Bagian 4
Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.
Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.
Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberadaannya? Belum tuntas rasa bimbangnya, ia dikejutkan oleh kehadiran wanita yang sempat ia beri tumpangan beberapa waktu lalu. Wanita itu duduk di sebelah kursinya begitu saja.
“Bukankah sudah kukatakan, kembalikan boneka itu dan jangan membuat ulah di wilayah ini. Sekarang kalian rasakan sendiri akibatnya,” ujarnya, sambil memalingkan wajah ke arah lelaki berkacamata itu.
“Apa maumu, di mana istriku!” tanya Raka dengan nada mengancam.
“Dia diambil oleh penghuni asli hutan ini. Wajahnya yang cantik menjadi idaman bagi mahluk-mahluk bernafsu di dalam sana. Ikhlaskan saja istrimu, kembalilah ke rumah dengan selamat seorang diri.”
“Sial!”
Raka hendak mencekik wanita paruh baya itu, tetapi niatnya tidak terlaksana, karena wanita aneh itu menghilang begitu saja dari hadapannya.
“Ana, tunggu, kita pasti kembali ke rumah bersama-sama.”
Lelaki itu menghentikan kendaraannya dan memeriksa beberapa peralatan sederhana yang bisa ia bawa untuk menelusuri hutan itu. Tidak peduli seberapa luas dan angkernya di dalam sana, ia akan berusaha menemukan kembali Ana. Ia temukan dua buah senter mini yang mampu hidup beberapa jam, beberapa meter tali dan jaket tebal yang ia bongkar dari dalam tasnya. Tidak ketinggalan air mineral yang masih utuh ia bawa untuk persediaan selama di dalam hutan. Mobilnya, ia letakkan di bawah pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun, dan daunnya sudah hampir menyentuh tanah. Dengan langkah penuh keyakinan ia menjejakkan tapak kakinya di hutan yang sangat gelap.
****
Kegelisahan melanda Ana. Ia bimbang harus memulai langkah dari mana, hutan itu seakan menutup akses jalan keluarnya. Ranting demi ranting dari berbagai macam pohon menutup jalan tempatnya masuk tadi. Ia terus saja berjalan mengikuti nalurinya, meskipun ia tidak tahu akan berakhir di mana. Telapak kakinya perih karena tergores tanaman-tanaman kecil yang ia jumpai sepanjang jalan. Wanita berambut panjang itu mencoba berteriak meminta tolong. Namun, hanya gema suaranya saja yang kembali diiringi suara burung hantu yang hinggap di atas pepohonan.
Tidak ada lagi tetes air mata yang membasahi wajahnya. Ana mencoba berani agar ia bisa segera keluar dari hutan angker itu. Beberapa meter berjalan ia pun kelelahan dan duduk di bawah pohon besar untuk beristirahat. Ana haus, tapi tidak ada setetes pun air untuk diminum. Hanya boneka Martha yang ia bawa. Dipeluknya boneka itu dengan erat, berharap melenyapkan sedikit rasa dingin di tubuhnya. Perlahan tangan mungil boneka cantik itu membelai rambut indah Ana, hingga wanita itu benar-benar terlelap ke alam mimpi.
***
Sebuah tepukan di bahu membuat Ana yang baru beberapa menit tertidur, bangun kembali. Ia melirik ke arah sentuhan tangan itu berasal. Ana melihat seorang lelaki dengan peralatan camping lengkap di bahu, tersenyum padanya.
“Akhirnya aku ketemu orang lain juga setelah tersesat selama tiga hari di sini,” ujarnya, ketika duduk tidak jauh dari Ana.
“Maaf, tapi kamu siapa, ya? Terus kenapa bisa sampai di sini?” tanya Ana pesaran.
Lelaki yang ia temui tidak segera menjawab pertanyaannya, melainkan mengumpulkan beberapa ranting kering disekitarnya, menumpuknya, dan menghidupkan api untuk mengusir rasa dingin yang semakin menjadi. Melihat hal itu, Ana bergegas mendekatkan telapak tangannya untuk menghangatkan tubuh.
“Kami sedang melakukan perjalanan menelusuri hutan ini. Tadinya kami ada bertiga, tapi terpisah waktu kabut tebal mulai datang. Kompas juga nggak berfungsi, entah kenapa tiba-tiba rusak. Senter pun mulai kehabisan daya. Perbekalan tinggal sedikit. Udah hampir putus asa, untung aja aku ketemu sama kamu di sini, jadi nggak merasa sendirian.”
