Vanika dengan kesal memandang rintik-rintik hujan yang semakin lama semakin deras di balkon sekolah. Lima belas menit sudah berlalu sejak bel pulang berbunyi. Beberapa saat lalu Pak Dani menelepon kalau beliau tidak bisa menjemputnya karena ada urusan mendadak di kampung halaman beliau. Lebih buruk lagi tidak jauh dari tempatnya berdiri ada Jimmy, laki-laki yang sangat dia kagumi. Pemandangan Jimmy yang sedang mengobrol dengan pacar barunya membuat Vanika semakin merasa bad mood.
Siapa yang tidak mengagumi Jimmy Mahardika? Dia kapten tim sepak bola sekolah, rambutnya keren, tubuhnya proporsional, wajahnya sangat boyish, dan dia merupakan ranking 2 di angkatan. Dia juga terkenal karena aktif di chemistry club. Pacarnya pun terkenal karena berparas cantik dan disukai banyak orang. Sungguh pasangan yang serasi.
Vanika berbalik badan dan menghela nafas. Angin berhembus menerpa rambutnya. Seorang laki-laki dengan seragam yang berantakan berlari ke arahnya. Beberapa butir keringat mengalir dari dahinya.
“Vanika! Aduh maaf, aku gak bisa pulang bareng kamu soalnya ada kegiatan tambahan di math club untuk kelas 10,” laki-laki itu berkata dengan terengah-engah.
“Yahhh, Tar. Terus gimana dong?”
“Tenang, ada teman aku dari kelas sebelah yang pulangnya searah dengan kamu. Kalian naik transportasi umum saja. Naik angkot. Kamu diam di sini nanti dia lewat sini kok. Aku langsung pergi ya. Bye!” Akhtar langsung berlari meninggalkan Vanika sambil melambaikan tangan.
“Eh, Tar! Tunggu!” panggil Vanika.
Akhtar semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Akhtar merupakan sahabat karibnya sejak kecil. Vanika melihat ke atas langit. Hujan mulai reda dan langit mulai terlihat cerah. Tidak lama kemudian seorang laki-laki bertubuh tinggi semampai datang menghampirinya. Vanika menelan ludah.
“Kamu Vanika?” tanya laki-laki itu.
Kebanyakan orang memanggil laki-laki ini ‘si nomor 1’ karena nilainya selalu berada di urutan paling atas. Tinggi badannya 180cm, wajahnya terkesan dingin, dan ia juga merupakan penggemar berat fisika. Cara berpakaiannya super rapi dan ia juga memakai jas almamater yang membuatnya terlihat seperti tokoh dari komik atau anime. Bahkan, kedua mata di balik kacamatanya terkesan tajam sekali.
“Inilah Hayden Irawan,” pikir Vanika.
“Kamu Vanika Xavera Tedja?” tanya Hayden dengan sedikit membungkuk
“Oh, eh, ya,” jawab Vanika dengan gugup.
“Ayo pulang,” ajak Hayden dengan datar dan langsung berjalan dengan cepat.
Tidak ada sapaan atau perkenalan, hanya ajakan pulang. Vanika mengikuti Hayden. Kaki-kaki rampingnya sedikit berlari karena langkah-langkah Hayden begitu panjang. Udara sore itu begitu dingin dan angin menerpa rambut Vanika yang terurai sampai bahunya. Mereka terus berjalan sampai sebuah jalan raya yang ramai. Mobil-mobil melaju dengan sangat cepat.
“Sayang sekali di sini belum ada jembatan penyeberangan. Jadi, kita harus menyeberang ke seberang sana,” Hayden berkata sambil menunjuk ke seberang jalan.
“Serius?!” tanya Vanika.
“Kamu pikir aku bercanda?” jawab Hayden yang langsung berpindah ke sebelah kanan Vanika dan menggenggam lengannya.
Cukup seram menyeberang jalan seramai itu. Lalu mereka langsung menaiki angkutan kota yang baru saja berhenti. Penumpangnya hanya mereka berdua dan situasi begitu canggung bagi Vanika. Ia duduk tepat di belakang sopir dan Hayden duduk di sudut belakang. Mobil mulai melaju dengan cepat. Hayden membuka kacamatanya dan memasukkannya ke dalam saku jas. Itu pertama kalinya Vanika melihat Hayden tanpa kacamata. Matanya sipit dan tajam. Ia menatap jalan dari kaca belakang mobil. Wajahnya begitu tenang.
“Kamu turun di mana?” tanya Vanika yang berusaha mencairkan suasana.
“Sekitar 3 menit dari perempatan,” jawabnya dingin.
“Oh, gak jauh dari tempat aku turun nanti ya?”
Hening, tidak ada jawaban atau sahutan. Ah laki-laki ini menyebalkan sekali, pikir Vanika. Tidak lama kemudian Vanika meminta sopir untuk berhenti dan ia melihat ke arah Hayden.
“Aku duluan ya,” ucap Vanika dengan senyum.
“Ya,” jawab Hayden singkat. Seperti biasa. Tidak ada senyum pada wajahnya.
“Ah, menyebalkan sekali,” pikir Vanika sambil menuruni mobil.
Mobil melaju dan wajah Vanika mulai cemberut. Hayden Irawan. Banyak yang berkata dia itu digandrungi banyak gadis di sekolah.
“Setampan apapun seseorang kalau tidak ramah tidak ada apa-apanya,” omel Vanika sambil berjalan menuju rumah.
Rumah selalu menjadi tempat yang menyenangkan, tapi rumah ini terkesan sangat dingin. Papa dan mama Vanika berpisah beberapa tahun lalu. Tepat saat Vanika berusia 10 tahun. Sejak saat itu papa menetap di kota lain, sedangkan mama dan anak-anak tetap tinggal di kota ini.
Tidak banyak hal yang berubah. Papa terkadang datang berkunjung dan mama masih tetap menjadi seorang workaholic yang sering bepergian ke luar kota. Dia sering berdua di rumah dengan adiknya yang bernama Clarissa. Clarissa bertubuh tinggi dan gagah. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun ia memiliki tinggi badan 168cm. Ia juga merupakan seorang atlet panahan.
Vanika menghempaskan diri di sofa. Tidak lama kemudian Clarissa pulang dengan membawa sebuah jas yang dibuat seperti kantung. Jas itu terlihat tidak asing. Jas berwarna abu-abu tua itu terlihat sangat familiar.
“Apa itu? Kenapa pakai jas? Jas punya siapa itu?” tanya Vanika penasaran.
“Tunggu tunggu sabar pertanyaannya banyak banget,” jawab Clarissa sambil menaruh ranselnya dan duduk di dekat Vanika.
“Ok, begini. Tadi aku mampir ke supermarket untuk beli apel. Di jalan tadi kantung plastiknya robek karena gak kuat jadi apelnya jatuh kemana-mana. Untung tadi ada laki-laki. Anak SMA. Dia langsung buka jas almamaternya dan dijadikan kantung untuk bawa apel-apel ini,” sambung Clarissa.
Vanika mencuci dan membereskan apel-apel itu juga memperhatikan jas almamater berukuran XL itu.
“Oh ya, aku lupa kasih tahu. Laki-laki tadi yang tolong aku itu satu almamater sama kamu. Coba check logonya,” Clarissa memberitahu kakaknya sambil menganbil satu apel dan memakannya.
“Siapa namanya? Dia pasti akan butuh jas ini, Clar. Atau kamu punya kontak dia?”
“Ya ampun! Bodohnya aku! Aku lupa! Yahh, gimana dong?” Clarissa menarik-narik tangan Vanika.
“Ish gimana kita bisa tahu. Kenapa kamu bisa lupa? Ahhhhh Clarissa,” Vanika berusaha melepaskan pegangan tangan adiknya.
“Pokoknya dia tampan dan tinggi! Mungkin sekitar 180cm. Dia kelihatannya buru-buru,”
“Ish gimana bisa aku tahu kalau yang kamu ingat cuma tampan. Memang sama sekali gak ada gambaran yang jelas?” protes Vanika.
Clarissa menggelengkan kepalanya dan Vanika mencubit pipinya dengan keras.
***
Keesokannya, Vanika datang ke sekolah dengan tubuh yang menggigil. Pagi itu memang hujan deras dan kebanyakan anak memakai jumper yang tebal. Di kelas sudah ada beberapa orang yang hadir. Yoga selalu paling awal datang ke sekolah. Ia sudah stand by dengan laptop di depannya. Tidak lupa ada beberapa cemilan di sebelah kiri laptop miliknya. Wajahnya pucat karena terlalu sering menonton anime. Bahkan, seringkali dia menonton anime di saat jam pelajaran. Di depan Yoga ada Arvin yang sedang sibuk dengan buku sketsa miliknya. Kedua kakinya lurus di atas kursi yang dirapatkan. Ia juga memakai sandal hotel. Arvin menyadari kehadiran Vanika dan membetulkan kacamatanya.
“Pagi Van!” sapanya dengan senyum lebar.
“Pagi juga, Vin. Mana sepatumu?” tanya Vanika.
“Tuh ada,” jawab Arvin sambil menunjuk sepasang sepatu yang disimpan di sudut belakang kelas. Lalu tangannya beralih ke salah satu cemilan milik Yoga dan merebutnya.
“Hey balikin!” seru Yoga bangkit dari kursinya dan menghampiri Arvin.
“Ish ish ish,” Vanika berlalu menuju kursinya dan duduk sambil menyaksikan Yoga dan Arvin yang berebut makanan seperti anak kecil.
Tidak lama kemudian Akhtar berlari ke dalam kelas dengan ransel super besar dan dua buah tas berukuran besar yang berisi barang dagangannya. Tubuh Akhtar tidak begitu tinggi. Mungkin sekitar 163cm dan tepat 3cm lebih tinggi dari Vanika. Namun, senyum dan keramahannya membuat ia menjadi orang yang disenangi banyak orang. Akhtar menyimpan semua barangnya di atas meja belajarnya dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Rambutnya berantakan dan tubuhnya berkeringat.
“Duh! Capek!” seru Akhtar sambil mengambil nafas panjang dan membuangnya dengan keras.
“Istirahatlah, Tar. Pagi-pagi begini kamu sudah berkeringat,” ujar Vanika.
“Setiap pagi harus penuh semangat dong, Van,” balas Akhtar. Tiba-tiba ia membalikan tubuhnya menghadap Vanika.
“Eh, gimana kemarin? Dia menarik ‘kan? Dia baik ‘kan? Dia itu terkenal loh. Apa jangan-jangan kamu diantar dia sampai ke rumah?”
“Ah siapa yang diantar? Dia itu ah,,, keterlaluan. Jutek sekali. Bahkan kalau dia bicara tuh singkat, padat, dan menyebalkan” keluh Vanika dengan wajah cemberut.
Akhtar tertawa keras mendengar keluhan Vanika
“Eh Van, sebenarnya dia itu orangnya baik loh. Mungkin dia malu atau… gugup?”
“Mana aku tahu. Pokoknya dia itu jutek mungkin di aliran darahnya ada air lemon ya Tar?”
“Hus, daripada kita bicarakan dia mending kita bicarakan rencana liburan kenaikan kelas. Kamu rencana mau liburan ke mana?” tanya Akhtar.
“Sepertinya gak akan kemana-mana,” jawab Vanika.
“Ada Akhtar?” tanya sebuah suara dari arah pintu.
Tidak lama kemudian Hayden masuk dan menghampiri Akhtar. Akhtar memberikan satu kotak makanan. Akhtar memang sering menerima pesanan makanan terutama menu sarapan pagi.
“Tumben gak pakai jas almamater? Tumben juga gak pakai kacamata,” tanya Akhtar.
“Ketinggalan di rumah,” jawab Hayden.
Vanika mencoba memperhatikan percakapan mereka. Hayden tidak pakai jas almamater itu sesuatu yang aneh atau mungkin pemilik jas almamater itu Hayden? Masalahnya tadi dia berkata kalau jas itu tertinggal di rumah atau dia bohong?
Hayden melihat ke arah Vanika.
“Hey,” sapa Hayden.
“Hai,” balas Vanika tapi Hayden sudah pergi dengan membawa pesanannya
“Tuh kan sudah aku bilang. Dia ramah,” ujar Akhtar.
“Ramah apanya? Dia bahkan pergi waktu aku jawab sapaannya.” protes Vanika.
Akhtar tertawa mendengarnya “Baiklah, aku pergi berjualan dulu ya,” seraya membawa barang-barang dagangannya keluar dari kelas.
***
Sore itu Vanika berbaring dengan gelisah di ranjangnya. Siapa pemilik jas almamater itu? Vanika mencoba mengingat hal yang mungkin akan membantunya. Ah itu! Kacamata! Seingatnya Hayden sempat melepas kacamata dan memasukkannya ke dalam saku jas. Vanika langsung berlari ke ruang tempat cuci baju. Di situ ada Clarissa yang sedang memisahkan beberapa pakaian untuk dicuci.
“Tunggu tunggu tunggu!” teriak Vanika berlari ke arah adiknya.
“Ehhh kenapa?” ujar Clarissa yang terkejut dengan kedatangan kakaknya.
Vanika mencoba mencari jas almamater yang tertindih oleh beberapa baju lainnya. Ia memasukkan tangannya ke dalam salah satu saku. Kosong! Bukan, bukan yang ini. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku yang lainnya. Ada! Vanika mengeluarkannya dengan raut wajah bahagia.
“Clarissa! Aku tahu siapa pemilik jas almamater ini!” seru Vanika pada adiknya. Lalu ia berbalik dan berlari ke kamarnya.
“Dia kenapa sih,” ujar Clarissa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan kegiatannya.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sebagian besar orang pergi berlibur. Clarissa mengajaknya untuk pergi ke taman. Pada saat itu cuaca sangat cerah dan ada beberapa orang tua sedang bersantai dekat kolam ikan. Vanika duduk di sebuah bangku panjang yang tidak jauh dari kolam. Clarissa melakukan peregangan dan mulai berlari mengelilingi taman. Clarissa terlihat gagah dengan rambut ponytail yang bergerak ke kanan dan kiri seperti ekor kuda.
Vanika mengeluarkan suatu benda dari saku kemejanya. Kacamata milik Hayden. Ya, ia yakin 100% itu milik Hayden.
“Mungkin nanti aku kembalikan saat hari pertama masuk sekolah,” pikirnya.
Ia membersihkan lensanya dengan lap kacamata milik Clarissa. Penglihatan Clarissa memang tidak terlalu baik. Dokter pun sering menegurnya karena jarang memakai kacamatanya, tapi tetap saja kacamatanya selalu tersimpan rapi di meja belajarnya. Sekali dipakai pun pasti langsung pecah atau patah.
Vanika mengelapnya dengan hati-hati. Dia mencoba memakainya. Sangat buram. Ternyata penglihatan pemilik kacamata ini terbilang buruk. Ia melihat kanan dan kiri. Tidak jauh dari tempatnya ada seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan celana training dan kaus putih berjalan mendekat. Rambutnya diterpa angin dan itu membuatnya terlihat lebih keren.
“Hayden Irawan?” Vanika mencoba melihat dengan jelas.
“Kenapa dia mendekat?” pikirnya.
Jantungnya berdegup kencang melihat sosok laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya.
Vanika dengan cepat melepas kacamata itu, melipatnya, dan memasukannya ke dalam saku kemeja. Hayden berjalan mendekatinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah buku karya William Shakespeare yang berjudul Hamlet.“Aku boleh duduk di sini?” tanya Hayden.“Si,,silakan,” jawab Vanika dengan gugup.Mereka duduk dalam hening. Vanika memperhatikan Hayden. Hayden menyipitkan matanya ketika ia ingin memperjelas penglihatannya. Meskipun wajahnya terkesan dingin dan matanya begitu tajam, ada semacam rasa hangat dalam pandangannya.“Kamu sering datang ke taman ini?” tanya Vanika, berusaha mencairkan suasana.“Ya,” jawab Hayden. Seperti biasa, sangat singkat.Tidak lama kemudian Clarissa datang dengan tubuh penuh keringat. Freckles di hidungnya terlihat semakin jelas. Gadis bertubuh tinggi itu tiba-tiba membelalakan kedua matanya dan menunjuk Hayden.“Kakak ini yang waktu itu membantuku! Kakak pemilik jas almamater itu!” ujar Clarissa sambil melihat ke arah Vanika dan Hayden bergantian. Ia menjulurk
Hayden Irawan berlari ke bawah dan berdiri tepat di hadapan Vanika.“I can’t believe this,” ucap Vanika.“Kenapa? Looks can be deceiving?” tanya Hayden dengan senyum di wajahnya.Hujan mulai reda. Pramana dan Zaid datang dengan tertawa puas.“Van, itu semua rencana Hayden. Nih lihat bahkan ada kertas yang isinya gambar rangkaian rencana kita. Ini Hayden yang buat,” Zaid berkata sambil memamerkan kertas rencana mereka. Setiap garis dari gambar di kertas itu pudar karena terkena air hujan.“Satrio coba mengalihkan perhatian kamu. Aku dan Zaid melepas sepatu. Hayden yang lempar sepatunya ke atap,” sambung Pramana dengan puas.“Kalian puas?! Pokoknya sepatu itu harus ada di tangan aku sekarang juga!” ujar Vanika dengan kesal.“Sayang sekali. Kita gak punya rencana gimana cara menurunkannya,” ungkap Satrio dengan wajah bersalahnya.“Usahakan sekarang juga. Kalau gak bisa nanti aku pulang pakai apa?” protes gadis itu dengan wajah yang memerah karena penuh rasa kesal.Akhtar dan Aditya datan
Di depan Vanika berdiri laki-laki bertubuh tinggi itu dengan tatapan yang dingin. Hayden menatap Jimmy dan pandangannya beralih kepada gadis mungil di depannya. Tatapannya tidak sehangat tadi sore. Sangat dingin. Ia tidak membawa tas sekolahnya dan tidak memakai jas beserta rompi sekolahnya. Kemeja putihnya kotor dan kusut. Dasi sekolahnya terpasang dengan longgar.“Hayden?” tanya Vanika dengan suara yang sangat kecil.“Aku permisi,” ucap Hayden kepada semuanya tanpa melihat ke arah Vanika.Ia berlalu begitu saja. Tanpa mengatakan apa pun kepada Vanika. Gadis itu merasa sedikit kecewa. Vanika memperhatikan laki-laki itu pergi. Hebat. Hayden masih memakai sandal capit hijau itu dan hal ini tidak mengurangi level kerennya.Clarissa mendekati Jimmy.“Kak Jimmy?” tanya gadis jangkung itu sambil berjalan mendekat kepada laki-laki itu.“Clarissa! Kamu sudah sebesar ini! Sulit dipercaya. Dulu kamu kecil dan menyebalkan!” Jimmy berkata dengan riang.“Kak Jimmy!” Clarissa memeluk Jimmy dengan
Clarissa yang melihat Hayden langsung berteriak.“Kak Hayden! Sini masuk! Gak usah bunyikan bel!”Bi Ika menyerahkan kipas yang dipegangnya kepada Clarissa agar gadis itu meneruskan kegiatan bakar-bakar. Wanita itu berlari ke arah tamu yang rupawan tersebut dan menariknya masuk ke halaman tempat mereka berkumpul. Hayden berlari kecil dengan membawa sebuah totebag berwarna hitam. Ia juga mengenakan kaus hitam polos, celana jeans, dan sneakers berwarna navy. Ia terlihat sangat keren.“Duduk! Sini duduk!” wanita bertubuh gemuk itu menyuruh Hayden duduk di kursi yang berhadapan dengan Vanika sambil memundurkan kursi tersebut agar diduduki oleh laki-laki itu.Hayden tersenyum sungkan dan berkata “tidak, terima kasih, Bu. Saya hanya ingin mengembalikan sesuatu untuk Vanika,” ia membungkukan tubuhnya beberapa kali.“Gak bisa! Gak bisa! Duduk di sini. Nah ayo makan ini atau ini. Di sini ada banyak makanan. Makan dulu lah sedikit baru boleh pulang,” ujar Bi Ika dengan wajahnya yang selalu mero
Seseorang memberikan handuk kecil kepada Vanika. Clarissa ternyata sudah cukup lama berdiri sambil memperhatikan kakaknya yang sedang melamun dengan wajah yang pucat karena kedinginan. Vanika mengelap semua bagian tubuhnya yang basah. Di samping gadis itu terdapat sebuah jas almamater berukuran besar yang tergeletak begitu saja. Jas almamater yang sudah melindunginya dari hujan.“Jas itu punya siapa?” tanya Clarissa penasaran.“Punya Hasna,” jawab kakaknya berbohong.Hasna merupakan salah satu siswi di sekolahnya yang bertubuh tinggi. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, tinggi badannya sudah mencapai 178cm. Gadis ini merupakan murid kelas XII IPS 2. Vanika dulu tidak begitu dekat dengan dia, tapi Hasna sangat terkenal karena ia merupakan salah satu anggota tim voli di sekolah.Berbeda dari sosok Joe yang tidak mau diam seperti kuda, Di sekolah, Hasna adalah sosok yang tenang, tapi sebenarnya ia adalah seorang pemberontak. Bibirnya kecil dan tebal. Hal ini membuat banyak orang mem
“Jadi begini,,,,”Vanika, Joe, Akhtar, dan Aditya memajukan tubuh mereka dengan wajah mereka yang terlihat sangat antusias.“Sudah! Tamat! Kalian cari tahu sendiri ceritanya,” ujar Pramana yang diikuti tendangan kaki dari Joe yang kesal.“Menyebalkan!” Vanika melemparkan buku pada temannya yang bertubuh gempal itu.“Aku takut salah bicara. Kalian tanya saja langsung ke orangnya,”“Eh, sekarang sudah terlalu sore. Kita harus pulang secepatnya. Aku juga harus bantu ibu aku untuk jualan besok,” kata Akhtar sambil melihat arlojinya.“Aku masih ingin di sini tapi ternyata sudah sesore ini,” keluh Joe sambil merapikan bajunya.“Ya sudah nanti kita ketemu lagi kok,” hibur Vanika sambil membuka pintu perpustakaan.“Kita bereskan bekas makanannya ya?” Aditya mulai mengambil beberapa piring di meja.“Sudah, jangan. Biar nanti aku dan Bi Ika yang bereskan,”Tidak lama kemudian mereka berjalan menuju gerbang. Pramana dan Akhtar menyalakan motor masing-masing.“Clarissa belum pulang?” tanya Joe pa
From: Hayden IrawanTo: Vanika Xavera TedjaDear Vanika,Aku gak begitu pandai merangkai kata-kata, so… “I just wanna tell you somethingLately you’ve been on my mind”(Adore You - Harry Styles) “I know I shouldn’t tell you but I just can’t stop thinking of you” (Wherever You Are - 5 Seconds of Summer) “Before you came into my life everything was black and whiteNow all I see is colour like a rainbow in the sky” (Colour – MNEK ft Hailee Steinfeld) “I can’t write one song that’s not about youCan’t drink without thinkin’ about youIs it too late to tell you that everything means nothing if I can’t have you?”(If I Can’t Have You - Shawn Mendes) “Anyone who’s seen us knows what’s goin’ on between usIt doesn’t take a genius to read between the linesAnd it’s not just wishful thinking or only me who’s dreamingI know what these are symptoms ofWe could be in love”(We Could be In Love - Brad Kane ft Lea Salonga) “Love doesn’t come in a minuteSometimes it doesn’t come at allI o
Jantung Vanika hampir saja copot. Kedua mata bulatnya membesar karena sangat terkejut bahwa laki-laki yang seharian ini dihindarinya sekarang tepat berada di sampingnya. Vanika melihat Jimmy sudah menurunkan lambaian tangannya dan berlalu begitu saja.“Nonton Jimmy latihan?”“Aku hanya kebetulan diajak Akifa istirahat di sini. Dia sekarang lagi di toilet,” jawab Vanika.Tiba-tiba dua orang sahabat Jimmy yang lewat sambil menepuk bahu Vanika.“Ciee nonton Jimboy main bola,” ujar mereka berdua sambil berlalu dan tertawa.Dua laki-laki itu bernama Huang dan Derry. Mereka berdua adalah sahabat kental Jimmy sejak kelas 10. Jimmy, Huang, Derry, dan Vanika dahulu berada di kelas yang sama, yaitu kelas X-A. Sudah menjadi rahasia umum di kelas X-A kalau gadis berkulit putih itu sangat menyukai Jimmy.“Oh lagi nonton Jimmy main bola,” ucap Hayden.“Ya, aku sekalian nonton dia latihan. Rasanya sudah lama gak lihat dia main secara langsung,”Hayden tersenyum, “Tenang saja, aku juga suka kalau dia
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah