Pak Adrian menatapnya memastikan bahwa gadis itu sudah tidak merasakan sakit di kakinya. Tidak lama kemudian Hayden dan Joe menghampiri mereka.“Saya sudah tidak apa-apa, Pak,” jawab Vanika.Aneh. Mereka tidak dekat, tapi ia merasa tidak asing dengan tatapan pria muda itu. Ah mungkin dulu mereka pernah bertemu di suatu tempat, pikir Vanika.“Tenang, Pak. Ada saya dan Hayden. Bapak bisa percaya kami berdua,” ujar Joe.“Saya tadi perhatikan kamu dari jauh jadi saya langsung bergerak cepat ketika kamu kesakitan,” kata guru PPL itu kepada gadis di hadapannya.“Tenang, Pak. Ada kami,” tambah Hayden.“Baiklah, tapi kalau ada apa-apa hubungi saya ya,” pesan Pak Adrian.“Baik, Pak,” jawab gadis itu.Guru itu pergi meninggalkan mereka. Joe melihat kaki Vanika dan berlutut sambil memijat-mijat bagian yang tidak dikompres.“Katanya dia perhatikan kamu,” goda gadis tomboy itu.“Ah, dia ‘kan guru. Tadi dia juga bilang begitu ke Satrio,” balas Vanika.“Kamu harus hati-hati. Jangan-jangan dia itu ti
Vanika melihat kekasihnya dengan hati yang sedikit terasa sakit. Laki-laki di sebelahnya baru saja mengatakan bahwa ia dan Emily memiliki hubungan yang begitu dekat. Bahkan lebih dekat dari hubungan persahabatan. Gadis berambut cokelat tua itu hanya diam dan tidak mengatakan apapun.“Waktu itu Emily pindah ke sekolahku. Usia kami waktu itu 9 tahun. Dia pindah dari ibu kota dan dia sulit adaptasi dengan lingkungan baru. Dia sering kelihatan sendiri dan gak begitu pandai bergaul. Kedua ibu kami ternyata bersahabat sejak SMA dan akhirnya ibunya sering menitipkan Emily kepada aku. Aku mencoba jadi sosok teman yang baik untuk dia. Dia anak tunggal yang sering ditinggal orang tuanya bekerja dan aku berusaha jadi sosok saudara yang baik juga untuk dia,”Vanika memperhatikan cerita kekasihnya dengan teliti dan penuh perhatian.“Semuanya bertambah buruk saat ibunya meninggal. Saat itu kami masih berusia 12 tahun. Emily yang pada dasarnya sering merasa kesepian langsung merasa terpuruk. Ayahnya
Vanika datang menghampiri sahabatnya dan menyentuh punggung laki-laki itu. Akhtar mengalihkan pandangannya pada gadis itu dan mengelap air mata di wajahnya. Vanika duduk di sebelahnya dan tidak berkata apa-apa.“Van kenapa ya banyak orang yang gak suka aku? Apalagi perempuan,” keluh Akhtar.“Kata siapa?” tanya sahabatnya.“Aku bahkan dipermainkan orang. Kayaknya aku pecundang sejati ya?” ujar laki-laki itu lagi.“Kamu bukan pecundang, Tar. Banyak kok orang yang sayang dan suka kamu,” jawab Vanika dengan senyum hangat.“Seharusnya waktu itu aku dengar kalian supaya hati-hati dan jangan mudah percaya orang lain,”“Sudah, jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Lagipula itu ‘kan sudah lewat,”“Van, kamu tahu ‘kan kalau di rumah aku yang paling payah? Ayah aku seorang dekan yang sukses, ibu aku itu ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yang luar biasa, dan kakak aku mahasiswa di salah satu universitas yang paling bergengsi di kota ini atau bahkan negara ini! Coba lihat aku! Aku bukan apa-apa
BRUKKK!!!!Suara dari sebuah tas selendang yang dilempar ke atas lantai terdengar begitu keras. Gadis berambut lurus itu merebahkan diri di atas ranjangnya. Ia mencoba menahan air mata agar tidak keluar dari matanya yang besar itu.“Aku punya banyak teman, tapi kenapa aku begitu kesepian?” pikirnya.Suara ketukan dari pintu menyadarkannya.“Emily, ayo makan malam dulu!” panggil Bi Mimi, asisten rumah tangganya.“Nanti saja!” sahut gadis itu sambil menutup wajahnya dengan sebuah bantal.Tiba-tiba ia bangkit sambil memeluk bantalnya dan menatap foto yang terpajang di meja belajar miliknya. Foto itu disimpan di dalam sebuah figura kayu. Sebuah potret yang diambil beberapa tahun lalu saat penerimaan siswa baru di SMA.Waktu itu ia merasa sangat bahagia. Hal itu tercermin dari senyum lebarnya di foto tersebut. Di sebelahnya ada laki-laki yang selama ini ia cintai. Seperti biasa, laki-laki itu memasang senyum tipis dan terkesan dingin, tapi sebenarnya ia berhati hangat. Ia adala
