Beranda / Fantasi / Series Hutan Larangan / Rumah Makan di Tengah Hutan

Share

Rumah Makan di Tengah Hutan

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-21 06:24:27

Bagian 2

Ana membuka paksa matanya dengan napas tersengal-sengal. Seketika ia memperhatikan sekelilingnya. Persis tadi, ia ingat dengan jelas sedang beradu pandang dengan wanita berwajah pucat di kursi belakang mobilnya.

"Kamu cari apa, sih?" tanya Raka suaminya.

"Kamu lihat gak tadi, ada perempuan di kursi belakang mobil kita?"

"Ng-nggak ada, jangan ngaco deh, An. Kita lagi di tengah hutan loh."

"Atau aku cuma mimpi aja, ya. Jam berapa sih sekarang, Ka?"

"Sebentar lagi magrib."

"Hah. Kok lama banget kita di jalan, harusnya, kan, kita udah sampai di tengah kota, atau minimal pom bensin?"

"Ya, aku juga gak tahu, Sayang. Dari tadi kayaknya kita muter-muter aja di sini gak beranjak ke mana-mana. Bensin udah tinggal setengah juga."

"Coba telepon siapa gitu, Ka. Gak mungkin kita habisin waktu terus-terusan di sini?"

"Nggak ada sinyal sama sekali. Makanya aku terus jalan aja. Belum maghrib juga suasana udah seperti tengah malam aja."

Ana memegang perutnya yang belum diisi lagi dari tadi siang. Wanita berambut panjang itu membuka tas tangannya meraih cokelat untuk mengganjal perutnya. Satu bungkus cokelat diraihnya, ketika ia buka makanan ringan tersebut ada noda darah di dalamnya. Spontan ia melemparkan benda itu ke arah Raka hingga membuat suaminya menginjak rem mendadak.

"Kamu kenapa lagi, sih?"

"Co-cokelatnya ada darah," jawab Ana terbata-bata.

Raka lalu meraih cokelat yang di lempar Ana ke arahnya. "Nggak ada darahnya, kok. Nih aku makan, ya." Raka membuka bungkusan cokelat itu dan memberinya pada Ana. Meskipun terlihat ragu tetapi wanita itu tetap memakannya, lalu mereka melanjutkan perjalanan panjang yang entah kapan akan berakhir.

Sesosok tangan pucat menyuapi Raka cokelat dari kursi belakang mobil. Lelaki berkacamata itu membuka mulut tanpa rasa curiga karena fokus mengendarai mobil. Berkali-kali tangan dingin tersebut menyuapi Raka cokelat hingga ia merasa terlalu berlebihan.

"Udah, An. Aku nggak terlalu suka cokelat. Kamu aja yang makan."

 Ana yang dari tadi memainkan boneka menatap Raka penuh curiga.

"Aku nggak ada ngapa-ngapain, kok. Cokelatnya juga udah habis dari tadi."

"Terus, yang nyuapin aku tadi siapa?" Raka memelankan laju mobilnya sambil melihat Ana yang memandang dirinya ketakutan.

"Mulut kamu, ada darahnya, Ka," tutur Ana sambil memeluk erat boneka yang ia pungut dari pemakaman.

"Shit." Raka melihat wajahnya di kaca spion sambil mengumpat.

"Jaga mulut, Raka, kita di tengah hutan!"Tekan wanita bermata cokelat itu.

Raka meraih botol air untuk mencuci mulutnya. Namun, isinya telah tandas tak bersisa. Dengan perasaan tak tentu arah ia meneruskan laju mobilnya mengikuti jalan yang kian berliku dan gelap. Samar-samar dari balik kabut yg menghiasi sepanjang jalan Hutan Larangan, sepasang suami istri itu melihat seorang wanita paruh baya berusaha menghentikan mobil mereka.

Raka memberhentikan mobil dan memberi tumpangan kepada orang yang tidak dikenalinya. Perempuan paruh baya tanpa alas kaki itu menggunakan kebaya lengkap dengan sanggul dan membawa sebuah jerigen kosong.

"Terima kasih atas tumpangannya," ucapnya ramah, meski tanpa senyuman.

"Sama-sama. Ibu mau ke mana?" tanya Ana dengan tersenyum manis.

"Mau cari air buat minum. Tidak seberapa jauh dari sini di dekat warung nasi nanti ada air terjun kecil yang akan kita lewati." Tatapan mata wanita paruh baya itu lurus tanpa berkedip.

"Wah, boleh juga tu, Sayang. Sekalian kita makan. Perutku udah lapar banget, ni." 

Raka hanya mengangguk saja mendengar permintaan istrinya, mulutnya masih merasakan anyir darah yang tertinggal.

"Di hutan ini, kalian harus jaga sikap dan perkataan. Jangan mengotori hati dengan perbuatan tidak senonoh. Jangan mengotori hati dengan perbuatan jahat. Jika tidak mau penghuni asli hutan ini membuat kalian tersesat." Tanpa diminta, wanita paruh baya itu berujar seorang diri. Raka dan Ana hanya saling pandang.

"Hutan ini mistis, mahluk-mahluk di dalamnya beragam. Ada yang mati bunuh diri, ada yang mati dibunuh dan jasadnya di kubur jauh ke dalam sana." Tunjuk wanita itu ke arah hutan.

"Kalau sudah masuk ke dalam sana. Untuk keluar dengan selamat, harus menumbalkan sesuatu, atau kau sangat beruntung jika ada yang menolongmu." Lirik wanita itu pada Ana, "boneka itu, Nyonya dapat dari mana?"

"Ehhmm. Dari pemakaman keluarga di sana tadi."

"Sebaiknya kembalikan, Nyonya. Tak baik mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Anak kalian pun belum tentu suka dengan boneka itu."

"Tahu dari mana kami sudah punya anak?" tanya Raka penasaran.

"Itu, mata airnya sudah kelihatan. Kita sudah sampai, Tuan. Saya permisi turun di sini. Terima kasih sekali lagi. Dan jangan lupa bonekanya dikembalikan ke tempatnya." 

Wanita paruh baya itu membuka pintu mobil lalu keluar dan berjalan menuju mata air yang dimaksud. Selanjutnya setelah jerigennya penuh, ia masuk ke dalam hutan tanpa menoleh ke belakang. Raka dan Ana memandang tanpa berkedip

"Dasar orang aneh. Hutan ini pun aneh. Semuanya aneh,” umpat Raka.

"Udah. Jangan ngomong macem-macem. Mending kita ke sana deh, kayaknya itu tempat istirahat ada lampu sama tempat duduknya."

Raka menepikan mobil ketika sampai di lesehan pinggir jalan. Sebelum memasuki tempat istirahat ia memperhatikan keadaan sekeliling, tempat itu dipenuhi oleh lampu remang-remang saja. Dua orang yang melayani mereka menyambut dengan ramah dan menawarkan makanan. Melihat tingkah kedua orang itu Raka yakin mereka hanya manusia biasa, bukan mahluk jadi-jadian seperti yang diucapkan wanita yang menumpang mobilnya tadi.

Dua buah kelapa muda serta nasi dengan ayam bakar disajikan di atas meja. Ana yang memang sudah kelaparan sejak tadi melahap makanan itu tanpa banyak bicara. Sementara Raka memperhatikan arloji di tangan. Maghrib sudah lewat tetapi mereka belum juga keluar dari hutan itu. Dengan perasaan tak menentu ia menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, setelah membersihkan rasa anyir darah di dalam mulutnya.

Tidak ada pengunjung lain yang datang. Tidak juga mereka lihat kendaraan lain melintas melewati jalan sepanjang hutan itu. Sementara suara lolongan anjing mulai memenuhi gendang telinga sepasang suami istri tersebut. Embusan angin dingin pun melintasi mereka yang baru menyelesaikan santapan hingga tandas tak bersisa.

Ana membuka cermin di dalam tas tangannya. Sontak ia terkejut ketika boneka yang ia temukan ada di sebelah tasnya. Seingatnya, ia tinggalkan boneka itu di dalam mobil. Mengabaikan rasa takutnya, wanita bermata cokelat itu melanjutkan merapikan rambut dan membersihkan bibirnya yang terdapat sisa makanan.

Raka memperhatikan setiap pergerakan istri yang baru ia nikahi belum lama ini. Gerakan tangan Ana memoles lipstik di bibir serta ketika Ana menyatukan dua bibirnya untuk melembabkan lipstiknya mengundang desir di darah Raka. Pria ia menoleh ke sekeliling lesehan, dua pelayan yang melayaninya tidak terlihat di tambah dengan lampu remang-remang yang sinarnya perlahan mulai meredup. Kesempatan itu ia gunakan untuk mencuri sebuah ciuman dari Ana.

Ana yang terkejut dengan tindakan Raka, menjatuhkan kaca di tangan dan mendorong tubuh suaminya hingga menjauh. 

"Apaan, Ka. Kamu gak inget pesan wanita tua tadi. Jaga sikap di hutan ini." Ana kesal dengan tindakan lelaki itu yang tidak tahu tempat.

"Ah, takhayul dipercaya. Lagian, kan, kita suami istri, siapa yang berani melarang?"

"Ya, nggak di dalam hutan ini juga. Sudah dua kali looh."

"Tapi kamu suka, kan?" Pria itu mengerlingkan sebelah mata pada Ana. Pipi Ana merona akibat ulah sahabat sekaligus suaminya.

Tidak menunggu waktu lebih lama Raka dan Ana bergegas meninggalkan lesehan di pinggir hutan itu. Uang diletakkan begitu saja di bawah piring, karena dua pelayan tadi tidak kunjung datang meskipun telah dipanggil berkali-kali.

Sepasang suami istri tersebut masuk ke dalam mobil, hingga Ana keluar lagi untuk mengambil boneka Martha yang tertinggal di dalam warung. Ketika mengambil boneka, penerangan yang semula remang-remang padam seketika.

Susah payah Ana meraih boneka itu. Namun, ketika boneka sudah di tangan, ia ditinggalkan oleh Raka seorang diri di pinggir jalan. Ana berusaha mengejar mobil Raka sekuat tenaga, tetapi mobil itu hilang di antara kabut yang semakin menebal.

Wanita itu menangis seorang diri, dengan langkah tak menentu ia mencoba kembali ke warung lesehan, berharap Raka menjemputnya kembali. Namun, ketika sampai di warung, ia mendapati hal yang semakin aneh. Warung itu sudah roboh sebagian, sarang laba-laba mendominasi di sana -sini. Tidak ada siapa pun di dalamnya, bahkan piring bekas makan mereka juga raib.

Terbersit tanya di benak Ana. Lalu siapa yang melayani mereka tadi? Dan makanan apa yang mereka makan tadi?

Bersambung .....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
serem banget ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Series Hutan Larangan    Sosok Lain di Dalam Mobil

    Bab 3“Kok, nggak jadi bonekanya dibawa?” tanya Raka pada Kirana.“Bukan punya kita, nanti pemiliknya datang lagi mau jemput ke rumah,” jawab Ana.“Kamu masih percaya aja sama hal-hal gitu, mitos.” Raka melirik Ana yang dari tadi hanya duduk diam tanpa ekspresi apa pun.Lelaki itu berpikir mungkin karena istrinya kelelahan saja, hingga sedari tadi hanya diam tidak berceloteh seperti biasanya. Wanita itu juga tidak menyentuh ponselnya sama sekali, mungkin habis daya, pikir Raka. Ia hanya membiarkannya saja, ia kembali fokus menyetir agar bisa melewati hutan yang semakin menebarkan aroma menyeramkan.Raka melirik jam di tangan, sudah jam delapan malam. Namun, dirinya tidak kunjung jua melihat arah perkotaan maupun pemukiman penduduk untuk sekadar bertanya. Ia melirik ke arah spion di hadapanya, bayangan Ana tidak terlukis di sana. Ia menggelengka

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Series Hutan Larangan    Mayat Siapa?

    Bagian 4Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberada

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Series Hutan Larangan    Pelaku Sekte Sesat

    Bagian 5Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia me

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Series Hutan Larangan    Hantu Tanpa Kepala

    Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-25
  • Series Hutan Larangan    Manusia Harimau

    Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-25
  • Series Hutan Larangan    Perjalanan

    Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28
  • Series Hutan Larangan    Lembah Ilusi

    Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28
  • Series Hutan Larangan    Mulai Curiga

    Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28

Bab terbaru

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

  • Series Hutan Larangan    Kebun Bunga

    Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema

  • Series Hutan Larangan    Tak Sama Lagi

    Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun

  • Series Hutan Larangan    Nama Baru

    Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status