Berada di tengah keramaian pasar malam tersebut membuat hati Andira gelisah. Keanehan yang nampak Andira rasakan, membuatnya segera ingin pergi dari kerumunan itu. Apa lagi saat ibu yang menjual sate menatapnya dengan sangat tajam, seolah tak suka jika Andira membahas sesuatu yang berkaitan dengan pasar malam ini.
Andira mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya. Atasan mukenah yang Andira kenakan seolah tak mampu menahan hawa dinginnya malam, padahal tidak ada angin sedikit pun di sana. Kegelisahan yang ia rasakan malah semakin memuncah kala para mengunjunjung pasar malam yang lain menatapnya dengan tatapan sinis.
Andira lalu berinisiatif mendekat dan berbisik pada suaminya yang masih lahap menyantap pesanannya. "Pasar malam ini aneh, semua penjual dan pembelinya tidak ada yang bicara." Bisiknya pada Bagas.
Braakk.
Andira dan Bagas pun terkejut. Keduanya sontak menatap ibu sang penjual sate yang tiba-tiba menggebrak meja mereka.
Andira sudah kehabisan tenaga, rasa sakit yang ia rasakan di lehernya semakin terasa mengerat. Lehernya pun seakan mau patah dalam hitungan detik saja. Sekeras apa pun ia berusaha untuk membaca Ayat-ayat Suci Al-Quran, maka lehernya pun akan terasa semakin sakit dan sesak. Andira tak menyerah begitu saja, dia tetap berusaha untuk berteriak dan menyuarakan asma Allah dalam hatinya."Aaaaaarrrgh..., astaghfirullah." Andira terduduk dan membuka kedua matanya. Nafasnya tersengal-sengal, dia mengedarkan pendangannya ke seluruh sudut ruangan dengan wajah yang heran. Ruangan bernuansa putih dengan satu tempat tidur itu nampak tak asing baginya."Sayang, kamu sudah sadar?" Seorang wanita paruh baya mengalihkan perhatian Andira, wanita itu mendekatinya dengan wajah yang penuh dengan kekhawatiran. "Dokter, Dokter." Teriaknya kemudian.Sementara itu Andira masih terdiam di atas ranjangnya, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit kesadarannya dan berusaha un
Terhitung sudah empat hari berlalu sejak Bagas dirawat di rumah sakit, namun sampai saat ini dokter masih mengalami kesulian untuk menentukan diagnosa apa yang tepat untuknya. Berbagai macam pemeriksaan pun sudah dia lakukan, mulai dari pemeriksaan fisik menyeluruh, pemeriksaan foto rontgen, sampai pemeriksaan elektrokardiogram pun ia lakukan. Namun semua hasil pemeriksaannya tidak ada yang mengarah pada penyakit tertentu. Bahkan hasil grafik aktivitas kelistrikan jantung yang direkam dalam waktu tertentu dalam pemeriksaan EKG (elektrokardiogram) itu pun masih berada di batas normal. Dokter pun putus asa, dia bahkan menyarankan agar Bagas segera di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar saja. Rumah sakit yang memiliki alat dan fasilitas yang lebih memadai dari rumah sakit itu. Namun saat dokter itu konsultasi tentang keadaan Bagas saat ini pada salah satu dokter spesialis jantung di sana, mereka pun angkat tangan. Menurut mereka, kondisi Bagas sa
Seperti biasa saat pagi menjelang, para ibu-ibu komplek selalu berkumpul di depan rumah mereka menunggu seseorang yang selalu membantu mereka untuk mengisi kebutuhan dapurnya, dia adalah mang Jaka si tukang sayur.Sama halnya dengan Leni, dengan mengenakan daster kesukaannya ia sudah nangkring sejak tadi di depan rumahnya untuk menunggu kedatangan si mang Jaka."Pagi Bu Leni, sendirian aja nih? Mantunya nggak ikutan belanja sayur?" Tanya Ningsih yang tiba-tiba saja datang, entah dari mana."Waalaikumsalam, Bu Ningsih. Iya Bu, Dira sudah berangkat kerja tadi pagi." Jawab Leni sambil tersenyum."Oh ya? Si Bagas ke mana? Kayaknya aku sering liat dia di rumah, emang dia nggak ngantor?" Tanyanya. Seperti biasa, sikap keponya selalu saja muncul saat melihat sesuatu yang tak biasa dari para tetangganya."Iyaa Bu. Bagas baru saja sembuh dari sakit, jadi sekarang istirahat dulu di rumah." Jelas Leni."Sakit? Sakit apa? Tapi ak
"Aaahh. Akhirnya selesai juga." Andira mengangkat kedua tangannya, meregangkan seluruh ototnya yang kaku karena lelah seharian bekerja. Meski matahari belum terbenam, tapi Andira sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelumnya dia memang sudah meminta ijin pada Kevin agar bisa pulang lebih awal karena ada kepentingan. Dia segera merapikan barang-barang di mejanya dan membawa semua berkas yang akan dia berikan pada bosnnya.Tok, tok, tok."Masuk.""Maaf Pak, saya mau berikan semua berkas yang berkaitan dengan perusahaan anak cabang." Ucap Andira sopan sembari menyodorkan berkas yang dia bawa ke hadapan Kevin."Hmmm. Letakkan di situ saja, nanti aku periksa. Apa kamu mau pulang sekarang?" Tanya Kevin tanpa menatap sekretarisnya itu."Iya Pak. Apa Bapak butuhkan sesuatu?" Tanya Andira."Tidak ada, kamu sudah boleh pulang." Titahnya kemudian.Setelah mendapat titah dari sang atasan, Andira pun langsung pam
Mentari perlahan mulai terbenam, malam pun kini datang menyambut bulan. Semangat Bagas yang awalnya menggebu-gebu, ingin segera pergi menemui teman ibunya kini tiba-tiba sirna dan digantikan dengan rasa was-was yang kembali menghantui dirinya. Namun Andira dan Leni tetap berusaha untuk membujuknya, hingga akhirnya Bagas bersedia ikut dengan mereka. Mereka memutuskan untuk pergi bertiga karena malam ini Ema harus lembur di kantornya. Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan, ketiganya akhirnya sampai di tempat tujuan. Mereka terkejut, sesaat setelah turun dari mobil mereka malah disambut dengan pemandangan yang membuat seluruh bulu kuduk mereka merinding. Tubuh ketiganya pun membeku menatap sebuah rumah tua yang berukuran cukup besar berdiri tegak di hadapan mereka. "Ibu yakin nggak salah alamat?" Tanya Andira. "Entahlah, tapi jalan dan nomor rumahnya sama kok dengan alamat yang dikirim temen Ibu." Jelas Leni pada anak menantunya. Sejen
Sugeng rawuh Mbah." (Selamat datang Mbah.) Suara seseorang memecah kekaguman Andira dan Leni, hingga keduanya pun menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria kurus yang mengenakan sarung serta peci terlihat melangkah menuruni tangga. Seikat tasbih yang terbuat dari kayu cendana juga nampak mengalung di telapak tangan kanannya. Keduanya mengerutkan kening, menatap pria yang terlihat sedikit lebih muda dengan pria berambut putih yang menyambut mereka tadi. "Mbah? Siapa yang dia panggil Mbah?" Batin Andira. Seutas senyum nampak tersemat di wajah keriput pria bersarung itu, dia menyadari kebingungan yang dirasakan Andira dan Leni. "Silakan duduk Bu." Ucapnya kemudian. "Eh, I-iya Pak." Andira terperanjat hingga tersadar dari lamunannya. Dengan bantuan ibu mertuanya, dia kembali memapah tubuh lemah suaminya memasuki rumah megah tersebut. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah itu, Bagas kembali mengerang kesakitan. Sel