Ucapan Emily memang benar-benar membuat semua orang di situ terkejut. Siapa yang tidak tahu hubungan Hayden dan Vanika?“Semalam? Cokelat?” tanya Joe dengan wajah yang bingung.Hayden, Emily, maupun Vanika tidak ada yang menghiraukan pertanyaan Joe.“Ya, dengan senang hati,” jawab Hayden kepada Emily dengan senyum tipis.Emily tersenyum dan pergi diikuti oleh Aida dan Nesya. Nesya tersenyum sambil menepuk punggung Emily, sedangkan Aida tersenyum kecil pada Vanika. Jimmy memperhatikan raut wajah sahabatnya. Tidak terlihat ada rasa kecewa ataupun bahagia. Gadis itu hanya menampilkan raut wajah datar tanpa ekspresi.“Kita semua pernah makan cokelat. Itu hanya cokelat, bukan masalah besar,” ucap Vanika yang membuat Hayden mengernyitkan dahinya.Akifa berlari mendekat dan berhenti dan nafas yang terengah-engah.“Kak Jimmy, Kak Hayden, dan …” ia melihat ke arah Nanda dan memanggilnya, “Kak Nanda! Sini!”Nanda mendekat dengan sebuah buku super tebal di tangannya.“Nah, aku tadi disuruh pangg
Laki-laki itu menatapnya dengan hangat. Ada kesan berbeda pada dirinya. Ia terlihat lebih…. manusiawi? Vanika menatap lekat kedua mata indah yang sipit itu. Namun, matanya terlihat lebih tajam. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam pandangannya. Akhir-akhir ini memang laki-laki itu jarang sekali memakai kacamata, tapi bukan itu yang membuatnya berbeda.“Aku tadi cari kamu di sekolah, tapi gak ada. Aku telepon juga kamu gak aktif,” ujar laki-laki tampan itu sambil menyentuh tangan kekasihnya.“Handphone aku mati,” jawab gadis itu.“Makanya aku datang ke sini. Ternayata kamu belum juga pulang, tapi untung ada Aditya yang antar kamu,”“Ya, kami tadi cari makan dulu,”“Baguslah, aku khawatir,” balas Hayden dengan memeluk gadis di hadapannya.“Tenang saja. Aku aman. Gak akan ada orang yang mau culik aku. Aku makan terlalu banyak, nanti mereka kesusahan,” ujar Vanika yang membuat kekasihnya tertawa.“Lain kali kabari aku,”“Ya. Ngomong-ngomong aku gak lihat motor kamu,”“Bi Ika suruh aku masuk
Vanika menatap layar itu dengan sedikit bingung. Foto yang dilihatnya itu jelas foto Jimmy. Hayden menatapnya dan memberi isyarat agar mengangkat panggilan suara itu. Vanika mengangkat panggilan itu. Suara riuh terdengar dari panggilan itu. Tiba-tiba suara yang sudah tidak asing lagi terdengar dengan sangat keras. Berteriak.“Vanika!!!!”“Joe?!” sahut Vanika setengah berteriak.“Sebentar, sebentar, aku ke tempat yang agak sunyi dulu. Nah! Vanika! Kamu di mana? Dengan siapa?”“Kalau sudah sunyi kamu gak usah berteriak begitu. Aku? Hmmm di rumah. Ada apa? Kenapa kamu pakai nomor Jimmy? Benar ‘kan ini nomor Jimmy?”“Kenapa? Kamu kaget?” tanya Joe dengan tawa menyebalkannya, “aku lagi di sekolah karena ada latihan hari ini. Hari ini juga ada pertandingan persahabatan futsal. Jimmy ikut bertanding. Jadi aku pakai handphone dia,”“Lalu?” tanya Vanika.“Kamu ingat Yama?”“Yama? Yama siapa?” tanya Vanika kebingungan.“Itu loh si penipu. Maya? Yang menipu Akhtar,”“O ya! Kenapa? Ada apa?”“Dia
Vanika melambaikan tangan sebagai isyarat bahwa gerbang itu tidak dikunci sehingga ia bisa langsung masuk ke rumah itu. Tidak lama kemudian mereka memasuki dapur. Akhtar melihat dapur begitu sibuk. Berbagai wangi kue-kue membuat laki-laki berkumis tipis itu mengambil satu keping biskuit dan mencicipinya dengan mata yang tertutup, tanda ia sangat menikmatinya.“Di sini akan ada acara apa, Van?”“Sore nanti aku mau ke rumah Hayden bareng Clarissa dan juga adiknya, Audrey,”“Dia ulang tahun atau acara apa?”“Gak, kamu tahu kan ibu Hayden seperti apa? Kalian pernah bertemu waktu kenaikan kelas ‘kan? Atau setiap pertengahan semester?” tanya Vanika pada sahabatnya.“Ya, kasihan. Ibunya jadi seperti itu. Begitu layu semenjak kepergian mendiang suaminya,”“Kamu tahu dari mana?”“Ayah kami ‘kan berteman waktu dulu. Mendiang ayah dia itu dosen di kampus tempat ayah aku mengajar juga. Dulu ibunya aktif melakukan berbagai kegiatan. Ibunya cantik ‘kan? Beliau itu terkenal karena kecantikannya. Waj
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah