Vanika dengan cepat melepas kacamata itu, melipatnya, dan memasukannya ke dalam saku kemeja. Hayden berjalan mendekatinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah buku karya William Shakespeare yang berjudul Hamlet.
“Aku boleh duduk di sini?” tanya Hayden.
“Si,,silakan,” jawab Vanika dengan gugup.
Mereka duduk dalam hening. Vanika memperhatikan Hayden. Hayden menyipitkan matanya ketika ia ingin memperjelas penglihatannya. Meskipun wajahnya terkesan dingin dan matanya begitu tajam, ada semacam rasa hangat dalam pandangannya.
“Kamu sering datang ke taman ini?” tanya Vanika, berusaha mencairkan suasana.
“Ya,” jawab Hayden. Seperti biasa, sangat singkat.
Tidak lama kemudian Clarissa datang dengan tubuh penuh keringat. Freckles di hidungnya terlihat semakin jelas. Gadis bertubuh tinggi itu tiba-tiba membelalakan kedua matanya dan menunjuk Hayden.
“Kakak ini yang waktu itu membantuku! Kakak pemilik jas almamater itu!” ujar Clarissa sambil melihat ke arah Vanika dan Hayden bergantian. Ia menjulurkan tangannya kepada Hayden untuk berjabat tangan.
“Aku Clarissa Evelyn Tedja. Adik dari Vanika Xavera Tedja,” sambung Clarissa dengan senyum lebar.
“Hayden. Hayden Irawan,” jawab pria berambut hitam itu sambil membalas jabat tangan Clarissa.
“Terima kasih, Kak atas bantuannya. Nanti aku titipkan jasnya kepada Vanika ya!”
“Ok. Terima kasih sebelumnya dan saya pamit pulang ya,” Hayden tersenyum tipis dan bangkit dari tempat duduknya. Hayden melihat ke arah Vanika.
“Nanti kembalikannya saat masuk sekolah saja,” tambah Hayden.
Vanika melihatnya berlalu. Ternyata benar, level keren seorang laki-laki bisa bertambah dengan kaus putih. Kaus putih,celana training, dan sneakers. Simple tapi terlihat luar biasa ketika dipakai orang yang tepat. Vanika tiba-tiba ingat kacamata di sakunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusul Hayden. Ia menarik tangannya. Pemilik kacamata itu terkejut dan berbalik. Vanika mengeluarkan kacamata itu dan menyerahkannya pada pemiliknya.
“Ini punyamu ‘kan?” tanya Vanika dengan rambut cokelat gelapnya yang berantakan karena diterpa angin ketika berlari.
Hayden meraih kacamata yang disodorkan kepadanya.
“Ya, ini punyaku,” jawab pria bermata sipit itu.
“Terima kasih,” sambungnya dengan tersenyum hangat kepada Vanika dan pergi berlalu meninggalkan Vanika yang dibuatnya diam membatu.
“Hayden! Seorang Hayden tersenyum kepadaku!” pikir Vanika.
Clarissa menghampiri kakaknya.
“Hei! Ada apa dengan kakakku ini?” ia mengagetkan kakaknya.
“Ish! Gak ada apa-apa. Ayo pulang,” ajak Vanika pada adiknya.
***
Hari demi hari berlalu dan kini sudah sampai di penghujung liburan. Vanika bolak-balik di kamarnya.
“Bagaimana cara mengembalikannya?”
“Apa aku harus ke kelasnya?”
“Apa jasnya sudah bersih dengan sempurna?”
“Apa jasnya sudah wangi dan lembut?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terlintas di benak gadis itu. Lalu ia meraih sebuah kacamata dari meja belajarnya. Ia membersihkan kacamata itu untuk kesekian kalinya dan tidur dengan hati yang berdebar-debar.
***
Vanika diam di lorong sekolah sambil menyandarkan tubuhnya di tembok berwarna cream. Tangannya menggenggam sebuah totebag berisi jas almamater.
“Oi! Kamu lagi apa di sini?” ujar Zaid sambil menepuk bahu Vanika dengan kencang.
Zaid dari kelas XII IPA 3 sering bergaul dengan sahabat-sahabat Vanika di kelas XII IPA 2. Tubuhnya jangkung dan kekar karena dia adalah kapten tim hockey di sekolah.
“Antar aku ke kelas kamu ya?” pinta Vanika.
“Memang mau apa? Pakai minta antar segala,” balas Zaid.
“Aku mau kembalikan sesuatu untuk salah satu siswa di kelas kamu,”
“Apa sih itu?” Zaid meraih totebag yang dipegang oleh gadis itu, tapi Vanika langsung menjauhkan totebag dari tangan pria bertubuh gempal itu.
Bel masuk berbunyi nyaring.
“Ish ya ampun pelit. Ayo cepat aku antar ke kelas. Mau ketemu siapa?” tanya Zaid pensaran.
“Hayden,”
“Hayden?! Kamu kenal dia?”
“Memang kenapa?”
“Ya,,, Hayden sepertinya bukan tipe yang mau bergaul atau berurusan dengan orang macam kamu,” jawab Zaid dengan senyum jahilnya.
“Heh memang aku kenapa?”
“Gak kenapa-napa, Van. Hayden itu ya, biasanya dingin ke semua perempuan. Banyak yang dia tolak,” bisik Zaid sambil merangkul gadis itu.
“Bukan! Bukan hal semacam itu. Aku hanya mau kembalikan ini,” Vanika menepiskan tangan Zaid dari bahunya sambil menyodor-nyodorkan totebag yang dia pegang.
“Ok ok, ayo cepat!” ajak Zaid.
Di depan kelas XII IPA 3, Zaid melongokkan kepalanya ke dalam kelas dan berteriak keras dengan suaranya yang berat. Vanika sedikit mengintip ke dalam.
“Hay! Hayden! Ada yang cari kamu nih!”
Semua mata tertuju pada Zaid dan Vanika. Lalu pandangan mereka beralih pada Hayden yang bangkit dari kursinya dan berjalan menuju keluar. Gadis berambut wavy itu mundur perlahan.
Hayden berdiri di hadapan Vanika. Seragamnya bersih dan rapi dengan rompi abu-abu dan dasi berwarna maroon. Rambutnya tersisir rapi. Vanika menyodorkan totebag yang dia bawa dan laki-laki berkulit pucat itu meraihnya dan memasukan salah satu tangannya ke dalam tas itu. Hayden mengeluarkan isinya. Sebuah jas almamater lengkap dengan hanger kayu.
“Kamu sertakan hanger di dalamnya?” tanya Hayden kebingungan.
Tawa Zaid pecah.
“Van, kamu itu punya usaha laundry atau gimana? Kamu lipat tapi kamu pakaikan hanger,” Zaid tertawa terbahak-bahak.
Vanika mencubit tangan Zaid dan laki-laki gempal itu membalas dengan pura-pura menantang gadis itu berkelahi. Vanika meraih tangan Zaid dan memelintir salah satu tangannya.
“Lebih baik kalian cepat masuk. Vanika, terima kasih.” ucap Hayden sambil memberikan totebag beserta dengan hanger di dalamnya.
Vanika melepas tangan Zaid dan meraih totebag itu. Hayden langsung berbalik, masuk ke kelasnya.
“Kalian ini bel masuk sudah berbunyi masih saja di luar main-main!” tegur seseorang dengan tegas.
Itu Bu Fatmawati. Guru biologi yang akan mengajar di kelas XII IPA 3. Lalu beliau mengarahkan jari telunjuknya ke arah Vanika.
“Vanika! Kamu perempuan! Masa mainnya begitu! Kalian berdua masuk kelas masing-masing!” sambungnya dan membuat Zaid buru-buru masuk ke kelasnya. Vanika pun berlari ke kelasnya dengan kepala tertunduk.
“Eh tunggu Vanika!” perintah guru biologi itu.
Vanika berhenti dan Bu Fatmawati memberikan beberapa lembar kertas padanya.
“Bagikan semua silabus itu ke masing-masing ketua kelas agar nanti dibagikan lagi untuk para murid. Cepat masuk kelas,” perintah wanita bertubuh tinggi itu.
“Baik, Bu,” jawab Vanika sambil membungkuk dan ia membawa kertas-kertas itu sambil berlari ke kelasnya.
***
Hari itu terasa berjalan dengan lambat. Satu pelajaran sudah selesai dan rasanya ingin cepat-cepat istirahat. Vanika menghitung beberapa lembar silabus untuk semester itu. Matahari begitu terik dan cahayanya memasuki jendela. Yoga yang paling anti dengan cahaya matahari langsung menutup semua gorden kelas dengan cepat dan menyalakan lampu.
Salah satu guru tidak bisa hadir untuk mengajar. Bagaskara, ketua kelas XII IPA 2 menyalakan projector dan memutar film Freedom Writers. Nanda, gadis yang langganan mengikuti olimpiade sibuk dengan buku fisikanya. Akhtar sibuk menghitung pendapatannya sambil mencoret-coret sebuah kertas usang dengan pensil tumpul favoritnya. Beberapa siswi yang duduk di bagian belakang kelas sibuk membicarakan gossip terbaru dan beberapa siswa sibuk membicarakan film-film terbaru N*****x.
Aditya menghampiri Akhtar dan duduk di atas lantai tepat di sebelah mejanya. Akhtar menyodorkan satu box yang setengahnya berisi pie mini kepadanya.
“Ambil saja sendiri. Nanti lapor ke aku berapa banyak yang kamu makan,” ujar Akhtar dan lanjut membereskan lembar-lembar uang di atas mejanya.
Vanika melihat Aditya yang menyantap beberapa pie dengan lahap. Aditya menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dan menatap gadis itu dengan matanya yang bulat.
“Lapar. Tadi habis dikejar para fans,” ucapnya.
Aditya memang salah satu murid yang terkenal. Dia bergabung di math club sejak tahun pertama dan aktif di perkumpulan itu. Kulitnya berwarna putih susu dan tubuhnya tegap. Ia begitu ramah, terutama kepada para adik kelas. Tidak aneh kalau hampir semua penggemarnya adalah para adik kelas. Bahkan, Aditya memiliki fans club bernama AFC.
“Perkumpulan yang namanya AFC? AFC itu singkatan dari apa?” tanya Vanika.
Aditya siap untuk menjawab dengan wajah bangganya
“Aditya…”
“Fried Chicken,” sambung Arvin sambil mengambil salah satu pie dari box yang dipegang Aditya.
“Bukan! Aditya Fans Club,” protes Aditya diikuti tawa Vanika, Arvin dan Akhtar.
“Sssstttttt,” Nanda memberi isyarat dengan jari di depan bibirnya. Isyarat kalau mereka sudah mengganggunya belajar dengan kebisingan yang mereka buat.
“Ish ish, maniak belajar,” ejek Arvin sambil menarik satu kursi yang menganggur dan duduk di atasnya sambil menyantap pie dengan kaki kanannya di atas paha kaki kirinya.
“Sebentar lagi bel istirahat pertama. Dit, nanti antar jualan ke kelas X sama XI ya! Lumayan biar ada daya tarik,” ajak Akhtar kepada laki-laki yang masih asyik duduk di atas lantai itu.
“Ok siap,” jawab Aditya.
Tidak lama kemudian bel istirahat pertama berbunyi dengan nyaring. Sebuah kepala menengok ke dalam.
“Ada Vanika?”
Semua mata tertuju pada Vanika.
“Kamu buat masalah apa sama dia?” tanya Arvin sambil bangkit dari kursinya.
“Masalah? Gak,” jawab Vanika dengan gugup dan mengalihkan pandangannya pada Hayden.
Hayden memberi isyarat dengan tangannya agar Vanika cepat keluar. Vanika bangkit dari tempat duduknya sambil membawa lembar-lembar silabus.
“Apa orang yang dihampiri Hayden itu berarti bermasalah?”
“Atau ada yang salah dengan jas almamaternya?”
“Apakah ada yang sobek?”
Pertanyaan beruntun itu muncul di benak Vanika. Di luar, Hayden menunggu sambil bersandar di balkon. Di tangannya ada sebuah satu kotak susu rasa cokelat. Hayden memberikan susu itu kepada gadis di hadapannya. Semua orang, terutama para gadis, menatapnya seolah ia adalah musuh bersama.
“Terima kasih,” ucap Vanika sambil mendekat pada tembok balkon.
Berdiri di sebelah Hayden membuatnya gugup.
“Mana silabus untuk kelasku?” tanya Hayden.
“Tapi kan kamu bukan ketua kelas,”
“Aku wakil. Satrio terlalu sibuk mempersiapkan partisipasinya untuk event Jepang, anime, komik, dan sejenisnya,”
“Oh begitu. Ini silabusnya,” Vanika menyodorkan selembar kertas pada laki-laki bermata tajam itu.
Hayden membaca silabus dengan teliti dan Vanika memperhatikannya membaca. Kulit yang putih bersih, mata yang tajam, dan kulitnya tidak sepucat biasanya. Jari-jari tangannya ramping dan panjang. Angin kecil menerpa rambutnya yang berwarna hitam.
“Dia bukan manusia,” pikir Vanika.
“Dor!” seseorang mengagetkan gadis itu dengan menepuk punggungnya dengan keras.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan rambut keriting dan kacamata yang sedikit merosot tersenyum padanya.
“Pramana!”
Pramana salah satu siswa dari kelas Hayden. Para siswa kelas XII IPA 3 memang terkenal memiliki 1001 cara untuk menjahili orang lain.
“Kamu ngapain sih melamun begitu serius lihat Hayden?” tanya Pramana.
“Gak, aku melamun bukan karena Hayden, tapi ada hal lain di pikiranku,”
“Masa?” tanya Pramana dengan wajah menyebalkannya.
Vanika memutar kedua bola matanya.
“Tumben kamu pakai sepatu tali, Van. Tuh tali sepatumu lepas,” Pramana menunjuk ke arah sepatu kiri yang dipakai gadis di sebelahnya.
“Dia gak bisa mengikat tali sepatunya sendiri,” timpal Aditya yang lewat di depan mereka bersama Akhtar yang sibuk membawa dagangannya.
“Please Aditya,” ucap Vanika, memohon Aditya supaya diam.
“Biasanya adiknya atau aku yang ikat,” tambah Akhtar.
“Akhtar!” Vanika mencoba membungkam mereka berdua.
Akhtar dan Aditya berlari menjauh sambil tertawa puas.
“Kamu gak bisa ikat tali sepatu?” tanya Pramana dengan senyum jahil.
“Bisa, tapi gak pernah awet,” jawab Vanika dengan sedikit cemberut di wajahnya. Ia mulai meminum susu cokelatnya.
“Itu sama saja,” ucap Hayden dengan datar.
“Ya sudah sini aku ikatkan,” Pramana berjongkok dan menalikan tali sepatu milik gadis bertubuh mungil itu.
“Sudah,” Pramana bangkit dan menarik Hayden, “ayo balik ke kelas,”
“Terima kasih,” balas Vanika.
Mereka berdua mulai berjalan hendak kembali ke kelasnya. Namun, Pramana membungkukan tubuhnya, dengan cepat ia menarik tali sepatu Vanika sampai lepas. Lalu ia berlari dengan menarik tangan Hayden di belakangnya.
“Pramana!” teriak Vanika pada laki-laki jahil itu.
***
Lagu Dancing Queen dari ABBA terdengar nyaring di kelas XII IPA 2. Bagaskara menyanyikan lagu tersebut dengan bahagia diikuti Arvin, Yoga, Akhtar, Zaid, dan Pramana. Biasanya sesudah bel akhir berbunyi, kelas tersebut menjadi tempat yang paling nyaman untuk berkumpul bagi mereka.
Seorang siswa berpenampilan mencolok masuk ke dalam kelas itu. Tubuhnya mungil dan sangat ramping. Pakaiannya terbilang sangat rapi jika dibandingkan dengan siapa pun di sekolah itu. Ia jarang sekali memakai jas almamaternya. Ia juga memakai tas khas sekolah Jepang berwarna biru tua.
Di tasnya ada beberapa gantungan kunci bergambar tokoh-tokoh animasi favoritnya. Di tangan kirinya ia membawa buku latihan olimpiade biologi yang lembar cover depannya sudah hilang entah ke mana. Ada beberapa gambar khas anime di halaman paling depan. Satrio, ketua kelas XII IPA 3 memang seseorang yang menarik dan unik.
“Sudah jam 16.30. Kenapa kamu belum pulang?” tanya Satrio pada Vanika.
“Masih hujan,” jawab Vanika.
Pramana dan Zaid mendekat dan duduk di dekat Vanika. Satrio mengeluarkan laptopnya dan menyalakannya. Diputarnya anime Kuroko no Basuke.
“Kasih tahu aku yang mana karakter yang paling kamu suka. Nanti aku akan jadi karakter itu di event selanjutnya,” Satrio berkata dengan serius.
Vanika menonton dengan serius sampai tidak menyadari bahwa Zaid menarik kedua tali sepatunya dan Pramana menarik lepas sepatu sebelah kanannya. Pramana dan Zaid berlari keluar kelas juga melempar sepatu Vanika pada seseorang yang berlari ke lantai tiga. Vanika terus mengejar orang itu, tapi orang itu berlari terlalu cepat. Setelah sampai di lantai tiga, ia tidak melihat apa-apa.
“Vanika!” panggil suatu suara dari arah lapangan.
Gadis itu menengok ke bawah melalui balkon. Satrio berada di lapangan. Rambutnya basah dan seragamnya terlihat tidak serapi sebelumnya. Semua orang yang ada di kelas XII IPA 2 mulai keluar dan melihat ke bawah melalui balkon lantai 2.
Di sanalah ia. Tepat di antara rintik-rintik hujan. Vanika menyusulnya ke bawah dan menghampiri Satrio. Laki-laki bertubuh ramping itu menunjuk ke atas atap. Vanika berusaha melihat dengan jelas karena pandangannya terhalang rintik-rintik hujan yang jatuh di wajahnya.
Sepatu! Di atas sana ada sepatunya. Entah bagaimana ceritanya orang jahil itu melempar sepatunya ke atas sana dan menghilang begitu saja. Tiba-tiba di balkon lantai tiga ada sosok yang sangat tidak asing bagi Vanika sedang tersenyum dan melambai ke arahnya dan Satrio.
“Terima kasih, Satrio!” teriak laki-laki itu.
Vanika menggeleng-gelengkan kepalanya kesal.
“Hayden Irawan!” teriaknya.
Hayden Irawan berlari ke bawah dan berdiri tepat di hadapan Vanika.“I can’t believe this,” ucap Vanika.“Kenapa? Looks can be deceiving?” tanya Hayden dengan senyum di wajahnya.Hujan mulai reda. Pramana dan Zaid datang dengan tertawa puas.“Van, itu semua rencana Hayden. Nih lihat bahkan ada kertas yang isinya gambar rangkaian rencana kita. Ini Hayden yang buat,” Zaid berkata sambil memamerkan kertas rencana mereka. Setiap garis dari gambar di kertas itu pudar karena terkena air hujan.“Satrio coba mengalihkan perhatian kamu. Aku dan Zaid melepas sepatu. Hayden yang lempar sepatunya ke atap,” sambung Pramana dengan puas.“Kalian puas?! Pokoknya sepatu itu harus ada di tangan aku sekarang juga!” ujar Vanika dengan kesal.“Sayang sekali. Kita gak punya rencana gimana cara menurunkannya,” ungkap Satrio dengan wajah bersalahnya.“Usahakan sekarang juga. Kalau gak bisa nanti aku pulang pakai apa?” protes gadis itu dengan wajah yang memerah karena penuh rasa kesal.Akhtar dan Aditya datan
Di depan Vanika berdiri laki-laki bertubuh tinggi itu dengan tatapan yang dingin. Hayden menatap Jimmy dan pandangannya beralih kepada gadis mungil di depannya. Tatapannya tidak sehangat tadi sore. Sangat dingin. Ia tidak membawa tas sekolahnya dan tidak memakai jas beserta rompi sekolahnya. Kemeja putihnya kotor dan kusut. Dasi sekolahnya terpasang dengan longgar.“Hayden?” tanya Vanika dengan suara yang sangat kecil.“Aku permisi,” ucap Hayden kepada semuanya tanpa melihat ke arah Vanika.Ia berlalu begitu saja. Tanpa mengatakan apa pun kepada Vanika. Gadis itu merasa sedikit kecewa. Vanika memperhatikan laki-laki itu pergi. Hebat. Hayden masih memakai sandal capit hijau itu dan hal ini tidak mengurangi level kerennya.Clarissa mendekati Jimmy.“Kak Jimmy?” tanya gadis jangkung itu sambil berjalan mendekat kepada laki-laki itu.“Clarissa! Kamu sudah sebesar ini! Sulit dipercaya. Dulu kamu kecil dan menyebalkan!” Jimmy berkata dengan riang.“Kak Jimmy!” Clarissa memeluk Jimmy dengan
Clarissa yang melihat Hayden langsung berteriak.“Kak Hayden! Sini masuk! Gak usah bunyikan bel!”Bi Ika menyerahkan kipas yang dipegangnya kepada Clarissa agar gadis itu meneruskan kegiatan bakar-bakar. Wanita itu berlari ke arah tamu yang rupawan tersebut dan menariknya masuk ke halaman tempat mereka berkumpul. Hayden berlari kecil dengan membawa sebuah totebag berwarna hitam. Ia juga mengenakan kaus hitam polos, celana jeans, dan sneakers berwarna navy. Ia terlihat sangat keren.“Duduk! Sini duduk!” wanita bertubuh gemuk itu menyuruh Hayden duduk di kursi yang berhadapan dengan Vanika sambil memundurkan kursi tersebut agar diduduki oleh laki-laki itu.Hayden tersenyum sungkan dan berkata “tidak, terima kasih, Bu. Saya hanya ingin mengembalikan sesuatu untuk Vanika,” ia membungkukan tubuhnya beberapa kali.“Gak bisa! Gak bisa! Duduk di sini. Nah ayo makan ini atau ini. Di sini ada banyak makanan. Makan dulu lah sedikit baru boleh pulang,” ujar Bi Ika dengan wajahnya yang selalu mero
Seseorang memberikan handuk kecil kepada Vanika. Clarissa ternyata sudah cukup lama berdiri sambil memperhatikan kakaknya yang sedang melamun dengan wajah yang pucat karena kedinginan. Vanika mengelap semua bagian tubuhnya yang basah. Di samping gadis itu terdapat sebuah jas almamater berukuran besar yang tergeletak begitu saja. Jas almamater yang sudah melindunginya dari hujan.“Jas itu punya siapa?” tanya Clarissa penasaran.“Punya Hasna,” jawab kakaknya berbohong.Hasna merupakan salah satu siswi di sekolahnya yang bertubuh tinggi. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, tinggi badannya sudah mencapai 178cm. Gadis ini merupakan murid kelas XII IPS 2. Vanika dulu tidak begitu dekat dengan dia, tapi Hasna sangat terkenal karena ia merupakan salah satu anggota tim voli di sekolah.Berbeda dari sosok Joe yang tidak mau diam seperti kuda, Di sekolah, Hasna adalah sosok yang tenang, tapi sebenarnya ia adalah seorang pemberontak. Bibirnya kecil dan tebal. Hal ini membuat banyak orang mem
“Jadi begini,,,,”Vanika, Joe, Akhtar, dan Aditya memajukan tubuh mereka dengan wajah mereka yang terlihat sangat antusias.“Sudah! Tamat! Kalian cari tahu sendiri ceritanya,” ujar Pramana yang diikuti tendangan kaki dari Joe yang kesal.“Menyebalkan!” Vanika melemparkan buku pada temannya yang bertubuh gempal itu.“Aku takut salah bicara. Kalian tanya saja langsung ke orangnya,”“Eh, sekarang sudah terlalu sore. Kita harus pulang secepatnya. Aku juga harus bantu ibu aku untuk jualan besok,” kata Akhtar sambil melihat arlojinya.“Aku masih ingin di sini tapi ternyata sudah sesore ini,” keluh Joe sambil merapikan bajunya.“Ya sudah nanti kita ketemu lagi kok,” hibur Vanika sambil membuka pintu perpustakaan.“Kita bereskan bekas makanannya ya?” Aditya mulai mengambil beberapa piring di meja.“Sudah, jangan. Biar nanti aku dan Bi Ika yang bereskan,”Tidak lama kemudian mereka berjalan menuju gerbang. Pramana dan Akhtar menyalakan motor masing-masing.“Clarissa belum pulang?” tanya Joe pa
From: Hayden IrawanTo: Vanika Xavera TedjaDear Vanika,Aku gak begitu pandai merangkai kata-kata, so… “I just wanna tell you somethingLately you’ve been on my mind”(Adore You - Harry Styles) “I know I shouldn’t tell you but I just can’t stop thinking of you” (Wherever You Are - 5 Seconds of Summer) “Before you came into my life everything was black and whiteNow all I see is colour like a rainbow in the sky” (Colour – MNEK ft Hailee Steinfeld) “I can’t write one song that’s not about youCan’t drink without thinkin’ about youIs it too late to tell you that everything means nothing if I can’t have you?”(If I Can’t Have You - Shawn Mendes) “Anyone who’s seen us knows what’s goin’ on between usIt doesn’t take a genius to read between the linesAnd it’s not just wishful thinking or only me who’s dreamingI know what these are symptoms ofWe could be in love”(We Could be In Love - Brad Kane ft Lea Salonga) “Love doesn’t come in a minuteSometimes it doesn’t come at allI o
Jantung Vanika hampir saja copot. Kedua mata bulatnya membesar karena sangat terkejut bahwa laki-laki yang seharian ini dihindarinya sekarang tepat berada di sampingnya. Vanika melihat Jimmy sudah menurunkan lambaian tangannya dan berlalu begitu saja.“Nonton Jimmy latihan?”“Aku hanya kebetulan diajak Akifa istirahat di sini. Dia sekarang lagi di toilet,” jawab Vanika.Tiba-tiba dua orang sahabat Jimmy yang lewat sambil menepuk bahu Vanika.“Ciee nonton Jimboy main bola,” ujar mereka berdua sambil berlalu dan tertawa.Dua laki-laki itu bernama Huang dan Derry. Mereka berdua adalah sahabat kental Jimmy sejak kelas 10. Jimmy, Huang, Derry, dan Vanika dahulu berada di kelas yang sama, yaitu kelas X-A. Sudah menjadi rahasia umum di kelas X-A kalau gadis berkulit putih itu sangat menyukai Jimmy.“Oh lagi nonton Jimmy main bola,” ucap Hayden.“Ya, aku sekalian nonton dia latihan. Rasanya sudah lama gak lihat dia main secara langsung,”Hayden tersenyum, “Tenang saja, aku juga suka kalau dia
Hayden tersenyum di sepanjang jalan pulang. Ia merasa tidak pernah sebahagia ini. Ia memasuki halaman rumah bergaya khas zaman Belanda itu dengan perasaan riang. Rumah dengan satu lantai tersebut memiliki halaman dan bagian teras yang luas. Cat temboknya berwarna putih bersih dan bangunannya sangat luas. Di bagian depan terdapat beberapa pilar beton yang kokoh. Rumah itu juga dihiasi beberapa jendela kuno yang berukuran besar dan indah.Laki-laki bertubuh tinggi itu memasuki ruang tamu dan di situ terdapat adiknya yang sedang asyik bermain puzzle. Audrey masih berusia 9 tahun. Tubuhnya tinggi dan ramping. Panjang rambutnya tepat sebahu dan keriting. Terlihat klasik.“Kakak pulang, Rey,” sapa Hayden yang menghampiri adiknya dan mencium keningnya.“Kakak lama. Mama juga belum pulang,” keluh Audrey.“Ya, maaf. Kamu sudah makan ‘kan?” tanya kakaknya.“Udah,” jawab adiknya.“Kakak beres-beres rumah dulu ya, Rey. Ini kakak bawa cokelat untuk kamu,” Hayden memberikan sebatang besar cokelat p
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah