salah satu rumah di Desa Kenanga. Di dalam sebuah ruangan yang bernuansa gelap, seorang wanita berambut ikal terlihat duduk bersila di depan sebuah meja kecil yang penuh dengan berbagai macam sajen yang di perlukan untuk memulai ritualnya.Bau menyengat yang berasal dari dupa yang ia bakar, mulai menyeruak memenuhi ke seluruh ruangan. Suasan ruangan itu pun terasa kian mencekam, kala pencahayaan yang ia gunakan sangat minim yang hanya berasal dari sebuah lampu kecil yang tergantung di langit-langit ruangan tersebut."Kamu pikir, kamu bisa bahagia setelah apa yang kamu lakukan padaku?" Ucap wanita yang tak lain adalah Tari. Sebuah seringai licik pun nampak tersemat di ujung bibirnya.Tangan kanannya kembali bergerak untuk menaburkan dupa pada bara arang yang ada di hadapannya. Lalu ia meraih buntalan kain yang berwarna putih yang ia gunakan untuk membungkus sebuah keris kecil berwarna emas yang ia dapatka
"Bagas!" Leni tak mampu menahan diri saat putra semata wayangnya kini semakin bersikap di luar nalar. Jantungnya pun seolah berpacu semakin cepat lagi, ia tak percaya dengan apa yang di lihat oleh kedua matanya sendiri. Bagas, putra semata wayangnya kini tengah melayang-layang di udara. Kedua matanya berubah menjadi merah dan mendelik tajam ke arah Pak Sungkono. Yang lebih membuat dia terkejut lagi, entah dari mana pak sungkono pun kini terlihat sudah menggenggam sebuah cambuk raksasa yang terlihat bersinar seolah terbuat dari lapisan emas. Terlebih ujung dari cambuk itu tengah melilit di salah satu kaki putranya. Meski begitu, tak nampak rasa sakit sedikit pun di wajah putranya saat ujung dari cambuk itu kini melingkar kuat di salah satu pergelangan kakinya. Yang ada, Bagas malah terlihat menyeringai dan sesekali tertawa cekikikan dengan suara kecilnya yang tergengar lebih mirip sengan suara seorang wanita. Semakin lama didengar, suara cekikikan
"Aku tahu kamu sembunyi di dalam!" Hardik pak Sungkono tajam. Dia kemudian meminta sesuatu pada pak Yo. Lalu pak Yo pun segera memberikan sebuah piring kecil yang terlihat berisi sesuatu di dalamnya. "Ini merica dan minyak zaitun." Paham akan wajah kebingungan Andira dan Leni, Pak Sungkono pun menjelaskan perihal isi piring yang dipegangnya. "Hah. Merica? Buat apa?" Batin Andira. Begitu pun dengan Leni, dia mengerutkan keningnya lantaran juga merasa aneh dengan salah satu bumbu dapur yang pak Sungkono bawa. "Ini bukan merica biasa. Merica ini sebelumnya sudah aku kasi dengan amalan-amalan di dalamnya. Jadi siapa pun yang menyentuh merica ini, dia akan merespon bahkan berteriak karena kesakitan jika memang ada yang tidak beres dengan tubuhnya." Jelasnya lagi pada Andira dan Leni. "Masak iya sih, merica doang bisa ngusir hantu." Batin Leni menatap tak percaya dengan apa yang pak Sungkono jelaskan. "Aaarrggh." Benar saja.
Bruugh. Tubuh Tari terpental kuat hingga membentur tembok dengan sangat keras. Darah berwarna hitam pun menyembur keluar dari dalam mulutnya. Kepulan api serta asap tebal tiba-tiba muncul dan membakar semua sesajen yang ia siapkan sebelumnya. Ukhuk, ukhuk. "Sialan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa biasa aku yang terluka?" Hardiknya kesal. Darah hitam yang membasahi bibirnya pun dia usap kasar dengan tangannya. Dia segera beranjak untuk mengambil APAR yang ia simpan di dapurnya lalu segera memadamkan api yang masih melahap satu-satunya meja yang berada di kamar gelap itu. Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Tari memungut serta membersihkan sisa-sisa puing yang hangus terbakar. Anehnya keris loroboyo pemberian sang pangeran Joko Boyo serta kain kafan yang ia curi dari pemakaman sebelumnya, semua luput dari kobaran api tersebut. Tiitt, tiitt. Bel rumah yang berbunyi membuat Tari terkejut. Dia melirik jam t
Braakk."Astaghfirullah." Bagas terperanjat dari lamunannya. Detak jantung Bagas pun tiba-tiba bermaraton hingga membuatnya mengusap-usap dadanya. Ditatapnya pintu yang tiba-tiba saja terbuka dan menghantam tembok dengan sangat keras itu.Tubuh Bagas seketika termangu di tempat, ia baru saja teringat sesaat setelah pulang dari kediaman pak Sungkono tadi, dia langsung mengunci pintu itu. Lalu sekarang, pintu itu malah terbuka dengan sendirinya.Bagas bergegas beranjak dari duduknya untuk memeriksanya, kalau-kalau ada maling yang berusaha untuk menerobos masuk ke dalam rumahnya. Kedua matanya langsung menyapu area halaman rumahnya, namun tak mendapati siapa pun di sana. Handle pintu rumahnya pun dia cek dan tak ada kerusakan sedikit pun di sana."Aneh, aku yakin pintu ini sudah aku kunci tadi." Gumamnya sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.Semilir angin malam tiba-tiba menerpa tubuhnya yang masih berdiri di
Mentari pun mulai menampakkan parasnya, memancarkan hawa hangat menyelimuti seluruh permukaan bumi. Di salah satu desa di pinggiran timur kota seorang wanita muda terlihat tengah terburu-buru menuruni mobilnya, lalu segera berlari memasuki sebuah rumah bambu yang sederhana. "Mbah, apa yang terjadi?" Tanyanya pada seorang pria tua yang tengah duduk di salah satu kursi ruang tamunya sedang menikmati sebatang rokok yang ia selipkan di antara kedua jarinya. "Sejak awal, kamu selalu terburu-buru." Jawabnya santai pada wanita muda itu, yang tak lain adalah Tari. Sesekali pria tua yang biasa dipanggail mbah Kaji itu terlihat menyesap dan menghembuskan asap rokoknya ke atas. Mendengar penuturan mbah Kaji, Tari berusaha untuk lebih tenang. Dia mendaratkan bokongnya di atas salah satu kursi, tak jauh dari tempatnya berada saat ini. "Begini, aku..." "Aku tau." Sanggah mbah Kaji sebelum Tari berhasil menyelesaikan kalimatnya. "Dia dibantu
Biasan mentari mulai menyurut, malam pun datang kian menyingsing bulan. Tari terlihat sudah siap untuk melancarkan aksi pertamanya. Sesekali dia menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan untuk mengurangi rasa gugupnya. Malam ini adalah kali pertama dia merencanakan tindakan kriminal hingga menyebabkan hilangkan nyawa seseorang. Tapi karena jiwanya sudah diselimuti dengan hawa nafsu serta bisikan setan, Tari pun tak mengindahkan resiko yang mungkin saja bisa merenggut nyawanya karena pasal pembunuhan berencana. Keringat dingin kini mulai memabasahi tangan serta wajahnya. Pakaian serba hitam, topi serta sarung tangan hitam pun sudah melekat di tubuhnya. Jika dilihat sekilas, dia lebih mirip dengan seorang pria. Terlebih selembar masker pun juga ia gunakan untuk menutupi wajahnya dari sorotan kamera cctv yang mungkin akan menangkap pergerakannya. Dengan menaiki sebuah sepeda motor matic sewaan, dia pun memasuki kawasan minimarket. Tari lalu m
Beberapa saat kemudian Tari merasakan tidak ada perlawanan lagi dari gadis itu, ia kemudian melepaskan tangan serta rangkulannya. Bak sebuah karung beras, Tari menyeret tubuh gadis itu ke arah meja yang tak jauh dari tempat dia berada sekarang. Tari lalu mengeluarkan seikat tali tambang yang sebelumnya ia sembunyikan di balik jaket hitamnya. Dengan bersusah payah, Tari mengangkat gadis itu ke atas meja kayu itu. Lalu dia segera mengikat kedua tangan serta kaki gadis itu ke setiap sudut meja masing-masing sisinya, hingga gadis itu pun jadi terlentang dengan kedua kaki mengangkang. Sapu tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk membius gadis itu ia gunakan kembali untuk mengikat bagian mulutnya agar tidak bisa berteriak. Tari lalu mengeluarkan dua buah kantong plastik yang kemudian ia ikatkan di kedua pergelangan tangan gadis itu. Lalu ia duduk di tanah dan bersila untuk memulai ritualnya. Tangan kanannya kemudian mengeluarkan se