***Hawa mistis mulai menyelimuti salah satu rumah di Desa Kenanga. Di dalam sebuah ruangan yang bernuansa gelap, seorang wanita berambut ikal terlihat duduk bersila di depan sebuah meja kecil yang penuh dengan berbagai macam sajen yang di perlukan untuk memulai ritualnya.Bau menyengat yang berasal dari dupa yang ia bakar, mulai menyeruak memenuhi ke seluruh ruangan. Suasan ruangan itu pun terasa kian mencekam, kala pencahayaan yang ia gunakan sangat minim yang hanya berasal dari sebuah lampu kecil yang tergantung di langit-langit ruangan tersebut."Kamu pikir, kamu bisa bahagia setelah apa yang kamu lakukan padaku?" Ucap wanita yang tak lain adalah Tari. Sebuah seringai licik pun nampak tersemat di ujung bibirnya.Tangan kanannya kembali bergerak untuk menaburkan dupa pada bara arang yang ada di hadapannya. Lalu ia meraih buntalan kain yang berwarna putih yang ia gunakan untuk membungkus sebuah keris kecil berwarna emas yang ia dapatka
"Bagas!" Leni tak mampu menahan diri saat putra semata wayangnya kini semakin bersikap di luar nalar. Jantungnya pun seolah berpacu semakin cepat lagi, ia tak percaya dengan apa yang di lihat oleh kedua matanya sendiri. Bagas, putra semata wayangnya kini tengah melayang-layang di udara. Kedua matanya berubah menjadi merah dan mendelik tajam ke arah Pak Sungkono. Yang lebih membuat dia terkejut lagi, entah dari mana pak sungkono pun kini terlihat sudah menggenggam sebuah cambuk raksasa yang terlihat bersinar seolah terbuat dari lapisan emas. Terlebih ujung dari cambuk itu tengah melilit di salah satu kaki putranya. Meski begitu, tak nampak rasa sakit sedikit pun di wajah putranya saat ujung dari cambuk itu kini melingkar kuat di salah satu pergelangan kakinya. Yang ada, Bagas malah terlihat menyeringai dan sesekali tertawa cekikikan dengan suara kecilnya yang tergengar lebih mirip sengan suara seorang wanita. Semakin lama didengar, suara cekikikan
Cahaya merah mendadak muncul di atas mobil Bagas, sesosok ular besar yang berkepala manusia pun mendadak muncul dan membelit mobil mereka.Kretek, kretek.Mobil pun terdengar mulai meretak saat sosok ular besar itu melilitnya dengan sangat kuat. Andira pun semakin ketakutan sambil meremas jok mobilnya."Ashadualla ilahailallah, wa ashadu anna muhammadarrasulullah."Andira langsung menoleh saat mendengar suaminya mengucapkan syahadat. Namun tiba-tiba ia langsung terbelalak, ketika cahaya putih yang memancar dari tubuh Bagas perlahan semakin menebal dan semakin melebar."Aaaargh!" erangan mahluk-mahluk itu tiba-tiba menggema di telinga keduanya. Tubuh mahluk-mahluk itu seketika hancur menjadi asap, saat cahaya putih itu mulai menyentuh mereka.***Klotak,klotak.Mbah Kaji pun langsung menghentikan ritualnya saat suara lemparan batu, terdengar di atap rumahnya."Pak Kaji, keluar! Kami tidak ingin punya warga seorang dukun! Keluar! Kalau tidak, k
Perlahan Andira mulai membuka kedua matanya ketika Ia baru saja sadar dari pingsannya. ia pun langsung meringis ketika pusing tersa di kepalanya. Beberapa saat kemudian kedua matanya pun langung terbelalak, saat mendapati dirinya dalam keadaan terikat di atas meja dan di kelilingi taburan bunga."Mmm... Mmm..."Andira pun berusaha meronta dan melepas ikatannya. Namun ikatannya sangat kuat, dia juga tidak bisa berteriak karena mulutnya tersumpal. Seketika Andira langsung menangis ketakutan, ketika puluhan mahluk menyeramkan tiba-tiba mengelilingi dirinya. Meski sebelumnya dia sudah terbiasa dengan mereka, entah kenapa kali ini dia merasa berbeda.Tubuhnya pun langsng gemetar ketika salah satu makluk meyeramkan itu tiba-tiba menjilati bagian perutya, seolah tak sabar akan menikmati makanan yang sangat lezat.Brak!Pintu ruangan tiba-tiba terbuka paksa, bersamaan dengan pintu yang terbuka, semua mahluk menyeramkan itu juga mendadak menghilang seketika. Bagas pu
"Mereka lagi bahas apa sih! lama amat." keluh Dion kesal. Ya, setelah ia memberikn alamat Andira pada Tari, entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang. Dan seharian ini pun, dia terus mengikuti kemana Tari pergi kalau-kalau dia sampai berbuat sesuatu yang nekat pada Andira.Hingga malam hari tiba, Tari pun akhirnya benar-benar menemui Andira. Namun ketika Dion menunggunya di sudut jalan tak jauh dari rumah Andira, Tari malah tak kunjung keluar dari rumah Andira. Dion pun semakin merasa gelisah, ingin rasanya ia langsung masuk ke sana dan langsung membawa Tari pergi dari sana. Namun semua itu tidak mungkin, karena Andira akan merasa curiga padanya.Hingga sekian lama Dion menunggu, mobil Tari tiba-tiba terlihat keluar dari rumah Andira. Ketika mobil itu melaju dan melewati dirinya, seketika itu juga Dion pun langsung tersentak, saat tanpa sengaja kedua matanya melihat Andira tak sadarkan diri di jok belakang mobil Tari.Dion pun langsung bergegas mengikuti mobil
Pagi harinya, Tari tiba-tiba memanggil Dion ke ruangannya dan Dion pun dengan sangat terpaksa menurutinya. Dengan langkah kaki yang berat, ia mengikuti langkah kaki Tari yang sedang menuju ruang kerja pribadinya."Duduklah." titah Tari."Tidak perlu basa-basi, cepat katakan apa maumu?" Ketus Dion dengan nada kesalnya.Tari langsung menghentikan langkahnya. "Tolong jaga sikapmu! Ini kantor, jadi hargai aku sebagai atasanmu." ucap Tari yang langsung menatap tajam ke arah Dion.Seketika, Dion pun langsung terbungkam. Meski sebenarnya di dalam hatinya ia masih menggerutu kesal pada wanita yang sedang berada di hadapannya saat ini.Tari mengambil nafas dalam, lalu kemudian ia mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesaranya. "Aku ingin tahu tempat tingga Andira yang baru." ucapnya kemudian.Seketika, Diaon langsung mendongak lalu ia menatap tajam ke arah Tari. "Aku tidak tahu!" ketusnya seketika."Hahaha..." Tari pun langsung tergelak, lalu kemudian wajahn
Seketika, penglihatan itu langsung menghilang dan membawa Bagas kembali ke tempat semula."Yang lalu, biarlah berlalu Nak. Sekarang, waktunya untuk kamu memperbaiki segalanya." Bagas langsung menoleh, dan menatap kakek buyutnya. Ia pun bertanya-tanya, apa maksud dari memperbaiki segalanya. "Maksudnya apa Kek? tanyanya kemudian."Kemarilah Nak." sang kakek melambaikan tangan, menandakan agar Bagas semakin mendekat padanya.Bagas pun menurut dan perlahan mulai mendekati kakeknya. Tiba-tiba, tangan kanan sang kakek terangat dan langsung menyentuh pucuk kepalanya. Dan seketika, pucuk kepalanya pun langsung terasa sejuk, di mana semakin lama rasa sejuk itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku titipkan ilmuku padamu, jaga baik-baik dan gunakanlah untuk membatu sesama." titah sang kakek yang kemudian melepaskan tangannya dari pucuk kepala bagas. "Sekarang, bersiaplah. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Segera bersihkan tubuhmu dan langsung ambil w