“Oh,” jawab Ana singkat, “dalam rangka apa kalian menelusuri hutan?”
“Untuk konten youtube. Kami merasa tertantang dengan komen dari followers. Katanya kalau bernyali taklukkan medan di Hutan Larangan. Ya kami coba aja.”
“Kurang kerjaan,” cemooh Ana.
“Demi subscriber yang berujung dolar.” Pemuda itu menyodorkan botol air minum pada Ana dan sepotong roti padanya.
Mereka berdua makan dalam keadaan hening, sesekali lelaki yang belum menyebutkan namanya itu menambah beberapa ranting agar api tidak padam.
“Mbaknya sendiri kenapa bisa ada di sini sendirian, terus nggak ada pakai perlengkapan masuk hutan, nekat banget, sih?”
“Tadinya aku berdua sama suami mau pulang ke kota. Nggak tahu kenapa bisa tersesat. Terus kami pergi makan, terus ditinggalin gitu aja sama suami. Aku nunggu lama banget, habis itu dikejar anjing dan terpaksa, deh, masuk ke sini.”
“Ha? Mana ada di sepanjang hutan ini warung makan? Tertipu kali, Mbak. Bisa jadi itu halusinasi yang diciptakan oleh mahluk bunian di sini. Mereka emang suka mengecoh manusia dengan memberi makan, minum, jadinya kita susah mau lepas dari pengaruh hutan ini. Harusnya dipikir dulu, donk, mana ada warung di tengah hutan gini.”
Ana memutar bola mata, malas mendengar ocehan orang yang baru saja ditemui.
“Ya, mana aku tahu, namanya juga udah kelaparan, ditambah cuaca dingin, takutnya gerd kalau nggak segera isi perut.”
“Terus rencana Mbak sekarang apa?”
“Ya nunggu pagi, biar ada sinar matahari terus cari jalan keluar.”
“Yakin? Aku yang sudah terjebak tiga hari di sini aja ngerasa siang dan malam nggak ada bedanya. Sinar matahari nggak pernah kelihatan. Suer.” Ia mengacungkan dua jari membentuk tanda sumpah.
Ana terdiam beberapa saat, lelaki di hadapannya itu tampak bersunguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Dalam hatinya, hanya berharap Raka segera menemukannya, karena sama sekali wanita bermata cokelat itu tidak memiliki pengalaman memasuki hutan.
“Nggak tahu, semoga aja ada yang nolongin kita. Sekarang aku mau tidur dulu, beneran ngantuk.”
“Namaku Riki, Mbak.” Pemuda itu mengeluarkan selimut untuk Ana.
“Aku, Kirana. Panggil aja Ana.” Ia menerima uluran selimut itu, menutupi tubuhnya dan bergegas melanjutkan istirahatnya yang tertunda.”
Riki memperhatikannya dengan seringai menyeramkan.
***
“Ana!” teriak Raka menelusuri jalan setapak yang ada di dalam hutan.
Sia-sia saja, tidak ada jawaban dari arah manapun. Senternya ia arahkan ke sana kemari untuk menemukan keberadaan Ana. Namun, dari arah kiri, sesosok mahluk dengan baju putih bersih berdiri di sebelahnya.
“Sayang, kamu nggak menyerah juga, ya. Untuk apa juga nyari istri baru kamu, dia sudah jadi tumbal hutan ini, nggak mungkin kembali.” Asih menggenggam tangan Raka.
“Kamu cuma ilusi, kan. Nggak masuk akal kalau kamu ada di hutan ini sendirian.”
“Harus kuingatkan kenapa aku bisa di sini.” Asih membelai pipi Raka perlahan, “Kalau aku cuma ilusi, lalu siapa yang kamu ajak bercinta beberapa jam lalu?”
“Aku nggak peduli.” Raka melanjutkan perjalanan tanpa menghiraukan keberadaan mantan istrinya.
Merasa diabaikan, Asih menahan langkah Raka dengan memanjangkan rambutnya. Lelaki itu memegang lehernya yang tercekik oleh helaian legam. Mereka berdua berhadap-hadapan, hanya saja kondisi Raka melayang di atas tanah karena pergerakan rambut Asih.
“Jangan pikir kamu bisa pergi dari hadapanku begitu saja, Sayang. Ingat, kita pernah hidup bersama dulu, bahkan sampai saat ini aku belum melupakanmu.” Asih mengehempaskan tubuh Raka beberapa meter dari hadapannya. Lelaki itu terbatuk, kepalanya membentur batang pohon, hingga penglihatannya gelap.
****
Ana terbangun ketika suara burung hantu ia rasa semakin dekat dengan pendengarannya. Ia membuka mata perlahan, mencari keberadaan Riki yang bersamanya tadi. Tidak ia temukan. Ia takut jika pemuda itu meninggalkannya seorang diri. Begitu juga dengan api unggun tidak ada sama sekali. Perlahan wanita cantik itu mencari ponsel di saku celananya, menghidupkan flash dan memindai keadaan sekitar.
Matanya membulat ketika mengarahkan sinar ke arah pohon tinggi di hadapannya. Sesosok tubuh tergantung di atas sana, sebagian sudah membusuk dan dimakan ulat. Pakaiannya sama dengan yang digunakan Riki, pun dengan ransel yang menggantung di punggungnya. Ana menggelengkan kepala, ia merasa perutnya mual dengan bau menyengat yang tercium, kemudian memuntahkan semua isi perutnya.
Setelah muntahnya mereda, ia melanjutkan lagi perjalanan yang tertunda tanpa menghiraukan mayat yang tergantung di atas pohon. Tak sanggup lagi wanita itu berpikir atas peristiwa mengerikan yang menimpanya selama berada di wilayah Hutan Larangan. Boneka Martha masih ia pegang. Ia terus dan terus berjalan beberapa meter menjauh, hingga terjatuh karena kakinya menabrak sesuatu. Ana meraba benda yang menyandungnya, darah menjejak di telapak tangannya.
Ia mengambil kembali ponselnya, mencari tahu. Dengan jelas dilihatnya dua tubuh lain duduk dan terlilit akar pohon. Bahkan di bagian leher, akar pohon itu menjerat hingga tubuh itu mati dengan mulut menganga lebar.
“Jangan-jangan mereka bertiga ini mati mengenaskan dibunuh oleh hantu di dalam sini,” ujarnya seorang diri, “ya Tuhan, tolong, aku hanya ingin pulang.” Ana terisak kembali sembari bangkit meninggalkan dua mayat yang juga mulai digerogoti ulat.
Namun, baru beberapa langkah Ana kembali ke tubuh yang terikat itu. Cepat ia mengambil salah satu ransel milik mereka yang tergeletak di dekat pohon. Ia temukan beberapa peralatan yang ia rasa bisa membantunya mencari jalan keluar. Setelah membuang beberapa benda yang tidak dibutuhkan, Ana menggandeng ransel tersebut di bahunya dan melanjutkan perjalanannya dengan terisak. Boneka Martha melambaikan tangan pada dua buah mayat yang mereka tinggalkan begitu saja.
Bagian 5Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia me
Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b
Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern
Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu
Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali
BAGIAN 11“Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?”Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan
Bagian 12Semilir angin membuat Bagus tersadar dari tidurnya sepanjang malam. Ia menoleh ke sebelahnya. Wanita itu tidur tidak kalah lelap darinya. Jika dirinya tidak terluka parah semalam, bisa jadi hal-hal yang tak seharusnya terjadi akhirnya terjadi. Lelaki itu memperhatikan sekujur tubuhnya, bekas cakaran dan gigitan mahluk menyeramkan kemaren sudah hilang semuanya.Ia berdiri mencari pakaian yang dibuka Ana semalam, sayangnya tidak bisa lagi digunakan karena sudah robek di sana sini. Cepat Bagus mengeluarkan ujung kuku telunjuknya yang tajam. Menyayat kulit pohon tempatnya bersandar. Sayatan itu ia raut sedemikian rupa oleh jemari runcingnya, hingga akhirnya menjadi sebuah baju yang layak pakai. Pakaian yang kerap digunakannya dahulu ketika zaman belum maju seperti sekarang.Ana menggeliat bangun, dan memperhatikan gerakan lelaki di hadapannya. Wanita itu merasa takjub dengan penampilan lelaki yang baru saja ia dekati semalam. Wajahnya bersemu
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi