Cahaya perlahan mulai merasuk ke dalam kelopak mataku, tubuhku terasa berat. Manik mata zamrudku berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Seketika aku terkesiap saat melihat sesosok lelaki bersurai pirang bergelombang dengan manik mata semerah batu delima. Ia memandangiku dengan senyuman terlukis di wajahnya. ''Selamat pagi!'' ucapnya dengan nada yang main-main. Mataku terbuka lebar, namun dengan cepat aku teringat kembali dengan situasi yang kuhadapi.Ini adalah kamar milik Vincent, tentunya bukan hal yang aneh apabila dia disini kan? Akulah yang seharusnya tak ada di sini. ''Ini masih jam tiga pagi, kau lanjutkan saja tidurmu.'' Vincent bangkit dan berbaring di sebrang ranjang. Ranjang yang kami tempati cukup besar. Walau ditempati dua orang, masih tersisa jarak sekitar setengah meter diantara kami. Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar suara apapun dari Vincent. Mungkin ia sudah tidur, disisi lain aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu was-was dengan berbagai hal. Aku menengok
Bau amis memenuhi udara, banyak tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Langit pun menjadi merah seakan-akan merefleksikan kolam darah yang ada di tanah. Taman yang tadinya indah dipenuhi oleh berbagai bunga beraneka warna, suara cicitan burung bagai alunan lagu, serta paviliun marmer yang berdiri tegak sekarang runtuh berantakan. Empat sungai yang dipenuhi makhluk air kini tandus mengering. Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Taman Eden, taman yang indah yang disebut-sebut sebagai bagian dari surga. Tempat dimana Adam dan Hawa diturunkan ke dunia karena memakan buah terlarang. Taman yang indah ini kini dihancurkan oleh seseorang yang mereka kira kawan mereka sendiri, seorang malaikat. Malaikat itu adalah Kokhabiel, malaikat dengan julukan ''Angel of stars''. Kokhabiel dengan 200 pasukannya kini tengah berdiri dengan puas, melihat keadaan para malaikat penjaga Eden bergelimpangan tidak berdaya. ''Jika Michael datang kemari maka habislah riwayatmu.'' Salah seorang malai
Aku menutup buku yang baru saja kubaca. Buku usang bersampul merah tua yang aku pegang saat ini adalah buku yang baru saja kubeli dari seorang kakek yang singgah di dekat rumahku. Aku merasa iba karena kakek itu tampak kelaparan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang ia jual ini. “Kejatuhan Taman Eden,” itulah judulnya. Daripada buku novel, ini lebih seperti buku mitologi. Saat aku sedang asyik memandangi buku itu, tiba-tiba adik perempuanku menarik lengan bajuku, “Kak Theo, kak Dominique sudah sampai.” ucapnya. Aku pun bangkit dari bangkuku, refleks menaruh buku itu di meja. Dapat kulihat seorang laki-laki sepantaranku berdiri di sana. Walau dengan cahaya temaram dari teras rumah, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Rambut hitam dan mengenakan kacamata persegi, tatapan yang sedingin salju, dengan bulu mata yang lentik serta kulitnya yang pucat. Sosok itu adalah sahabatku, Dominique Prescott. Kami bersahabat sejak masih bayi karena pekerjaan ayah kami yang sama-sama s
''Theo, kalau kau pergi jangan lupa kunci rumahnya ya.'' ucap ibuku di depan pintu. Ia menggandeng adikku untuk pergi ke sekolah sebelum pergi ke kantor. Aku tersenyum, ''Iya bu, aku sudah bukan anak kecil lagi lho.''''Tapi sampai kapanpun kau tetap anak ibu,'' Wanita paruh baya itu menghela napasnya. ''Baiklah kami pergi dulu, Tia bilang 'selamat tinggal' pada kakak.''''Selamat tinggal kak!''Senyumku belum luntur saat aku mengantar mereka sampai di depan pagar. Hari ini aku tidak ada kelas pagi, jadi aku bisa mengurus kucing yang aku bawa kemarin. Keadaanya sekarang sudah baik-baik saja, walau ia tak banyak bergerak.''Setelah ini kita pergi ke dokter hewan ya.'' Aku mengelus kepala kucing itu lembut. Dari keadaannya yang sedari tadi diam tapi santai, mungkin saja keadaannya sudah baik-baik saja. Kucing ini tidak tampak seperti kucing liar, dia berbulu berwarna abu dan bermata hijau zamrud. Mungkin jenis russian blue?''Tidak perlu membawaku ke dokter hewan, aku baik-baik saja.''
Akhirnya kelas hari ini pun usai, aku merenggangkan punggungku yang terasa pegal. Beberapa mahasiswa perlahan mulai keluar ruangan, tidak sabar untuk segera pulang. Namun lain halnya dengan salah satu mahasiswi yang sejak hari pertama aku kuliah selalu mendekatiku jika ada kesempatan. Jennifer Garcia, dia adalah mahasiswi yang cantik juga populer.''Theodore, malam ini mau ikut karaoke bersama yang lain? Anak fakultas lain banyak yang ikut.'' ucapnya padaku. Ada beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal, biasanya aku memang ikut dengan mereka. Tapi aku harus nememui Mammon.''Aah, maaf teman-teman. Aku malam ini tidak bisa, hehe.'' Aku mengusap tengkukku sembari meringis. ''Eh, kenapa? Ayo ikut saja!'' Salah satu teman laki-lakiku merangkulku dengan akrab. Aku tidak bisa, mungkin lebih tepatnya tidak mau, aku harus mengurusi Mammon.Walau aku tidak menonjol dikalangan para dosen, aku cukup populer dikalangan sesama mahasiswa karena aku pandai berkomunikasi dengan orang lain. O