Share

Bab 5 : Suara Yang Memanggilku

Penulis: Vincent Marteen
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Cahaya perlahan mulai merasuk ke dalam kelopak mataku, tubuhku terasa berat. Manik mata zamrudku berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Seketika aku terkesiap saat melihat sesosok lelaki bersurai pirang bergelombang dengan manik mata semerah batu delima. Ia memandangiku dengan senyuman terlukis di wajahnya. ''Selamat pagi!'' ucapnya dengan nada yang main-main. Mataku terbuka lebar, namun dengan cepat aku teringat kembali dengan situasi yang kuhadapi.

Ini adalah kamar milik Vincent, tentunya bukan hal yang aneh apabila dia disini kan? Akulah yang seharusnya tak ada di sini.

''Ini masih jam tiga pagi, kau lanjutkan saja tidurmu.'' Vincent bangkit dan berbaring di sebrang ranjang. Ranjang yang kami tempati cukup besar. Walau ditempati dua orang, masih tersisa jarak sekitar setengah meter diantara kami.

Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar suara apapun dari Vincent. Mungkin ia sudah tidur, disisi lain aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu was-was dengan berbagai hal. Aku menengok ke arah Mammon, tapi tak ada tanda-tanda bahwa ia sudah sadar.

[ ... mari.]

Suara apa itu?

[Kemari.]

Aku terduduk di ujung kasur. Rasa cemas berkecamuk dalam diriku. Suara itu seperti hendak membimbingku ke suatu tempat. Aku melirik ke arah Vincent yang sudah tertidur, 'Semoga aku tidak membangunkannya.' batinku.

Suara lirih itu asalnya dari luar. Haruskah aku keluar? Aku sebenarnya tidak mau keluar dari sini, karena bagaimana pun aku adalah orang yang diselundupkan oleh Vincent, dan aku tidak mau karena kemurahan hatinya padaku menjadikannya dalam masalah.

Seolah ditarik dengan magnet, suara itu dengan paksa membawaku ke suatu tempat. Pikiranku seperti dikendalikan, di luar kesadaranku tangan kananku sudah memutar kenop pintu. Sebuah lorong dengan lantai berbatu terpampang dengan jelas di hadapanku. Penerangan di lorong dihiasi oleh lentera yang diisi kunang-kunang. Lorong ini tampak temaram. Namun bukannya rasa khawatir yang kurasakan, namun rasa penasaranku lah yang memuncak. Setelah menutup pintu, kedua kakiku berjalan menyusuri lorong.

Sebuah aula besar yang tampak megah ada di sana, di tengah aula terdapat sebuah bola kaca besar yang bersinar terang. Intuisiku mengatakan bahwa bola itulah yang memanggilku, kedua tanganku perlahan mendarat di bola kaca itu, bersamaan dengan suara serak yang berasal dari podium. Seseorang dengan jubah panjang berwarna hitam dengan topi besar menutupi separuh wajahnya muncul.

''Jadi kau ya?''

Seketika aku tersadar apa yang telah aku lakukan, kedua tanganku bergetar. Gawat, Vincent akan terkena masalah karena kecerobohanku!

''Aah, saya ...,'' Otakku berusaha berpikir keras tentang alasan apa yang harus kuutarakan, tapi tak berbesit apapun yang dapat mengeluarkanku dari situasi ini. Orang itu menghampiriku dan meletakkan kedua tanganku di atas bola itu lagi.

''Jangan dilepas, rasakan pelan-pelan.''

Aku yang kebingungan memilih untuk menurut. Bola itu bersinar semakin terang hingga terlihat sedikit retakan di salah satu sisinya. Orang itu tampak terkesan karena sebuah senyum terlukis di wajahnya. ''Nak, kenapa kau tidak mencoba untuk masuk ke sekolah ini?''

Kedua mataku mengerjap bingung, ''Apa?''

''Sebelumnya perkenalkan, aku adalah kepala sekolah sihir ini. Orang-orang memanggilku Sage.'' Orang itu menundukkan sedikit badannya untukku.

''Apa itu bukan nama aslimu?'' tanyaku penasaran. Orang itu menggeleng sebagai balasan. Tiba-tiba ia mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu dengan pena yang ada di sakunya. ''Ini surat pengantar dariku jika kau ingin mencoba untuk masuk ke sekolah ini, kau bisa minta tolong pada Vincent kalau mau.'' Ia menyerahkan secarik kertas itu padaku sebelum berbalik dan berjalan menjauh, suara sepatu kulitnya menggema di seluruh aula. Aku masih membatu hingga sosok itu sepenuhnya pergi dari pandanganku.

'' ... Jadi memang betul ia tahu aku di selundupkan oleh Vincent. Gawat, apa yang harus kuucapkan padanya nanti?'' gumamku sambil mengusap rambut brunette milikku gusar.

Aku dengan cepat kembali ke kamar Vincent, mencoba untuk tidur. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia terbangun, begitu juga dengan Mammon. Aku menutup kedua mataku dengan paksa, dan perlahan kesadaranku mulai menghilang.

Suara cicitan burung bersahut-sahutan, mataku belum terbuka, tapi aku bisa merasakan ada sebuah tangan yang menepuk tubuhku. ''Hei, maaf menganggu tidur nyenyakmu ... tapi master menyuruhku untuk membangunkanmu.'' Sebuah suara bass terdengar, kelopak mataku perlahan terbuka dan disambut oleh seorang lelaki bersurai hitam yang menampakkan ekspresi khawatir.

''Siapa kau?'' tanyaku was-was, lelaki itu mundur dan menunduk. ''Aku Beelzebub, servilliance milik Vincent Anasthasius. Aku diperintahkan untuk membangunkanmu ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan.''

Aah, jadi dia bentuk manusia dari servilliance milik Vincent?

''Kemana Vincent?'' Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, tetapi lelaki flamboyan itu tak kutemukan di sini.

''Dia dipanggil oleh kepala sekolah.''

Bagaikan disengat ratusan petir di siang bolong, tubuhku seketika menegang. Apa ini perihal kemarin? Sial, harusnya aku tak menyelinap keluar waktu itu!

''Gawat ...,'' gumamku sambil mengacak surai brunette-ku frustasi. Theo bodoh, harusnya kau bersyukur ada orang yang baik yang sudi membantumu, tapi kau malah membalasnya seperti ini!?

Seakan mengerti akan kekhawatiranku, Beelzebub menepuk pundakku perlahan. ''Tidak apa-apa, kurasa ini bukan masalah besar.'' ucapnya dengan nada yang menenangkan, tapi tetap saja rasanya rasa bersalah ini berkecamuk dalam diriku.

''Nghh ... ada apa sih, kenapa ribut sekali?'' Sebuah suara membuatku tersadar dari lamunanku. Mammon sudah sadar! ''Mammon, bagaimana keadaanmu?'' tanyaku, berusaha mengalihkan pikiranku sejenak.

''Buruk. Entahlah, rasanya memalukan hanya karena hal sekecil itu aku sudah ambruk.'' Omelnya padaku, saat ini ia masih ada di form kucingnya tentu saja, jadi omelannya terkesan lucu. ''Oh, ada Beelzebub disini?''

''Hai, lama tak jumpa.'' Sapa lelaki surai sehitam malam itu, kini ia duduk tepat disamping ranjang mini milik Mammon. ''Tunggu sebentar lagi, semoga Vincent datang membawa obat.''

Aku mengangguk, mengharapkan hal yang sama. Sekaligus berharap bahwa Vincent tak terkena imbas dari eksistensiku di sini. Menit demi menit berlalu, sekitar 45 menit kemudian kenop pintu ruangan kami terbuka dan menampakkan sesosok lelaki pirang gelombang bersurai merah delima itu.

''Vincent! Bagaimana!?" tanyaku dengan nada panik. Ia memiringkan kepalanya, sedikit bingung dengan reaksiku. ''Aah, ya ... aku dipanggil kepsek. Apa kau bertemu dengannya semalam?''

Aku mengangguk lemas, ''Iya. Jika aku disuruh pergi, aku akan melakukannya sekarang. Terima kasih atas bantuanmu ... '' Aku hendak menggendong Mammon pergi, tapi kerah bajuku ditarik oleh Vincent.

''Tidak, tidak, tidak. Tunggu, dengarkan dulu penjelasanku. Kenapa kau sangat yakin bahwa dirimu akan diusir?'' Sebuah kekehan kecil keluar dari mulut lelaki itu. Kedua mataku mengerjap bingung. Tampaknya hanya dengan melihat ekspresiku, tawanya membuncah.

''Astaga, ekspresimu lucu sekali ...,'' Ia menyeka setitik air mata yang keluar dari ujung matanya. ''Jangan terlalu panik. Pak kepala sekolah bilang, ia ingin kau bersekolah disini. Tidak semua orang bisa dapat tawaran seperti ini, lho!''

''Hah?'' Rasa heranku melonjak, ''Aku bahkan tak bisa sihir ... bukankah ini sekolah sihir?''

''Jika kau membuat kontrak dengan servilliance, itu tandanya kau mempunyai kemampuan untuk melakukan sihir. Tidak tahukah servilliance-mu adalah salah satu dari jajaran tujuh servilliance terkuat?'' Vincent menatap Mammon yang ada di dekapanku.

Aku terdiam. Benarkah begitu? Apa aku punya kemampuan untuk melakukannya?

''Tapi, seperti yang lainnya. Kau punya kewajiban untuk melakukan tes masuk terlebih dahulu. Acherona adalah sekolah sihir terkemuka dan tak semuanya bisa masuk ke sini.'' terang Vincent, aku mengangguk.

''Tetapi, siapa yang akan mengajariku?''

Mendengar pertanyaanku, seringai Vincent merekah di wajah pucat miliknya yang semulus porselen. ''Aku senang kau bertanya. Aku dan temanku lah yang akan mengajarimu.''

''Pemilik dari servilliance of Wrath, Amon. Yang akan menjadi mentormu.''

Bab terkait

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Prolog

    Bau amis memenuhi udara, banyak tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Langit pun menjadi merah seakan-akan merefleksikan kolam darah yang ada di tanah. Taman yang tadinya indah dipenuhi oleh berbagai bunga beraneka warna, suara cicitan burung bagai alunan lagu, serta paviliun marmer yang berdiri tegak sekarang runtuh berantakan. Empat sungai yang dipenuhi makhluk air kini tandus mengering. Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Taman Eden, taman yang indah yang disebut-sebut sebagai bagian dari surga. Tempat dimana Adam dan Hawa diturunkan ke dunia karena memakan buah terlarang. Taman yang indah ini kini dihancurkan oleh seseorang yang mereka kira kawan mereka sendiri, seorang malaikat. Malaikat itu adalah Kokhabiel, malaikat dengan julukan ''Angel of stars''. Kokhabiel dengan 200 pasukannya kini tengah berdiri dengan puas, melihat keadaan para malaikat penjaga Eden bergelimpangan tidak berdaya. ''Jika Michael datang kemari maka habislah riwayatmu.'' Salah seorang malai

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 1 : Malam Itu

    Aku menutup buku yang baru saja kubaca. Buku usang bersampul merah tua yang aku pegang saat ini adalah buku yang baru saja kubeli dari seorang kakek yang singgah di dekat rumahku. Aku merasa iba karena kakek itu tampak kelaparan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang ia jual ini. “Kejatuhan Taman Eden,” itulah judulnya. Daripada buku novel, ini lebih seperti buku mitologi. Saat aku sedang asyik memandangi buku itu, tiba-tiba adik perempuanku menarik lengan bajuku, “Kak Theo, kak Dominique sudah sampai.” ucapnya. Aku pun bangkit dari bangkuku, refleks menaruh buku itu di meja. Dapat kulihat seorang laki-laki sepantaranku berdiri di sana. Walau dengan cahaya temaram dari teras rumah, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Rambut hitam dan mengenakan kacamata persegi, tatapan yang sedingin salju, dengan bulu mata yang lentik serta kulitnya yang pucat. Sosok itu adalah sahabatku, Dominique Prescott. Kami bersahabat sejak masih bayi karena pekerjaan ayah kami yang sama-sama s

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 2 : Bukan Kucing Biasa?

    ''Theo, kalau kau pergi jangan lupa kunci rumahnya ya.'' ucap ibuku di depan pintu. Ia menggandeng adikku untuk pergi ke sekolah sebelum pergi ke kantor. Aku tersenyum, ''Iya bu, aku sudah bukan anak kecil lagi lho.''''Tapi sampai kapanpun kau tetap anak ibu,'' Wanita paruh baya itu menghela napasnya. ''Baiklah kami pergi dulu, Tia bilang 'selamat tinggal' pada kakak.''''Selamat tinggal kak!''Senyumku belum luntur saat aku mengantar mereka sampai di depan pagar. Hari ini aku tidak ada kelas pagi, jadi aku bisa mengurus kucing yang aku bawa kemarin. Keadaanya sekarang sudah baik-baik saja, walau ia tak banyak bergerak.''Setelah ini kita pergi ke dokter hewan ya.'' Aku mengelus kepala kucing itu lembut. Dari keadaannya yang sedari tadi diam tapi santai, mungkin saja keadaannya sudah baik-baik saja. Kucing ini tidak tampak seperti kucing liar, dia berbulu berwarna abu dan bermata hijau zamrud. Mungkin jenis russian blue?''Tidak perlu membawaku ke dokter hewan, aku baik-baik saja.''

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 3 : Penyerang Misterius

    Akhirnya kelas hari ini pun usai, aku merenggangkan punggungku yang terasa pegal. Beberapa mahasiswa perlahan mulai keluar ruangan, tidak sabar untuk segera pulang. Namun lain halnya dengan salah satu mahasiswi yang sejak hari pertama aku kuliah selalu mendekatiku jika ada kesempatan. Jennifer Garcia, dia adalah mahasiswi yang cantik juga populer.''Theodore, malam ini mau ikut karaoke bersama yang lain? Anak fakultas lain banyak yang ikut.'' ucapnya padaku. Ada beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal, biasanya aku memang ikut dengan mereka. Tapi aku harus nememui Mammon.''Aah, maaf teman-teman. Aku malam ini tidak bisa, hehe.'' Aku mengusap tengkukku sembari meringis. ''Eh, kenapa? Ayo ikut saja!'' Salah satu teman laki-lakiku merangkulku dengan akrab. Aku tidak bisa, mungkin lebih tepatnya tidak mau, aku harus mengurusi Mammon.Walau aku tidak menonjol dikalangan para dosen, aku cukup populer dikalangan sesama mahasiswa karena aku pandai berkomunikasi dengan orang lain. O

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 4 : Dunia Lain

    ''Mammon, buatlah kontrak denganku!'' ucapku dengan nada panik, ini satu-satunya caraku untuk bertahan hidup. Mammon menatapku lebar-lebar dengan kedua matanya yang kini berwarna merah itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja kuutarakan.''Membuat kontrak dengan makhluk seperti dia tidak bisa dilakukan sembarangan,'' sahut orang berjubah hitam itu. ''Jika kau gagal, maka jiwamu akan bersemayam di neraka selamanya dan akan jadi makanan untuk makhluk seperti mereka.''Aku paham betapa berbahayanya membuat perjanjian akan sesuatu yang tak kuketahui dengan baik resikonya, tapi aku tidak bisa membiarkan diriku mati begitu saja. ''Mammon, cepat sebelum aku berubah pikiran.'' Mammon mengangguk, dengan cepat ia meloncat dan mendarat tepat di bahuku. Tanpa segan ia mengigit leherku dengan kasar, aku berjengit akan sensasi pedih yang kurasakan. ''Hei, pelan-pelan!'' teriakku kesakitan. Aku bisa merasakan nyeri dan darah yang mengalir di setiap pori-pori kulitku. Setelah usai, ia mendaratkan

Bab terbaru

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 5 : Suara Yang Memanggilku

    Cahaya perlahan mulai merasuk ke dalam kelopak mataku, tubuhku terasa berat. Manik mata zamrudku berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Seketika aku terkesiap saat melihat sesosok lelaki bersurai pirang bergelombang dengan manik mata semerah batu delima. Ia memandangiku dengan senyuman terlukis di wajahnya. ''Selamat pagi!'' ucapnya dengan nada yang main-main. Mataku terbuka lebar, namun dengan cepat aku teringat kembali dengan situasi yang kuhadapi.Ini adalah kamar milik Vincent, tentunya bukan hal yang aneh apabila dia disini kan? Akulah yang seharusnya tak ada di sini. ''Ini masih jam tiga pagi, kau lanjutkan saja tidurmu.'' Vincent bangkit dan berbaring di sebrang ranjang. Ranjang yang kami tempati cukup besar. Walau ditempati dua orang, masih tersisa jarak sekitar setengah meter diantara kami. Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar suara apapun dari Vincent. Mungkin ia sudah tidur, disisi lain aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu was-was dengan berbagai hal. Aku menengok

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 4 : Dunia Lain

    ''Mammon, buatlah kontrak denganku!'' ucapku dengan nada panik, ini satu-satunya caraku untuk bertahan hidup. Mammon menatapku lebar-lebar dengan kedua matanya yang kini berwarna merah itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja kuutarakan.''Membuat kontrak dengan makhluk seperti dia tidak bisa dilakukan sembarangan,'' sahut orang berjubah hitam itu. ''Jika kau gagal, maka jiwamu akan bersemayam di neraka selamanya dan akan jadi makanan untuk makhluk seperti mereka.''Aku paham betapa berbahayanya membuat perjanjian akan sesuatu yang tak kuketahui dengan baik resikonya, tapi aku tidak bisa membiarkan diriku mati begitu saja. ''Mammon, cepat sebelum aku berubah pikiran.'' Mammon mengangguk, dengan cepat ia meloncat dan mendarat tepat di bahuku. Tanpa segan ia mengigit leherku dengan kasar, aku berjengit akan sensasi pedih yang kurasakan. ''Hei, pelan-pelan!'' teriakku kesakitan. Aku bisa merasakan nyeri dan darah yang mengalir di setiap pori-pori kulitku. Setelah usai, ia mendaratkan

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 3 : Penyerang Misterius

    Akhirnya kelas hari ini pun usai, aku merenggangkan punggungku yang terasa pegal. Beberapa mahasiswa perlahan mulai keluar ruangan, tidak sabar untuk segera pulang. Namun lain halnya dengan salah satu mahasiswi yang sejak hari pertama aku kuliah selalu mendekatiku jika ada kesempatan. Jennifer Garcia, dia adalah mahasiswi yang cantik juga populer.''Theodore, malam ini mau ikut karaoke bersama yang lain? Anak fakultas lain banyak yang ikut.'' ucapnya padaku. Ada beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal, biasanya aku memang ikut dengan mereka. Tapi aku harus nememui Mammon.''Aah, maaf teman-teman. Aku malam ini tidak bisa, hehe.'' Aku mengusap tengkukku sembari meringis. ''Eh, kenapa? Ayo ikut saja!'' Salah satu teman laki-lakiku merangkulku dengan akrab. Aku tidak bisa, mungkin lebih tepatnya tidak mau, aku harus mengurusi Mammon.Walau aku tidak menonjol dikalangan para dosen, aku cukup populer dikalangan sesama mahasiswa karena aku pandai berkomunikasi dengan orang lain. O

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 2 : Bukan Kucing Biasa?

    ''Theo, kalau kau pergi jangan lupa kunci rumahnya ya.'' ucap ibuku di depan pintu. Ia menggandeng adikku untuk pergi ke sekolah sebelum pergi ke kantor. Aku tersenyum, ''Iya bu, aku sudah bukan anak kecil lagi lho.''''Tapi sampai kapanpun kau tetap anak ibu,'' Wanita paruh baya itu menghela napasnya. ''Baiklah kami pergi dulu, Tia bilang 'selamat tinggal' pada kakak.''''Selamat tinggal kak!''Senyumku belum luntur saat aku mengantar mereka sampai di depan pagar. Hari ini aku tidak ada kelas pagi, jadi aku bisa mengurus kucing yang aku bawa kemarin. Keadaanya sekarang sudah baik-baik saja, walau ia tak banyak bergerak.''Setelah ini kita pergi ke dokter hewan ya.'' Aku mengelus kepala kucing itu lembut. Dari keadaannya yang sedari tadi diam tapi santai, mungkin saja keadaannya sudah baik-baik saja. Kucing ini tidak tampak seperti kucing liar, dia berbulu berwarna abu dan bermata hijau zamrud. Mungkin jenis russian blue?''Tidak perlu membawaku ke dokter hewan, aku baik-baik saja.''

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Bab 1 : Malam Itu

    Aku menutup buku yang baru saja kubaca. Buku usang bersampul merah tua yang aku pegang saat ini adalah buku yang baru saja kubeli dari seorang kakek yang singgah di dekat rumahku. Aku merasa iba karena kakek itu tampak kelaparan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang ia jual ini. “Kejatuhan Taman Eden,” itulah judulnya. Daripada buku novel, ini lebih seperti buku mitologi. Saat aku sedang asyik memandangi buku itu, tiba-tiba adik perempuanku menarik lengan bajuku, “Kak Theo, kak Dominique sudah sampai.” ucapnya. Aku pun bangkit dari bangkuku, refleks menaruh buku itu di meja. Dapat kulihat seorang laki-laki sepantaranku berdiri di sana. Walau dengan cahaya temaram dari teras rumah, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Rambut hitam dan mengenakan kacamata persegi, tatapan yang sedingin salju, dengan bulu mata yang lentik serta kulitnya yang pucat. Sosok itu adalah sahabatku, Dominique Prescott. Kami bersahabat sejak masih bayi karena pekerjaan ayah kami yang sama-sama s

  • Servilliance : Kembalinya Titisan Kejahatan   Prolog

    Bau amis memenuhi udara, banyak tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Langit pun menjadi merah seakan-akan merefleksikan kolam darah yang ada di tanah. Taman yang tadinya indah dipenuhi oleh berbagai bunga beraneka warna, suara cicitan burung bagai alunan lagu, serta paviliun marmer yang berdiri tegak sekarang runtuh berantakan. Empat sungai yang dipenuhi makhluk air kini tandus mengering. Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Taman Eden, taman yang indah yang disebut-sebut sebagai bagian dari surga. Tempat dimana Adam dan Hawa diturunkan ke dunia karena memakan buah terlarang. Taman yang indah ini kini dihancurkan oleh seseorang yang mereka kira kawan mereka sendiri, seorang malaikat. Malaikat itu adalah Kokhabiel, malaikat dengan julukan ''Angel of stars''. Kokhabiel dengan 200 pasukannya kini tengah berdiri dengan puas, melihat keadaan para malaikat penjaga Eden bergelimpangan tidak berdaya. ''Jika Michael datang kemari maka habislah riwayatmu.'' Salah seorang malai

DMCA.com Protection Status