Seseorang memberikan handuk kecil kepada Vanika. Clarissa ternyata sudah cukup lama berdiri sambil memperhatikan kakaknya yang sedang melamun dengan wajah yang pucat karena kedinginan. Vanika mengelap semua bagian tubuhnya yang basah. Di samping gadis itu terdapat sebuah jas almamater berukuran besar yang tergeletak begitu saja. Jas almamater yang sudah melindunginya dari hujan.
“Jas itu punya siapa?” tanya Clarissa penasaran.
“Punya Hasna,” jawab kakaknya berbohong.
Hasna merupakan salah satu siswi di sekolahnya yang bertubuh tinggi. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, tinggi badannya sudah mencapai 178cm. Gadis ini merupakan murid kelas XII IPS 2. Vanika dulu tidak begitu dekat dengan dia, tapi Hasna sangat terkenal karena ia merupakan salah satu anggota tim voli di sekolah.
Berbeda dari sosok Joe yang tidak mau diam seperti kuda, Di sekolah, Hasna adalah sosok yang tenang, tapi sebenarnya ia adalah seorang pemberontak. Bibirnya kecil dan tebal. Hal ini membuat banyak orang memanggilnya “Tweety”.
“Hasna? Si pemain voli bertubuh besar itu?” tanya adiknya dengan mata yang membesar.
“Ya,” jawab gadis yang menggigil karena kedinginan itu sambil bangkit dari tempatnya.
“Ah gak mungkin. Hasna yang ini pasti memiliki bahu yang lebih lebar dan memiliki rasa cinta yang lebih besar,” balas adiknya yang mengangkat jas almamater itu dan memperhatikannya dengan teliti.
“Ish ish. Tubuh Hasna besar dan sekarang semakin besar,” ujar Vanika sambil mencubit pipi adiknya
“Aw! Aw! Sakit! Ayo ah kita masuk. Mau Hasna yang mana pun kita harus cepat-cepat cuci jas ini,” kata Clarissa yang kemudian menggamit lengan kakaknya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
***
Vanika duduk di atas sofa dengan mengenakan jumper besar berwarna lilac. Tangan kanannya membuka lembar demi lembar halaman majalah. Namun, pikirannya terus memikirkan Hayden. Ia melihat ke arah jam. Jam menunjukan pukul 20.15 malam, tapi hujan masih begitu deras. Kepalanya begitu pusing dan ia bersin untuk kesekian kalinya. Ia langsung menyesap susu cokelat panas dengan perlahan.
“Aku mohon. Tuhan, aku harus selalu sehat. Aku harus bertemu Hayden besok,” doa Vanika dalam hati.
“Izin saja untuk beberapa hari,” saran Clarissa yang duduk di sebelahnya dengan sebungkus keripik kentang di tangannya.
“Gak semudah itu. Memangnya kamu bisa bolos dengan sangat mudah,” ejek kakaknya.
“Ah bilang saja kamu ingin ke sekolah karena ingin lihat Hayden,”
“Kata siapa?”
“Kata aku. Nih, masih hangat kalau aku yang bicara begitu,” ujar Clarissa dengan wajah jahilnya.
Vanika memukul-mukul adiknya dengan bantal sofa dan Clarissa langsung membalas kakaknya. Mereka saling memukul sampai tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.
“Siapa itu?” tanya kakaknya.
“Gak tahu, aku lihat dulu,” Clarissa bangkit dari tempat duduknya menuju ke depan.
Clarissa mengintip ke luar. Di luar ada sosok yang memakai blazer dan membawa sebuah payung berwarna putih.
“Mama! Van! Mama pulang!” teriak gadis jangkung itu sambil berlari-lari ke luar tanpa memedulikan derasnya hujan yang mengguyurnya.
Vanika berlari menuju teras dan melambaikan tangannya pada mamanya dan dibalas oleh senyum mamanya.
“Kamu jangan turun! Diam di situ!” perintah Clarissa pada kakaknya dengan wajah yang berbinar-binar.
***
Beberapa lama kemudian, mereka sudah berada di kamar mama. Mereka berdua rebahan di ranjang mama mereka sambil memeluknya.
“Kamu panas begini, sudah minum obat?” tanya mama sambil menyentuh beberapa bagian tubuh anak pertamanya.
