Bagian 5
Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.
Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.
Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia memasuki hutan.
Berkali-kali wanita berambut panjang itu membuka kompas dari dalam ransel, tapi sama sekali benda itu tidak berfungsi, jarum penunjuk arahnya berputar terus menerus tanpa menunjukkan ke arah yang tepat. Sekalipun menunjukkan arah yang tepat wanita itu juga tidak menguasai area hutan yang pertama kali terpaksa berada di dalamnya.
Ana berhenti sejenak untuk beristirahat, gegas ia membuka ransel dan mengambil tali yang panjang. Akalnya mulai berpikir jika terus-terusan berada di dalam hutan bukan tidak mungkin senter akan kehabisan daya dan gelap pun semakin menjadi menemaninya. Secepatnya wanita itu mengikat tali ke pohon demi pohon yang dilewatinya. Jika bertemu lagi dengan pohon yang sudah diikat, itu artinya dirinya masih berputar-putar di jalan yang sama.
Ana tidak menyadari ketika ia mengikatkan talinya ke sebatang pohon, maka boneka Martha yang melepaskan ikatan itu dengan mudah. Hingga, walaupun ia merasa sudah berjalan beberapa meter menjauh, tetapi, tetap saja sebenarnya ia masih berputar-putar di tempat yang sama.
Kilatan cahaya membuat wanita bermata cokelat itu memicingkan matanya. Hawa yang sedikit hangat menyapa tengkuknya. Ia pun bergegas mencari asal cahaya itu, siapa tahu ada seseorang yang bisa menolongnya untuk keluar dari Hutan Larangan. Tali itu ia kumpulkan kembali dan dibawanya serta. Perlahan wanita berambut panjang tersebut, melihat sekumpulan orang dengan baju hitam melingkari api unggun di wilayah hutan yang sedikit dibabat. Tinggi orang-orang itu sama, kepalanya ditutup oleh tudung hitam, satu orang memimpin sebuah ritual dengan membacakan mantera yang Ana sendiri tidak mengerti maksudnya apa.
“Ehm.”
Ana mencoba berkomunikasi dengan salah seorang berbaju hitam, tetapi tidak ada sahutan. Lagi, ia mencoba dengan suara yang lebih keras, tetap saja tidak ada jawaban. Mereka bergeming seolah-olah tidak menyadari kehadiran Ana.
“Pak, Bu. Boleh saya minta tolong,” ulangnya lagi.
Pemimpin ritual itu, menghentikan pembacaan mantera dan menunjuk wajah Ana dengan telunjuknya. Seketika, semua perhatian tertuju pada wanita cantik itu. Orang-orang pun mulai mendekati dirinya sambil membawa tongkat dari besi tajam dengan bekas darah yang ada di sekitar api unggun. Seolah-olah mengerti dengan nyawanya terancam bahaya, Ana bergegas berlari, walau kulitnya harus tergores ranting pohon atau pun duri di sepanjang jalan.
Ia terus berlari, hingga orang-orang berbaju hitam dengan wajah nyaris terlihat seluruh tulang-belulangnya itu mulai melambatkan langkah mengejar Ana. Namun, wanita itu dihadapkan pada dua pilihan sulit di depannya. Menceburkan diri di sungai yang arusnya deras atau pasrah tertangkap dan dijadikan tumbal. Orang-orang berbaju hitam tersebut semakin dekat dengannya, hingga ia pun terpaksa menceburkan diri.
Melihat Ana di dalam sungai, rombongan manusia dengan wajah tidak utuh itu pun berbalik arah kembali ke tempat ritual mereka. Tubuh wanita itu hanyut melawan arus sungai seorang diri, seolah-olah sungai itu menyelematkannya dari arus yang semakin deras. Akan tetapi, cuaca dingin membuatnya nyaris tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri di dalam air, hingga seseorang datang dan membawanya ke daratan saat kesadarannya sudah benar-benar terbawa ke alam mimpi.
***
“Raka,” gumam Ana ketika membuka matanya.
Wanita itu bergegas duduk dan berusaha mengumpulkan kesadarannya, dilihat lebih jelas, lelaki di hadapannya bukanlah suaminya.
“Sudah sadar?” tanya lelaki itu di hadapannya.
“Kamu siapa? Manusia atau mayat atau hantu atau rombongan mereka tadi?”
Lelaki itu tersenyum. “Aku penduduk asli di hutan ini, kau tadi hanyut hampir tenggelam di sungai, makanya aku tolong.”
“Oh, tapi apa bener kamu manusia?” tanyanya dengan penuh keraguan.
“Kau tidak percaya? Apa kakiku terlihat tidak memijak tanah?”
Ana memperhatikan kaki lelaki itu yang jelas-jelas berada di tanah.
“Jelas, aku nggak akan percaya gitu aja. Bukan sekali ini aku jumpa hal-hal aneh di dalam hutan, tapi udah berkali-kali.”
“Iya, aku paham kalau kau tidak percaya denganku. Lagipula aku ingin tahu, bagaimana caranya wanita cantik sepertimu bisa berada di tengah hutan di malam gelap seperti ini. Mustahil kau datang begitu saja menyerahkan diri kemari, bukan?”
“Me-menyerahkan diri, maksudnya? Ya, nggak mungkinlah. Entah gimana ceritanya kami bisa terpisah, Raka ninggalin aku sendirian di pinggir jalan, terus dikejar anjing, ketemu mayat hidup terus ketemu manusia-manusia aneh, melompat ke sungai, terus ketemu kamu,” cicit Ana tanpa titik koma.
“Kukira kau berniat bunuh diri di dalam hutan ini, makanya tadi aku sempat ragu untuk menolong, tapi melihat tubuhmu terbawa arus yang berlawanan, itu pertanda dari hutan kau adalah orang tersesat yang membutuhkan pertolongan,” sahut lelaki bermata tajam itu.
“By the way, makasih, ya, udah nolong aku tadi, tapi kamu sebenernya siapa, sih?” Ana menatap lelaki yang mengenakan pakaian lusuh itu.
“Penduduk asli hutan ini. Rumahku agak masuk ke arah barat. Aku berniat membawamu ke rumah tadi, tapi karena kau mengigil kedinginan makanya aku menghidupkan api saja sambil menunggumu sadar. Kau terus saja mengigau nama Raka. Jika kau berkenan, sementara bagaimana kalau ke rumahku dulu, ada baju yang bisa digunakan di sana, dan kita bisa menyusun rencana untuk membawamu keluar dari hutan ini.”
“Membawaku keluar dengan menyusun rencana, emangnya kita seberapa jauh dari jalan raya? Kamu paham jalan raya, kan. Jalan yang dilalui oleh kendaraan?
“Paham, aku memang orang asli sini tapi bukan berarti tidak tahu juga kehidupan di luar hutan bagaimana. Dan sayangnya kau berada jauh sangat dalam di inti hutan, perlu waktu beberapa hari untuk bisa keluar. Jika kau berminat dengan tawaranku kau bisa ikut aku pulang dulu, istirahat sebentar lalu kita lanjutkan perjalanan. Jika tidak aku tinggalkan kau seorang diri di sini dan kau bisa lanjutkan sendiri perjalananmu.” Lelaki itu berdiri dan mulai melangkah meninggalkan Ana, ia tidak suka menawarkan bantuan dua kali.
“Eh tunggu. I-iya aku ikut dengamu. Maaf, kalau aku salah kata tadi, aku cuma nggak mau tertipu lagi.” Ana tersenyum memamerkan giginya yang rapi, “Namamu siapa, kalau aku boleh tahu. Aku Ana.” tanyanya sambil mencoba mensejajarkan langkah dengan lelaki di sampingnya.
“Bagus,” jawabnya singkat, “Raka itu siapa? Nama yang kau igaukan dalam tidurmu tadi?”
“Oh, dia itu suamiku, kami baru dua minggu menikah, terus bulan madu nggak terlalu jauh di villa dekat kota ini.”
“Hmm, sudah menikah rupanya. Aku kira kau masih gadis, wajahmu sangat cantik, aku hampir tergoda tadi,” gumam Bagus seorang diri.
Ana menghentikan langkahnya seketika, ia teringat dengan boneka Martha yang tidak ada dalam genggaman tangannya.
“Tadi waktu kamu tolong aku, ada lihat boneka cantik, nggak?”
Bagus menghentikan langkahnya agar Ana bisa menyusulnya.
“Tidak ada, hanya tas ransel itu yang kau bawa.”
“Yah, sayang banget, donk, kalau sampai hanyut.”
“Sudah lupakan saja, kalau berjodoh kalian pasti berjumpa lagi,” jawabnya pada Ana.
“Emangnya bisa, kan, boneka nggak bisa jalan sendiri?”
“Di hutan ini, semuanya yang nggak mungkin bisa jadi mungkin.”
Mereka melanjutkan perjalanan berdua menuju rumah Bagus.
Untuk menghilangkan rasa dingin yang perlahan mulai menyergap Ana terus mengajak Bagus berbicara, lelaki dengan gaya bahasa formal itu menjawab setiap pertanyaan Ana karena jarak rumahnya masih lumayan jauh. Wanita itu juga menanyakan maksud dari orang-orang yang datang untuk bunuh diri di hutan tersebut.
“Nanti kau lihat saja, kalau ada tubuh-tubuh yang masih tergantung di atas pohon dengan jerat di leher, itu pertanda mereka bunuh diri,” jelas Bagus.
Sejenak Ana berpikir, tiga mayat yang ia jumpai di awal waktu apakah mereka juga ingin bunuh diri? Jika ia memang iya, lalu mengapa membawa peralatan lengkap untuk menyisiri hutan.
“Apa semua yang mati di sini karena bunuh diri?”
“Tidak juga, ada yang memang mati dibunuh oleh pemilik hutan ini karena melanggar peraturan.”
“Melanggar peraturan seperti apa sampai harus mati dibunuh?” Ana menggenggam erat tangannya sendiri.
“Berkata kasar, menantang seisi hutan, dan juga bercinta di dalam hutan.” Bagus berhenti dan mendekatkan wajahnya pada Ana, wanita itu mundur beberapa langkah.
“Di hutan ini apa nggak ada binatang buas?”
“Di sini bukan binatang buas yang harus kau takuti, tapi orang-orang yang mengejarmu tadi, itulah yang harus kau hindari, karena mereka melakukan ritual meminum darah manusia untuk ilmu hitam.”
Sambil berjalan Bagus menjelaskan bahwa orang-orang dengan wajah nyaris terlihat semua tulangnya itu, karena bersekutu dengan salah satu penghuni wilayah Hutan Larangan. Harganya tidaklah murah, daging dan darah manusia wajib mereka santap agar ilmunya kekal dan tidak musnah. Sengaja mereka lakukan ritual di malam bulan purnama agar lebih mudah menemukan orang-orang tersesat atau yang ingin bunuh diri di dalam hutan. Setelah menyantap daging dan darah itu, maka wajah mereka akan pulih seperti sedia kala.
“Terus kenapa mereka nggak tangkap kamu buat tumbal?”
“Karena aku lebih tahu situasi di hutan ini daripada mereka, aku bisa bersembunyi dengan mudah, berbaur dengan pohon-pohon besar dan semak belukar. Sekarang coba kau lihat di atas kepalamu ada apa?” Tiba-tiba saja Bagus mengalihkan topik pembicaraan.
Ana enggan melihat ke atas, ia masih mengingat dengan jelas perkataan lelaki berambut sebahu itu, tentang orang yang mati gantung diri. Namun, jemari Bagus memaksanya mendongak ke atas. Lekas Ana memejamkan matanya kembali. Ada beberapa tubuh manusia menggantung di pohon, mati dengan leher terjerat tali. Anehnya ia tidak mencium bau bangkai sedari tadi. Seolah membaca kebingungan Ana, Bagus menjelaskan bahwa ada banyak pohon yang bisa menyerap bau mayat di sekitar hutan. Begitu juga tubuh-tubuh itu akan dimakan oleh binatang buas yang akan melintas di sekitar pohon.
Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b
Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern
Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu
Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali
BAGIAN 11“Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?”Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan
Bagian 12Semilir angin membuat Bagus tersadar dari tidurnya sepanjang malam. Ia menoleh ke sebelahnya. Wanita itu tidur tidak kalah lelap darinya. Jika dirinya tidak terluka parah semalam, bisa jadi hal-hal yang tak seharusnya terjadi akhirnya terjadi. Lelaki itu memperhatikan sekujur tubuhnya, bekas cakaran dan gigitan mahluk menyeramkan kemaren sudah hilang semuanya.Ia berdiri mencari pakaian yang dibuka Ana semalam, sayangnya tidak bisa lagi digunakan karena sudah robek di sana sini. Cepat Bagus mengeluarkan ujung kuku telunjuknya yang tajam. Menyayat kulit pohon tempatnya bersandar. Sayatan itu ia raut sedemikian rupa oleh jemari runcingnya, hingga akhirnya menjadi sebuah baju yang layak pakai. Pakaian yang kerap digunakannya dahulu ketika zaman belum maju seperti sekarang.Ana menggeliat bangun, dan memperhatikan gerakan lelaki di hadapannya. Wanita itu merasa takjub dengan penampilan lelaki yang baru saja ia dekati semalam. Wajahnya bersemu
Bagian 13“Mereka semakin menunjukkan ketamakannya. Apa di tanah mereka sana tidak ada hasil bumi sampai harus menjarah milik kita?” Bagus membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang sembari memijit kepalanya.“Kau pasti paham, kan? Manusia itu semakin lama semakin tidak puas dengan apa yang dimiliki, selalu merasa kekurangan,” jawab Rayau, istrinya yang ikut berbaring di sebelahnya.“Kau tahu, tadi ada seorang gadis—”“Kau ingin menikahinya?”“Aku belum selesai bicara.” Bagus menahan tubuh istrinya yang hendak meninggalkan peraduan, “Gadis itu hancur, menjadi santapan serdadu keparat itu.”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”“Sudah diobati. Nyai tabib mengatakan lukanya sudah sangat parah, bisa diselamatkan atau tidak, bukan lagi kuasanya.”“Kau harus segera bertindak, jika tidak mereka akan semakin
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi