Happy Reading*****Keduanya diam dalam keheningan sampai di depan klinik. Sebelum turun dari mobil, perempuan itu menyempatkan mencium pipi suaminya. "Semoga suamiku ini nggak akan berbuat seperti dalam berita tadi," bisik Risma di telinga sebelah kiri suaminya. Susah payah Riswan menelan ludahnya sendiri. Namun, dia tak menjawab apa pun, hanya diam dan segera menjalankan mobil ketika istrinya sudah turun. Sepanjang perjalanan, Riswan merenungi bisikan istrinya. Niat hati, setelah mengantar Risma ke klinik akan meluncur ke warung diurungkannya. Riswan menjalankan mobilnya ke arah taman kota. Memarkirkan mobilnya pada sisi kiri taman kota yang searah dengan jalan ke warung satenya. Riswan turun dan menghirup udara sebanyak mungkin. Sedikit banyak, perkataan Risma tadi mempengaruhi pikirannya. Ucapan sang istri seolah dirinyalah yang sedang dibicarakan bukan berita pada internet. 'Ketika hatimu gelisah dan sedang sangat ingin melakukannya, maka alihkan pada hal-hal positif. Berola
Happy Reading*****Risma menggelengkan kepala tak percaya. Sementara dua lelaki di depannya yang sedang bercanda saling pandang. Ada apa dengan Risma? Begitu pikiran mereka. "Sayang, ada apa?" tanya sang suami, tetapi tatapan mata Risma malah terlihat aneh. Seperti sedang menguliti tubuh Riswan. Dari atas sampai ke bawah, Risma membulatkan bola mata. "Ris, kamu baik-baik saja?" Kali ini Farel buka suara. Sang dokter merasa sangat aneh dengan sikap istri sahabatnya. 'Nggak mungkin Mas Riswan ngelakuin itu. Dia lelaki yang taat agama. Didikan Ayah mertua sangat ketat terutama masalah akhlak dan tuntunan syariat. Apa yang dijelaskan Septi jelas sesuatu maksiat dan sangat dilarang. Ya, Allah.' Risma berkata dalam hati disertai helaan napas. Tak menggubris pertanyaan dua lelaki di depannya. Saat makanan yang mereka pesan datang, Risma langsung mengambil jus jeruk dan meminumnya hingga tersisa seperempat gelas. Riswan menatap Farel, bingung. Tangan Riswan mengoyang lengan Risma dan be
Happy Reading*****"Lho, Ris. Kok, malah nangis?" Iklima memeluk Risma. Memindahkan putrinya pada kereta dorong yang dibawanya tadi. Dalam pelukan Iklima, perempuan dengan kulit kuning langsat itu malah sesenggukan. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mbak. Saran kamu kemarin, aku sudah ikuti dan hasilnya aku malah semakin nggak tahu kenapa Mas Riswan berbuat seperti itu," kata istri Risma terbata di antara tangisannya. "Sudah... sudah. Jangan nangis di sini. Kalau ada pasien yang lihat kan malu." Iklima mengurai pelukan mereka. Mendekati gagang telepon dan menghubungi Farel setelah bertanya nomor interkom ruangan lelaki itu pada Risma. "Kita ke ruangan Farel saja. Dia lagi free di kantornya," ajak Iklima pada Risma. "Tapi, Mbak. Septi belum datang lagian bentar lagi Mas Riswan pasti jemput." Isakan Risma masih terdengar sesekali. "Tunggu sebentar, aku mau nyari perawat buat bantuin kerjaanmu." Iklima keluar dan memanggil salah satu perawat yang tidak bertugas. Setelah itu dia
Happy Reading*****"Ish. Kenapa perkataanmu membuat Risma jadi berpikir negatif, sih?" Iklima memukul lengan Farel, kesal juga dengan mulut ember lelaki itu. "Sakit, Ma. Kamu nggak ngira-ngira kalau mau mukul," adu Farel, "apa yang aku katakan bener, kan. Kamu tahu persis gimana sejarah kisah mereka. Masak nggak inget? ""Inget, tapi yang nggak kamu tahu adalah hati Riswan sebenarnya. Dia itu nggak pernah cinta sama Yustina, hanya sebatas kasihan saja. Dah, ah. Antar aku pulang, ya," pinta Iklima manja yang membuat Farel tersenyum dan menyipitkan mata. "Emang naik apa ke sini?""Naik ojol. Riswan nggak kira-kira kalau minta tolong, tapi kalau nggak ke sini aku nggak bakal tahu masalah rumah tangga mereka sebenarnya." Iklima berdiri, mendorong kereta putrinya. Farel jadi berpikir, begitu khawatirnya Riswan pada sang istri hingga meminta sahabatnya mencari tahu sebab kesedihan Risma sejak tadi. Ternyata Riswan bucin juga. Farel tersenyum memikirkan sahabat masa kecilnya itu. "Kenap
Happy Reading*****Riswan diam mematung menyaksikan dan mendengar perkataan istrinya. Tak pernah menyangka Risma seberani itu mengungkapkan kekesalan hati. Seorang perempuan itu adalah makhluk Tuhan paling unik. Sanggup menyimpan cinta selama bertahun-tahun lamanya, tetapi tak akan pernah sanggup menyembunyikan cemburu walau sedetik saja. Kali ini, Riswan bisa melihatnya dengan jelas. Risma melirik suaminya yang diam mematung. Mengambil tangan kanannya dan mengajak pergi. "Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku nggak mau sampai ada keributan," ucapnya pada sang suami. "Ayo." Riswan mengikuti langkah istrinya. Tanpa pamit pada Yustina, mereka pergi meninggalkan acara syukuran. Kurang dari tiga puluh menit, pasangan muda yang belum dikaruania anak itu sampai di rumah. Risma masuk kamar sedangkan Riswan duduk di depan televisi. Lelaki itu masih berpikir kejadian beberapa waktu lalu di rumah Yustina. "Apa masalah Yustina yang menyebabkan Risma sejak tadi terlihat khawatir," kata lelaki
Happy Reading*****"Ngapain juga mesti bohong, Yang. Kamu tahu sendiri Mas tadi keringetan. Kalau langsung tidur dan nggak mandi, ya, nggak enak." Riswan mengambil pengering rambut. Berdoa dalam hati semoga Allah mengampuni segala dosanya. Setelah mengeringkan rambutnya, Riswan merebahkan diri di samping sang istri. Sekejap saja, dengkuran halus terdengar oleh indera Risma. Cepat sekali lelaki itu terlelap padahal istrinya ada di sebelahnya, tetapi kehadiran Risma seolah tak pernah ada. Diam-diam perempuan itu mengamati wajah Riswan. "Aku masih nggak ngerti kenapa kamu bisa mengirimkan, chat seperti itu, Mas. Padahal ada seorang istri yang siap melayani segala kebutuhanmu. Mengapa malah mencari sesuatu yang semu?"Lama mengamati wajah suaminya, mata Risma pun meredup. Menutup sempurna, mengistirahatkan tubuh dan pikiran. *****Pagi yang cerah dengan suasana hati yang tak karuan. Risma membereskan semua perlatan masak dan pekerjaan rumah lainnya. Setelah kepergian Riswan untuk beke
Happy Reading*****"Kamu mau ke dengan koper itu, Yang?" Riswan menarik koper dan tas yang di bawa istrinya. Membawanya masuk ke dalam rumah. Pergelangan tangan Risma di tarik juga. Lelaki itu sedikit emosi. Oke, dia memang terlambat pulang tadi karena ada orang yang reserved pada warung sate mereka untuk mengadakan acara. Setengah jam, waktu yang dipakai Riswan menjamu konsumennya. Apakah segenting itu permasalaham mereka hingga Risma akan pergi dari rumah? "Nggak usah tarik-tarik, sakit, Mas. Aku jijik lihat kelakuanmu selama ini." Risma berusaha melepas peganggan tangannya. Dia hampir saja menggigit tangan Riswan seandainya suaminya itu tidak melepas pegangan. Tangan Riswan melepas peganggannya. Bukan karena rasa sakit yang dikeluhkan Risma, tetapi akibat mendengar kalimat terakhir yang terucap tadi. Dia membulatkan mata secara sempurna. "Jijik katamu? Apa yang Mas lakukan hingga kamu tega mengatakannya?" Riswan menatap tajam istrinya. Menghempaskan barang-barang yang dibawa R
Happy Reading*****Menghela napas sebentar, Riswan berkata menjawab pertanyaan mertuanya. "Mas, mau keluar kota melihat pembangunan warung sate cabang ketiga, Yah.""Kenapa istrimu nggak diajak saja, Mas? Akan lebih baik jika kamu bepergian dalam waktu yang lama bersama istri." Ada nada khawatir yang ditangkap oleh indera pendengaran dari ucapan Lutfi. "Pengennya ngajak Dik Risma, Yah, tapi takut dia nggak mau dan nggak betah. Di sana, Mas, bakal sering berada di proyek pembangunan. Mengawasi langsung semua tukang-tukangnya." Putra tunggal Fadil itu berharap mertuanya tak bertanya lagi. Dia sudah sangat kesulitan memberikan alasan. "Ya, sudah kalau gitu, Mas. Hati-hati kerjanya. Jaga harga diri dan posisimu sebagai suami. Jangan sampai Ayah denger hal-hal buruk tentangmu," nasihat Lutfi pada menantunya. Setelah mendengar salam perpisahan, sambungan telepon mereka berakhir. Riswan meletakkan ponselnya ke sembarang tempat. Menyandarkan diri pada sofa dan memeijit pelipisnya. Mengapa
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw