Akhirnya kelas hari ini pun usai, aku merenggangkan punggungku yang terasa pegal. Beberapa mahasiswa perlahan mulai keluar ruangan, tidak sabar untuk segera pulang. Namun lain halnya dengan salah satu mahasiswi yang sejak hari pertama aku kuliah selalu mendekatiku jika ada kesempatan. Jennifer Garcia, dia adalah mahasiswi yang cantik juga populer.''Theodore, malam ini mau ikut karaoke bersama yang lain? Anak fakultas lain banyak yang ikut.'' ucapnya padaku. Ada beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal, biasanya aku memang ikut dengan mereka. Tapi aku harus nememui Mammon.''Aah, maaf teman-teman. Aku malam ini tidak bisa, hehe.'' Aku mengusap tengkukku sembari meringis. ''Eh, kenapa? Ayo ikut saja!'' Salah satu teman laki-lakiku merangkulku dengan akrab. Aku tidak bisa, mungkin lebih tepatnya tidak mau, aku harus mengurusi Mammon.Walau aku tidak menonjol dikalangan para dosen, aku cukup populer dikalangan sesama mahasiswa karena aku pandai berkomunikasi dengan orang lain. O
''Mammon, buatlah kontrak denganku!'' ucapku dengan nada panik, ini satu-satunya caraku untuk bertahan hidup. Mammon menatapku lebar-lebar dengan kedua matanya yang kini berwarna merah itu, tidak percaya dengan apa yang baru saja kuutarakan.''Membuat kontrak dengan makhluk seperti dia tidak bisa dilakukan sembarangan,'' sahut orang berjubah hitam itu. ''Jika kau gagal, maka jiwamu akan bersemayam di neraka selamanya dan akan jadi makanan untuk makhluk seperti mereka.''Aku paham betapa berbahayanya membuat perjanjian akan sesuatu yang tak kuketahui dengan baik resikonya, tapi aku tidak bisa membiarkan diriku mati begitu saja. ''Mammon, cepat sebelum aku berubah pikiran.'' Mammon mengangguk, dengan cepat ia meloncat dan mendarat tepat di bahuku. Tanpa segan ia mengigit leherku dengan kasar, aku berjengit akan sensasi pedih yang kurasakan. ''Hei, pelan-pelan!'' teriakku kesakitan. Aku bisa merasakan nyeri dan darah yang mengalir di setiap pori-pori kulitku. Setelah usai, ia mendaratkan
Cahaya perlahan mulai merasuk ke dalam kelopak mataku, tubuhku terasa berat. Manik mata zamrudku berusaha menyesuaikan dengan cahaya. Seketika aku terkesiap saat melihat sesosok lelaki bersurai pirang bergelombang dengan manik mata semerah batu delima. Ia memandangiku dengan senyuman terlukis di wajahnya. ''Selamat pagi!'' ucapnya dengan nada yang main-main. Mataku terbuka lebar, namun dengan cepat aku teringat kembali dengan situasi yang kuhadapi.Ini adalah kamar milik Vincent, tentunya bukan hal yang aneh apabila dia disini kan? Akulah yang seharusnya tak ada di sini. ''Ini masih jam tiga pagi, kau lanjutkan saja tidurmu.'' Vincent bangkit dan berbaring di sebrang ranjang. Ranjang yang kami tempati cukup besar. Walau ditempati dua orang, masih tersisa jarak sekitar setengah meter diantara kami. Setelah beberapa saat, aku tidak mendengar suara apapun dari Vincent. Mungkin ia sudah tidur, disisi lain aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu was-was dengan berbagai hal. Aku menengok
Bau amis memenuhi udara, banyak tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Langit pun menjadi merah seakan-akan merefleksikan kolam darah yang ada di tanah. Taman yang tadinya indah dipenuhi oleh berbagai bunga beraneka warna, suara cicitan burung bagai alunan lagu, serta paviliun marmer yang berdiri tegak sekarang runtuh berantakan. Empat sungai yang dipenuhi makhluk air kini tandus mengering. Keadaannya benar-benar memprihatinkan. Taman Eden, taman yang indah yang disebut-sebut sebagai bagian dari surga. Tempat dimana Adam dan Hawa diturunkan ke dunia karena memakan buah terlarang. Taman yang indah ini kini dihancurkan oleh seseorang yang mereka kira kawan mereka sendiri, seorang malaikat. Malaikat itu adalah Kokhabiel, malaikat dengan julukan ''Angel of stars''. Kokhabiel dengan 200 pasukannya kini tengah berdiri dengan puas, melihat keadaan para malaikat penjaga Eden bergelimpangan tidak berdaya. ''Jika Michael datang kemari maka habislah riwayatmu.'' Salah seorang malai
Aku menutup buku yang baru saja kubaca. Buku usang bersampul merah tua yang aku pegang saat ini adalah buku yang baru saja kubeli dari seorang kakek yang singgah di dekat rumahku. Aku merasa iba karena kakek itu tampak kelaparan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang ia jual ini. “Kejatuhan Taman Eden,” itulah judulnya. Daripada buku novel, ini lebih seperti buku mitologi. Saat aku sedang asyik memandangi buku itu, tiba-tiba adik perempuanku menarik lengan bajuku, “Kak Theo, kak Dominique sudah sampai.” ucapnya. Aku pun bangkit dari bangkuku, refleks menaruh buku itu di meja. Dapat kulihat seorang laki-laki sepantaranku berdiri di sana. Walau dengan cahaya temaram dari teras rumah, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Rambut hitam dan mengenakan kacamata persegi, tatapan yang sedingin salju, dengan bulu mata yang lentik serta kulitnya yang pucat. Sosok itu adalah sahabatku, Dominique Prescott. Kami bersahabat sejak masih bayi karena pekerjaan ayah kami yang sama-sama s