“Sudah, ma,” jawabnya dengan mata terpejam.
“Sudah aku bilang, kamu izin sekolah untuk beberapa hari. Bolos sekolah itu bukan masalah besar,” celoteh Clarissa yang kemudian bangkit dari posisi rebahannya.
“Aku gak mau, aku mau sekolah,”
“Memang sejak kapan kamu jadi rajin ke sekolah?” cibir adiknya.
“Sudah, sudah. Eh, mama tadi bawa banyak cokelat. Coba kamu bawa tas mama yang berwarna hitam itu ke sini,” perintah mama pada anak bungsunya dengan menunjuk tas tersebut.
“Yang ini?” tanya Clarissa.
“Bukan, sebelahnya,”
“Oh ini,” ujar gadis berambut lurus itu sambil berjalan menuju ranjang dan memberikannya pada mamanya. Mama membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa bungkus cokelat juga membagikannya kepada kedua anaknya.
“Terima kasih, ma,” ucap kedua anak itu dan Clarissa langsung membuka sebungkus cokelat tersebut, kemudian langsung memakannya.
“Kamu gak makan?” tanya mama.
“Besok saja, ma. Lagipula aku sudah sikat gigi,” jawab Vanika.
“Sulit sekali hidupmu, padahal tinggal sikat gigi lagi,” ejek adiknya dengan coklat di bibirnya. Kakaknya melemparkan sebuah bantal kecil ke arah gadis itu.
“Besok pagi lihat saja keadaan kamu. Kalau membaik kamu boleh sekolah,” saran mama.
***
Benar saja, keesokan harinya keadaan Vanika semakin memburuk. Ia beberapa kali bersin dan terbatuk-batuk di meja makan. Bi Ika beberapa kali membantu gadis itu dengan memberinya minum dan menemaninya tepat di sebelahnya. Tadi malam mama menghubungi Bi Ika untuk tinggal bersama mereka di rumah itu karena dua gadis itu harus selalu diawasi.
“Tadi mama sudah hubungi wali kelasmu. Oh ya, Akhtar nanti datang ke sini sesudah pulang sekolah. Sekalian menjelaskan materi yang dipelajari supaya kamu tidak tertinggal pelajaran, tapi jangan terlalu dipaksakan,” kata mama dengan secangkir kopi di tangannya.
“Ya, ma,” jawab Vanika.
“Uhhh, kasihan sekali gak bisa ketemu Hayden untuk beberapa hari,” adiknya mengolok-olok dengan rambut ponytail yang bergerak ke kanan dan kiri di belakang kepalanya.
“Hayden? Hayden siapa?” tanya mama penasaran.
“Oh yang waktu itu? Pacar ‘kan?” tambah Bi Ika.
“Bukan! Dia bukan pacarku. Dia itu hanya teman di sekolah,” bantah Vanika.
“Masa?” goda Clarissa.
“Aku bilang bukan, Clarissa,” balas kakaknya sambil menendang kaki adiknya di bawah meja makan.
“Sudah, sudah. Mama sebentar lagi berangkat. Kalian baik-baik di rumah,” mama bersiap-siap dengan memakai high heels berwarna hitam yang mengkilat.
“Aku gak akan pernah bisa pakai sepatu seperti itu,” celetuk Clarissa sambil mengunyah sandwich ukuran ekstra.
“Suatu hari pasti bisa. Harus bisa,” balas mamanya.
“Gak akan pernah bisa, karena Clarissa itu jalannya seperti kuda,” ejek kakaknya diikuti tendangan kecil di bawah meja.
“Ish ish, mama berangkat ya. Kalian baik-baik di rumah,” mama pamit seraya mencium kepala anak-anaknya satu per satu.
***
Hari itu terasa sangat membosankan. Vanika banyak menghabiskan waktu dengan beristirahat di kamarnya dan di ruang tengah. Tidak ada yang menyenangkan. Bahkan, semua acara TV tidak ada yang menyenangkan.
Hujan mulai turun di siang hari. Vanika menyaksikan turunnya hujan di balkon lantai dua rumahnya. Halaman belakang cukup menyenangkan untuk tempat merenung dan mendengarkan suara hujan selalu membuat perasaan gadis itu menjadi lebih tenang. Bi Ika menyediakan segelas besar cokelat panas. Ia juga menyediakan satu piring besar sosis goreng. Vanika tersenyum lebar.
“Bi Ika tahu kamu suka sekali cokelat dan sosis goreng. Pokoknya, Bi Ika mah tahu semua makanan yang kamu suka,” kata Bi Ika dengan bangga.
Vanika memeluk wanita yang sudah ia anggap kakaknya sendiri itu. Usia Bi Ika memang tidak terlalu jauh darinya. Bi Ika berusia 7 tahun lebih tua dari Vanika. Wanita itu duduk di sebelah gadis bertubuh mungil itu.
“Kamu suka siswa yang namanya Hayden itu ya?” tebak Bi Ika.
“Gak, kata siapa ah,” bantah Vanika sambil menggigit salah satu sosis.
“Ihhh, jelas tahu,”
“Mungkin? Tapi aku sendiri juga masih ragu,”
“Sudahhh, bilang saja. Sekarang ‘kan kamu kelas 12, mending bilang saja. Soalnya, mungkin kamu gak akan punya kesempatan lagi di masa depan,” saran wanita itu.
“Oh ya?” tanya gadis itu dengan wajah ragu.
“Jangan sampai kamu menyesal loh,”
Mereka menikmati pemandangan turunnya hujan dengan cukup lama. Vanika menyandarkan kepalanya ke bahu wanita di sebelahnya, sedangkan wanita itu terlelap sambil bersandar pada sandaran tempat duduk besar itu. Tidak lama kemudian, hujan mulai berhenti dan Bi Ika terbangun dari tidurnya.
“Bi Ika, sebentar lagi Akhtar datang. Katanya dia bawa tiga orang lainnya,” ujar Vanika sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Oh siap, sebentar ya. Bibi bereskan dulu ini dan siapkan makanan untuk kalian,” Bi Ika mulai membereskan balkon.
“Sini, aku bantu ya,” Vanika menyingsingkan lengan cardigan-nya.
“Jangan! Jangan! Istirahat saja. Biar bibi yang kerjakan. Jangan lupa minum obatnya,” perintah Bi Ika sambil membawa sebuah nampan berisi piring dan gelas bekas menuju dapur.
Vanika sedang menuruni tangga dengan perlahan saat ia dikejutkan oleh suara bel rumah yang berbunyi dengan nyaring. Ia bergegas menuju luar rumah. Di luar gerbang sudah ada Akhtar, Joe, Aditya, dan Pramana. Vanika tersenyum karena Akhtar terlihat mungil saat berdiri di tengah teman-temannya yang bertubuh besar. Bahkan Joe, si Gadis Pemanah itu terlihat begitu gagah ketika berboncengan dengan laki-laki itu.
“Senang ya istirahat di rumah?” tanya Pramana sambil mendekatkan motornya ke arah gerbang.
“Ah membosankan,” jawab gadis yang sedang sakit itu sambil membuka gerbang dan mempersilakan teman-temannya untuk memasukkan motor-motor mereka, “ayo masuk!”
“Begitulah, di saat sekolah ingin libur, di saat libur ingin sekolah. Tapi aku? Mau di sekolah atau di rumah, aku lebih suka di rumah atau di tempat latihan,” ujar Joe sambil berjalan dengan kaki-kakinya yang jenjang. Ia memakai celana training dan jaket tim panahannya yang berwarna putih dan ada sedikit motif berwarna maroon. Ia berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Rambutnya diikat ke belakang dengan kuat.
“Joe itu terlihat seperti kakekku yang selalu mengeluh setiap saat. Tipikal kakek yang di pagi hari akan keluar rumah dan menongkrong di tukang bubur atau tukang kupat tahu terdekat dengan segelas kopi di tangannya dan berdiskusi dengan bapak-bapak lainnya tentang berita terbaru di koran atau TV,” kata Aditya sambil berjalan masuk.
“Jangan lupa bagian gorengan dan berbagai keluhan tentang negara,” sambung Pramana sambil tertawa.
“Atau, setiap pagi buta sibuk mengurus koleksi burungnya di depan rumah sambil pakai sarung. Di tangannya ada alat semprot dan bibirnya sibuk bersiul,” tambah Akhtar yang diikuti tawa teman-temannya.
“Hey, hey, aku gak begitu, tapi bagian nongkrong itu bisa dibilang benar,” protes Joe.
“Bedanya yang kamu bicarakan itu selalu tentang olahraga panahan,” ujar Vanika.
“…dan seribu satu cara membolos sekolah,” ejek Pramana.
“Itu bukan bolos. Itu dispensasi. Aku harus meninggalakan kegiatan belajar karena latihan. Aku berjuang keras untuk masuk tim nasional, kawan-kawanku tersayang,” jawab Joe dengan nada sarkastik.
“Ok, ok. Ayo masuk. Bi Ika sudah siapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar,” ajak Vanika sambil menepuk-nepuk punggung gadis jangkung yang berjalan di sebelahnya itu.
***
Ketika memasuki perpustakaan rumah itu, Akhtar langsung melempar tas ransel dan beberapa tas dagangannya yang isinya semua sudah laku terjual. Ia merebahkan diri di atas karpet tebal, sedangkan yang lainnya merebahkan diri di sandaran kursi masing-masing.
Bi Ika membawa banyak sekali hidangan. Ada beberapa tumpuk sandwich, beberapa roti dengan berbagai rasa, kue-kue kering, beberapa kaleng biskuit, berbagai macam cokelat, satu toples permen berwarna-warni, dua botol jus dingin, satu kotak besar susu, dan satu botol sirup rasa melon.
“Habiskan ya,” ujar Bi Ika sambil merapikan semuanya di atas meja perpustakaan yang besar itu.
“Wahhh. Bi Ika selalu tahu betapa rakusnya kita!” seru Joe dengan mata yang terbelalak.
“Kalian ‘kan lagi masa pertumbuhan ya?”
“Sepertinya Akhtar dan Vanika yang harus tumbuh lebih besar lagi,” jawab Aditya yang dibalas dengan tatapan tajam Akhtar.
“Aku cuma terlambat tumbuhnya,” balas Akhtar mencoba melakukan pembelaan.
Akhtar memang pernah menekuni beberapa bidang olahraga demi mendapatkan bentuk tubuh yang menurutnya ideal. Orang tuanya sering memberinya berbagai suplemen agar ia tumbuh tinggi. Bahkan, ibunya rutin membuatkannya susu tinggi kalsium setiap pagi hari. Satu gelas untuk diminum saat sarapan dan satu botol untuk bekalnya.
Di malam hari pun Akhtar harus meminum susu tepat sebelum tidur. Seringkali ia iri kepada kakaknya, Akhyar yang memiliki tubuh tinggi. Akhyar merupakan salah satu mahasiswa jurusan Seni Rupa di salah satu universitas negeri ternama di kota itu.
“Pokoknya harus habis! Bibi tinggal ya!” Bi Ika pergi dan menutup pintu perpustakaan.
“Percayalah. Niat kita itu menengok dan belajar, tapi pasti kita berakhir sibuk menghabiskan semua ini dan terlalu lelah untuk belajar,” ujar Pramana sambil melahap sebuah roti dengan sangat semangat.
“Kalian istirahat saja. Biar aku yang belajar. Mana materi hari ini. Tar?” tanya Vanika pada sahabatnya yang sekarang sudah bangkit dari karpet dan sedang sibuk memasukkan beberapa butir permen ke dalam mulutnya.
“Ada di tas. Ambil saja. Cari sendiri,” jawabnya.
Vanika mengeluarkan beberapa buku dari ransel milik kawannya dan mulai membaca juga menyalin beberapa materi terbaru, sedangkan teman-temannya sibuk menyantap hidangan-hidangan di atas meja.
“Percayalah, kalau aku tinggal di sini, berat badanku akan naik terus,” ujar Joe sambil merebahkan dirinya pada sandaran kursi. Semua makanan sudah habis dengan bersih.
“Sungguh hidup yang terjamin,” tambah Aditya yang baru saja menghabiskan jus di gelasnya.
“Apa ada yang mau kalian makan lagi?” tanya Vanika sambil membereskan buku milik sahabatnya itu.
“Sudah, Nona. Terima kasih yang sebesar-besarnya. Lihat ini! Aku bahkan kesulitan bangun,” jawab gadis jangkung itu.
“Eh, ngomong-ngomong gimana kabar si gadis di game itu, Tar? Yang kamu taksir itu,” tanya Pramana.
“Lumayan lah. Kami semakin dekat. Baru chat biasa. Belum sampai ngobrol intensif kayak lewat telepon,” jawabnya.
“Awas loh kamu ditipu. Kamu harus tetap hati-hati,” pesan Vanika.
“Ngomong-ngomong, Hayden gimana?” tanya Pramana kepada Vanika.
“Entah, aku belum pernah ngobrol misalnya saling berbalas pesan atau hal begitu,” balas gadis itu.
“Ah dia itu kelamaan untuk membuat suatu pergerakan,” protes Akhtar.
“Eh, entah ini benar atau salah. Bukannya Hayden itu pernah dekat atau pernah ada hubungan dengan salah satu siswi di XII IPS 3? Siapa itu namanya? Emily?” tanya Joe.
“Gosip dari mana itu, Joe?” tanya Aditya.
“Anak-anak perempuan di kelasku pernah bergosip begitu. Aku sendiri ragu,”
“Emily itu yang mana sih?” tanya Akhtar penasaran.
“Itu, yang rambutnya lurus dan dibelah tengah. Siswi yang biasa kumpul-kumpul bareng Aida dan Nesya. Nesya teman satu kelas Emily juga,”
“Oh itu, ya. Mungkin gosip?” balas Akhtar.
“Ah aku gak tahu,” jawab Joe sambil mencoba mengingat-ingat lagi.
“Memang apa yang kamu tahu selain olahraga Joe?” cibir Pramana.
“Aku itu cuma gak peduli masalah hidup orang lain. Aku dekat sama Hayden, tapi aku begitu gak peduli dan dia juga begitu tertutup,” balas gadis dengan ponytail itu.
Vanika hanya diam memperhatikan teman-temannya mengobrol. Ia bingung sekaligus sedikit kecewa mendengar gosip itu. Pramana melihat wajah Vanika yang terlihat kecewa.
“Mereka gak pacaran. Gak pernah. Mungkin lebih bisa disebut unfinished business? Entahlah” kata Pramana dengan wajah tenangnya.
“Unfinished business?” tanya Joe.
“Itu semacam urusan yang belum kelar, Joe,”
“Aku tahu, aku tahu. Maksudku unfinished business semacam apa?”
“Jadi begini…” Pramana memulai ceritanya.
“Jadi begini,,,,”Vanika, Joe, Akhtar, dan Aditya memajukan tubuh mereka dengan wajah mereka yang terlihat sangat antusias.“Sudah! Tamat! Kalian cari tahu sendiri ceritanya,” ujar Pramana yang diikuti tendangan kaki dari Joe yang kesal.“Menyebalkan!” Vanika melemparkan buku pada temannya yang bertubuh gempal itu.“Aku takut salah bicara. Kalian tanya saja langsung ke orangnya,”“Eh, sekarang sudah terlalu sore. Kita harus pulang secepatnya. Aku juga harus bantu ibu aku untuk jualan besok,” kata Akhtar sambil melihat arlojinya.“Aku masih ingin di sini tapi ternyata sudah sesore ini,” keluh Joe sambil merapikan bajunya.“Ya sudah nanti kita ketemu lagi kok,” hibur Vanika sambil membuka pintu perpustakaan.“Kita bereskan bekas makanannya ya?” Aditya mulai mengambil beberapa piring di meja.“Sudah, jangan. Biar nanti aku dan Bi Ika yang bereskan,”Tidak lama kemudian mereka berjalan menuju gerbang. Pramana dan Akhtar menyalakan motor masing-masing.“Clarissa belum pulang?” tanya Joe pa
From: Hayden IrawanTo: Vanika Xavera TedjaDear Vanika,Aku gak begitu pandai merangkai kata-kata, so… “I just wanna tell you somethingLately you’ve been on my mind”(Adore You - Harry Styles) “I know I shouldn’t tell you but I just can’t stop thinking of you” (Wherever You Are - 5 Seconds of Summer) “Before you came into my life everything was black and whiteNow all I see is colour like a rainbow in the sky” (Colour – MNEK ft Hailee Steinfeld) “I can’t write one song that’s not about youCan’t drink without thinkin’ about youIs it too late to tell you that everything means nothing if I can’t have you?”(If I Can’t Have You - Shawn Mendes) “Anyone who’s seen us knows what’s goin’ on between usIt doesn’t take a genius to read between the linesAnd it’s not just wishful thinking or only me who’s dreamingI know what these are symptoms ofWe could be in love”(We Could be In Love - Brad Kane ft Lea Salonga) “Love doesn’t come in a minuteSometimes it doesn’t come at allI o
Jantung Vanika hampir saja copot. Kedua mata bulatnya membesar karena sangat terkejut bahwa laki-laki yang seharian ini dihindarinya sekarang tepat berada di sampingnya. Vanika melihat Jimmy sudah menurunkan lambaian tangannya dan berlalu begitu saja.“Nonton Jimmy latihan?”“Aku hanya kebetulan diajak Akifa istirahat di sini. Dia sekarang lagi di toilet,” jawab Vanika.Tiba-tiba dua orang sahabat Jimmy yang lewat sambil menepuk bahu Vanika.“Ciee nonton Jimboy main bola,” ujar mereka berdua sambil berlalu dan tertawa.Dua laki-laki itu bernama Huang dan Derry. Mereka berdua adalah sahabat kental Jimmy sejak kelas 10. Jimmy, Huang, Derry, dan Vanika dahulu berada di kelas yang sama, yaitu kelas X-A. Sudah menjadi rahasia umum di kelas X-A kalau gadis berkulit putih itu sangat menyukai Jimmy.“Oh lagi nonton Jimmy main bola,” ucap Hayden.“Ya, aku sekalian nonton dia latihan. Rasanya sudah lama gak lihat dia main secara langsung,”Hayden tersenyum, “Tenang saja, aku juga suka kalau dia
Hayden tersenyum di sepanjang jalan pulang. Ia merasa tidak pernah sebahagia ini. Ia memasuki halaman rumah bergaya khas zaman Belanda itu dengan perasaan riang. Rumah dengan satu lantai tersebut memiliki halaman dan bagian teras yang luas. Cat temboknya berwarna putih bersih dan bangunannya sangat luas. Di bagian depan terdapat beberapa pilar beton yang kokoh. Rumah itu juga dihiasi beberapa jendela kuno yang berukuran besar dan indah.Laki-laki bertubuh tinggi itu memasuki ruang tamu dan di situ terdapat adiknya yang sedang asyik bermain puzzle. Audrey masih berusia 9 tahun. Tubuhnya tinggi dan ramping. Panjang rambutnya tepat sebahu dan keriting. Terlihat klasik.“Kakak pulang, Rey,” sapa Hayden yang menghampiri adiknya dan mencium keningnya.“Kakak lama. Mama juga belum pulang,” keluh Audrey.“Ya, maaf. Kamu sudah makan ‘kan?” tanya kakaknya.“Udah,” jawab adiknya.“Kakak beres-beres rumah dulu ya, Rey. Ini kakak bawa cokelat untuk kamu,” Hayden memberikan sebatang besar cokelat p
Vanika membuka jendela sedikit dan perlahan-lahan. Ia begitu senang kekasihnya muncul di tengah kejenuhannya.“Hey, aku gak bisa lama, sebentar lagi aku harus segera pergi,” ujar Hayden.“Ada apa? Kenapa?”“Aku dipanggil ke ruang guru untuk persiapan olimpiade. Di kelas lagi gak ada guru juga. Nanti, setelah bel pulang aku harus latihan paduan suara sebentar. Katanya Pak Fairuz mau kumpulkan semua siswa laki-laki untuk latihan vokal. Nah, tadi Pak Ade katanya mau minta tolong kamu untuk urus beberapa hewan setelah pulang sekolah. Sesudah bel kamu tunggu Pak Ade di tempat duduk pinggir lapangan ya. Setelah semuanya selesai aku hampiri kamu. Jadi pulangnya kita bisa bareng,”Pak Ade adalah salah satu pegawai di sekolah yang bertanggung jawab mengurus hewan-hewan peliharaan sekolah. Sekolah itu memelihara beberapa macam burung, beberapa ekor kelinci, berbagai jenis ikan, beberapa ekor kucing dan anjing, juga beberapa ekor reptil.“Oh ok, terima kasih ya infonya,” jawab Vanika.“Heh, Hayd
“Ada apa, Jimmy Mahardika?” tanya Hayden dengan wajah yang begitu dingin.Jimmy mendekat dan duduk di kursi sebelah kiri ranjang. Ia memberikan tas itu kepada Vanika. Jimmy memperhatikan Vanika dengan wajah yang cemas.“Kamu basah begini. Kamu gak apa-apa ‘kan?” tanya laki-laki itu.“Gak apa-apa, Jim,” jawab Vanika pada sahabatnya itu.Jimmy memegang lengan gadis itu, “ada yang luka? Bagian mana yang sakit?”“Tenang, Jim. Aku gak apa-apa kok,” balas gadis itu.“Mau aku temani?” tanya laki-laki bermata cokelat itu.“Gak usah, aku pasti temani Vanika. Nanti aku juga yang antar dia pulang,” sambar Hayden dengan wajah datarnya.“Ya sudah, aku pulang duluan ya, Van. Hati-hati selalu,” pesan Jimmy sambil menggenggam erat tangan Vanika.Sadar bahwa itu pasti menyakiti hati kekasihnya, gadis itu menarik tangannya dari genggaman tangan Jimmy. Jimmy memeluk sahabatnya itu dengan singkat.“Bye, Van,” ucap Jimmy dengan senyumnya yang hangat.“Hati-hati, Jim,” pesan gadis itu.Joe menerobos masuk
“Jangan dengar omong kosong yang gak jelas,” bisik orang yang menutup telinganya.Emily yang melihat orang itu menutup telinga Vanika langsung pergi dengan wajah yang terlihat kesal.“Kak Jonathan!!” seru Akifa dengan wajah senang.Vanika melihat siapa orang yang menutup telinganya sekaligus berbisik tepat di telinganya. Orang itu Joe.“Jonathan? Kenapa kamu panggil dia Jonathan?” tanya Vanika pada adik kelasnya itu.“Semua anak di kelasku panggil Kak Joe itu Jonathan,” jawab Akifa.“Jonathan? Lumayan,” balas Joe dengan senyum.Ia duduk seperti seorang laki-laki. Ia tidak memakai roknya. Ia memakai kemeja lengkap dengan rompi abu-abu dan celana panjang yang biasa ia pakai untuk latihan memanah. Kancing bagian atas kemejanya terbuka dan bagian bawah kemajanya keluar dari celananya begitu saja. Bahkan, ia tidak memakai dasinya.“Ke mana dasi kamu?” tanya Vanika.“Ada, nih, di saku,” Joe menunjukkan dasinya yang ia simpan di saku celananya.“Eh kenapa mata kamu bengkak, Akifa?” sambung J
Pak Adrian menatapnya memastikan bahwa gadis itu sudah tidak merasakan sakit di kakinya. Tidak lama kemudian Hayden dan Joe menghampiri mereka.“Saya sudah tidak apa-apa, Pak,” jawab Vanika.Aneh. Mereka tidak dekat, tapi ia merasa tidak asing dengan tatapan pria muda itu. Ah mungkin dulu mereka pernah bertemu di suatu tempat, pikir Vanika.“Tenang, Pak. Ada saya dan Hayden. Bapak bisa percaya kami berdua,” ujar Joe.“Saya tadi perhatikan kamu dari jauh jadi saya langsung bergerak cepat ketika kamu kesakitan,” kata guru PPL itu kepada gadis di hadapannya.“Tenang, Pak. Ada kami,” tambah Hayden.“Baiklah, tapi kalau ada apa-apa hubungi saya ya,” pesan Pak Adrian.“Baik, Pak,” jawab gadis itu.Guru itu pergi meninggalkan mereka. Joe melihat kaki Vanika dan berlutut sambil memijat-mijat bagian yang tidak dikompres.“Katanya dia perhatikan kamu,” goda gadis tomboy itu.“Ah, dia ‘kan guru. Tadi dia juga bilang begitu ke Satrio,” balas Vanika.“Kamu harus hati-hati. Jangan-jangan dia itu ti
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah