Melihat Bagas tergeletak di tanah, ketiga sahabatnya terkejut dan segera berlari mendekatinya. "Bagas bangun, kamu kenapa?" Dion menepuk-nepuk salah satu pipi Bagas, berusaha untuk menyadarkannya. Kedua temannya yang lain pun ikut mengoyang-goyangkan tubuh Bagas, namun Bagas tetap tak merespon.
Tidak hanya itu, pengunjung cafe yang lain pun menjadi ikutan panik mendengar isak tangis Andira, mereka bahkan menghambur mengelilingi tubuh Bagas yang pingsan. Hingga salah satu dari mereka menyarankan agar segera membawa Bagas ke rumah sakit terdekat.
Dion memutuskan untuk menitipkan motornya di cafe dan membawa mobil Bagas, karena hanya dialah satu-satunya orang yang bisa membawa mobil di antara temannya yang lain. Dion segera melajukan mobil Bagas meningkalkan area parkir cafe. Sementara dua temannya yang lain mengikuti mobil mereka dari belakang.
Di kursi belakang, Andira yang memangku Bagas pun masih terus menangis dan mencoba untuk menyadarkan suaminya
Dalam sekejap, cahaya putih itu menarik tubuhnya masuk ke dalam dimensi lain. Ia pun terkejut dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Tempat apa ini?" Gumamnya.Kedua matanya menyapu sebuah ruangan yang sangat luas dengan puluhan pilar-pilar berwarna emas menjulang dengan kokohnya, puluhan patung manusia berkepala buaya pun tak luput dari pandangannya itu. Jika dilihat dengan seksama, ruangan tersebut lebih mirip dengan sebuah istana.Dari kejauhan, ia melihat segerombolan pria bertubuh kekar tengah berkumpul di depan sebuah ruangan. Jika dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mareka lebih mirip seperti para pengawal kerajaan di jaman dulu. Sesekali mereka terlihat berjalan mengitari seluruh ruangan di sana.Tanpa sengaja, pandangan Andira tertuju pada salah satu ruangan yang tertutup rapat. Entah ruangan apa itu, tapi suara hatinya seolah menyuruhnya untuk segera pergi ke sana. Di saat para pengawal itu tengah berkeliling meninggalkan ruanga
Saat Bagas baru tersadar dari tidurnya, dia terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat asing seperti ini, terlebih dalam keadaan kedua tangan yang terikat dengan sangat kuat. Matanya pun terbelalak saat puluhan ekor buaya dewasa mengerumuni dan mengelilingi dirinya yang terikat. Buaya-buaya itu menatap dirinya dengan mulut yang menganga, seolah siap untuk menerkamnya kapan saja. Tidak ada yang bisa Bagas lakukan, apa lagi di saat sosok yang diselimuti asap hitam itu muncul. Jangankan untuk berteriak dan meminta tolong, tubuhnya bahkan membeku dan tak bisa bergerak sedikit pun. Yang bisa ia lalukan hanya menahan rasa perih saat sosok itu menghantam tubuhnya dengan benda yang selalu ia bawa. Benda yang menyerupai sebuah cambuk namun terdapat dua mata pisau yang sangat tajam di ujungnya. Sosok itu juga selalu mengucapkan hal yang sama sebelum menyiksanya. "Karena kamu sudah menolak hatiku, maka tidak ada yang boleh memilikimu. Baik itu diriku atau pun diri
"I-ituu?" Andira terbelalak saat melihat hewan berkaki empat dengan kulit lorengnya, tengah melintas tidak jauh dari tempat mereka berada sekarang."Sssstt." Bagas segera memberi isyarat agar sang istri tetap tenang. Dia mengedarkan pendangannya untuk mencari tempat persembunyian yang aman. "Ikuti aku, hati-hati dengan langkahmu dan jangan mengeluarkan suara." Bisik Bagas pada sang istri."Obornya?" Tanya Andira dengan berbisik juga, dia heran saat melihat sang suami malah mematikan penerangan satu-satunya yang mereka miliki."Ssstt! Tinggalkan saja, itu akan mengundang perhatian harimau itu." Bisiknya lagi, lalu ia segera menggandeng tangan istrinya dan membawanya pergi.Mereka mencoba untuk tetap tenang dan berjalan mengendap-endap, menjauhi si kucing besar itu. "Naiklah." Bisik Bagas menunjuk pohon besar di depannya, namun sang istri malah menggeleng. "Kenapa?" Tanyanya."Aku tidak tahu bagaimana caranya naik."
"HAHAHA.. KALIAN TIDAK AKAN PERNAH BISA KELUAR DARI SINI, SELAMANYA KALIAN AKAN TERJEBAK DI HUTAN TERLARANG INI!" Mendengar suara itu, Bagas dan Andira pun terkejut. Entah dari mana suara itu berasal, suara itu benar-benar membuat keduanya terpaku di tempatnya. Angin malam kian berhembus kencang, menghantam tubuh keduanya hingga dingin semakin menusuk tulang. Suara hewan nokturnal pun saling menderu, membuat suasana malam kian mencekam. "Siapa pun dirimu, aku akan membawa istriku keluar dari tempat terkutuk ini!" Tantang Bagas. Tidak ada jawaban, hanya suara desiran angin malam yang terdengar berhembus di sela-sela pepohonan. Sementara itu, Andira masih tergugu. Suara itu mengingatkan dirinya akan suara teriakan di istana tadi. Bayang-bayang akan puluhan ekor buaya yang sedang mencabik tubuh manusia dengan sangat lahap, kembali tergambar di benakknya. Bagas pun segera menyadari gelagat sang istri yang terlihat cemas, ia menatap wajah sang istri
"Kalian berdua terkena pengaruh akar mimang. Sebuah akar pohon yang merupakan jelmaan mahluk gaib, yang sering menyesatkan orang. Jadi, meski sejauh apa pun kalian berjalan, kalian pasti akan kembali ke tempat semula." Jelas kakek tua itu. Sontak saja kaduanya terkejut mendengar hal itu. Bagas dan Andira saling pandang, tatapan keduanya pun seolah bertanya-tanya akan kebenaran hal itu. "Apa itu benar? Tapi apa yang di katakan kakek itu sama persis dengan apa yang aku alami." Batin Andira. "Lalu, bagaimana caranya agar kami bisa terlepas dari pengaruh akar mimang itu Kek?" Akhirnya Bagas memberanikan diri untuk bertanya. Kakek tua itu nampak berfikir. Beberapa saat kemudian, dia memberikan obornya untuk Bagas dan Andira. "Ambil ini dan berjalanlah mengikuti arah angin." Titahnya kemudian. Keraguan nampak jelas di wajah Bagas. Dia tidak mungkin membiarkan pria setua ini menyusuri hutan sendirian tanpa penerangan apa pun. "Lalu, Kakek sendiri gim
Alunan suara yang di hasilkan dari perpaduan beberapa alat musik seperti bonang, demung, saron, gambang, kenong, slenthem, rebab, gong dan kendang itu mampu mengalihkan perhatian Bagas.Dengan penuh semangat, Bagas menarik tangan sang istri menuju arah suara tersebut. Semakin lama didengar, lantunan salah satu musik ansabel tradisonal itu semakin membuatnya terhanyut.Wajahnya pun berbinar, saat dari kejauhan dia melihat sekumpulan pria dan wanita dari berbagai kalangan usia tengah berkumpul di depan panggung yang berukuran cukup besar. Beberapa orang yang bertugas memukul alat musik juga terlihat asik mengiringi beberapa wanita berkebaya yang sedang memperlihatkan kemampuan menarinya."Lihat, itu pasar malam. Kita ke sana yuk." Ajak Bagas menarik tangan istrinya. "Kenapa?" Tanyanya kemudian, saat sang istri malah menahan tarikan tangannya."Kamu lupa? Bukannya Kakek tua tadi sudah mengingatkan kita agar tidak menghiraukan apa pun yang a
Berada di tengah keramaian pasar malam tersebut membuat hati Andira gelisah. Keanehan yang nampak Andira rasakan, membuatnya segera ingin pergi dari kerumunan itu. Apa lagi saat ibu yang menjual sate menatapnya dengan sangat tajam, seolah tak suka jika Andira membahas sesuatu yang berkaitan dengan pasar malam ini.Andira mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya. Atasan mukenah yang Andira kenakan seolah tak mampu menahan hawa dinginnya malam, padahal tidak ada angin sedikit pun di sana. Kegelisahan yang ia rasakan malah semakin memuncah kala para mengunjunjung pasar malam yang lain menatapnya dengan tatapan sinis.Andira lalu berinisiatif mendekat dan berbisik pada suaminya yang masih lahap menyantap pesanannya. "Pasar malam ini aneh, semua penjual dan pembelinya tidak ada yang bicara." Bisiknya pada Bagas.Braakk.Andira dan Bagas pun terkejut. Keduanya sontak menatap ibu sang penjual sate yang tiba-tiba menggebrak meja mereka.
Andira sudah kehabisan tenaga, rasa sakit yang ia rasakan di lehernya semakin terasa mengerat. Lehernya pun seakan mau patah dalam hitungan detik saja. Sekeras apa pun ia berusaha untuk membaca Ayat-ayat Suci Al-Quran, maka lehernya pun akan terasa semakin sakit dan sesak. Andira tak menyerah begitu saja, dia tetap berusaha untuk berteriak dan menyuarakan asma Allah dalam hatinya."Aaaaaarrrgh..., astaghfirullah." Andira terduduk dan membuka kedua matanya. Nafasnya tersengal-sengal, dia mengedarkan pendangannya ke seluruh sudut ruangan dengan wajah yang heran. Ruangan bernuansa putih dengan satu tempat tidur itu nampak tak asing baginya."Sayang, kamu sudah sadar?" Seorang wanita paruh baya mengalihkan perhatian Andira, wanita itu mendekatinya dengan wajah yang penuh dengan kekhawatiran. "Dokter, Dokter." Teriaknya kemudian.Sementara itu Andira masih terdiam di atas ranjangnya, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit kesadarannya dan berusaha un