Malam harinya, Bagas pun bisa bernafas lega saat ia bisa melaksanakan kembali, ibadah yang selama ini dia tinggalkan. Meski di bagian dadanya masih terasa sedikit nyeri dan punggungnya pun juga masih terasa sangat berat, tapi setidaknya ia masih bisa menahannya dan melakukan ibadahnya sampai selesai.Tinggal seorang diri seperti ini, membuat Bagas merasa kesepian. Ia rindu gelak tawa wanita yang selama ini sabar mengahadapinya. Ia rindu semua ocehan yang keluar dari bibir manisnya. Rindu saat dia berteriak kesal, saat ia terus saja mengusili dirinya. Bagas pun tersenyum saat mengingat semua itu.Setelah melaksanakan sholat isya', Bagas hanya menghabiskan waktunya dengan berdzikir dan mengaji. Semenjak ia membuang barang-barang pemberian dari pak Soleh, tidak ada lagi mahluk gaib yang menggangu atau pun menampakkan dirinyanya.Bagas kini bisa melakukan aktifitasnya seperti sedia kala. Hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, Bagas pun mulai m
"Kurang ajar! Bagas berhasil mematahkan mantra pengunci kita." pak Soleh langsung emosi saat dia sadar, semua benda-benda pemberiannya telah Bagas buang."Bagaimana mungkin, dia sampai tahu? Bukannya selama ini, kita sudah behasil memanipulasi pikiran dia?" ucap Tari yang juga ikut kesal. Keduanya kini duduk bersila, di ruangan khusus yang biasa pak Soleh gunakan untuk melakukan ritualnya. "Dia bukan pria sembarangan!"Suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Keduanya pun lantas menoleh dan mendapati seseorang yang mereka kenal, sudah bediri di sana."Akang?" pak Soleh langsung beranjak dari duduknya dan menyambut kedatangan saudara tertuanya itu."Sepertinya kita salah orang untuk saling mengadu ilmu." ucap mbah Kaji yang kemudian ikut bersila dan bergabung dengan mereka. "Dia bukan keturunan orang biasa. Leluhurnya yang dulu, kini datang untuk mewariskan semua ilmunya." jelas mbah Kaji lagi."Leluhurnya?" tanya pak Soleh yang langsung meng
Amin yang merasa dipanggil namanya, langsung berhenti seketika. Ia lalu menoleh dan langsung menunduk saat Bagas trlihat menghampirinya."Bang Amin, kenapa?" tanya Bagas terheran."Maaf, tadi saya hanya pergi memancing saja. Ini sudah mau pulang."ucap Amin dengan gugup. Ia kemudian langsung berbalik dan hendak pergi dari sana. Namun tiba-tiba, langkahnya langsung terhenti saat Bagas menahan bahunya."Ampun Pak, saya nggak ngapa-ngapain kok." ucap Amin lagi dengan tubuhnya yang sudah gemetar."Bang Amin kenapa sih! Aku kan hanya ingin minta tolong." balas Bagas.Seketika Amin langsung menoleh, ia juga langsung menelisik dan menatap Bagas dari atas sampai ujung kaki. "Ini beneran Pak Bagas, 'kan?" tanyanya kemudian."Bang Amin ini ngomong apa sih! Masak iya, aku hantu." ucap Bagas lagi."Alahmudillah Pak, ini beneran bapak?" Amin langsung berhambur dan memeluk Bagas. "Bang Amin jadi bantuin saya, nggak?" tanya Bagas lagi."Eh. Jadi Pak, jadi."
Setelah Andira resmi bercerai dengan suaminya, kehidupan Andira kembali berjalan seperti biasanya. Dia juga sudah kembali bekerja dengan Kevin. Meski ia masih kerap mengalami gangguan-gangguan mistis di rumahnya, namun entah kenapa ia menjadi tak takut lagi. Mereka pun juga tidak pernah menyakitinya lagi. Kini Andira pun menjadi lebih sering merasakan hal-hal gaib di sekitarnya. Meski begitu, saat ia mengabaikan dan pura-pura tidak melihatnya, sosok yang tiba-tiba menampakkan diri padanya, langsung menghilang begitu saja. Seperti saat ini pun saat ia tengah makan siang bersama Kevin, sosok wanita yang memiliki lidah panjang, tiba-tiba menampakkan diri di atas meja makannya. Sosok yang berwajah runcing dengan kedua mata dan telinga yang lebar itu terlihat menganga, air liurnya pun jadi menetes dan mengalir ke piring makanan yang tersaji di hadapannya. Seketika Andira pun langsung merasa mual. Ia juga langsung menutupi mulutnya saat sesuatu terasa mengaduk-aduk isi lamb