Bab 3
“Kok, nggak jadi bonekanya dibawa?” tanya Raka pada Kirana.
“Bukan punya kita, nanti pemiliknya datang lagi mau jemput ke rumah,” jawab Ana.
“Kamu masih percaya aja sama hal-hal gitu, mitos.” Raka melirik Ana yang dari tadi hanya duduk diam tanpa ekspresi apa pun.
Lelaki itu berpikir mungkin karena istrinya kelelahan saja, hingga sedari tadi hanya diam tidak berceloteh seperti biasanya. Wanita itu juga tidak menyentuh ponselnya sama sekali, mungkin habis daya, pikir Raka. Ia hanya membiarkannya saja, ia kembali fokus menyetir agar bisa melewati hutan yang semakin menebarkan aroma menyeramkan.
Raka melirik jam di tangan, sudah jam delapan malam. Namun, dirinya tidak kunjung jua melihat arah perkotaan maupun pemukiman penduduk untuk sekadar bertanya. Ia melirik ke arah spion di hadapanya, bayangan Ana tidak terlukis di sana. Ia menggelengkan kepalanya dan melirik wanita di sebelahnya. Ana masih duduk diam memandang lurus ke arah jalanan. Cepat lelaki itu mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya.
“Sayang.”
Raka sedikit terdiam mendengar panggilan dari bibir Ana, sahabat masa kecilnya itu tidak pernah memanggilnya semesra itu.
“Kamu nggak penasaran kemana perginya istri pertama kamu hampir tiga tahun?” lanjut Ana.
“Buat apa juga mikirin Asih. Dia udah sama lelaki lain. Ngapain juga kamu nanyain itu. Tumben?”
“Nggak kangen sama dia?”
“Please, An. Kamu tahu, kan, gimana aku dari dulu?”
“Kalau tiba-tiba Asih ada di depan kamu sekarang, kamu pilih aku atau dia?”
Raka memelankan laju kendaraan mobilnya perlahan. Ia menoleh ke arah Ana duduk. Sedari tadi sikap diam Ana dan tanyanya tiba-tiba, membuat lelaki itu merasakan keganjilan yang mengusik hati. Ketika ia memalingkan wajahnya ke depan, Raka dikejutkan oleh sekelebat bayangan putih yang melintas di depan mobilnya. Gegas lelaki itu membanting setir ke arah kanan dan menepikan mobilnya. Tanpa bertanya pada Ana, ia keluar memeriksa keadaan, siapa yang iseng dengannya, di malam hari di tengah hutan pula.
Puas melirik ke arah kiri kanan dan sekitarnya, lelaki berkacamata itu tidak menemukan siapa pun yang sedang menjahilinya. Raka kembali ke mobilnya, tidak ia temukan keberadaan Ana di kursi depan. Matanya membulat seketika ketika melihat sosok istri pertama yang meninggalkannya berada di kursi mobil belakang.
“Se-sejak kapan kamu ada di sini.” Gemetar tangannya melawan rasa takut dalam darahnya.
Sosok Asih berbalut baju tipis berwarna putih dan menampilkan lekuk tubuh langsingnya itu mengulurkan tangannya ke pipi Raka. “Sudah dari tadi, aku merindukanmu, suamiku.”
“Jangan macam-macam. Mana Ana, kamu apakan dia?” Raka mencoba membuka pintu mobil, tetapi mobil itu terkunci dan tidak terbuka sedikit pun.
Keringat mulai membanjiri pelipisnya, padahal angin dingin terus bergerak di sekitar hutan larangan itu. Raka masih terus membuka pintu mobil. Ia tidak menyerah, ia mencoba menghubungi ponsel Ana, sialnya tidak ada jaringan sama sekali di tengah hutan gelap gulita seperti sekarang.
“Sudah, lupakan Ana sebentar. Mustahil aku hilang begitu saja dari hatimu, kan?” Asih memeluk perlahan leher Raka dari belakang, ia sengaja menghembuskan napas dinginnya di telinga lelaki itu.
Sejenak Raka terdiam dengan perlakukan mesra Asih. Ia tidak memungkiri rasa rindu pun masih tersimpan untuknya. Namun, ia juga tidak bisa menolak logika berpikirnya, tidak mungkin Asih tinggal di tengah hutan seperti ini seorang diri pula.
“Lepaskan, Asih. Kita sudah bukan suami istri lagi, apa kamu lupa?” Raka melepaskan pelukan Asih dari lehernya.
Namun, Asih tidak melepaskannya begitu saja, ia menarik wajah Raka menghadap wajahnya, mencium bibir lelaki itu agar takluk kembali pada rayuannya. Awalnya Raka menolak dan mencoba menjauh, otaknya masih waras, ia harus mencari kemana perginya Ana. Namun, pesona Asih yang semakin terpancar serta wangi tubuhnya yang menusuk indera penciuman membuatnya lupa dengan kesadarannya sendiri.
Ia membalas ciuman Asih lebih dalam dan lama. Perlahan bahkan tangannya mulai menjelajah ke sana ke mari dan membuka kain tipis yang membungkus tubuh mantan istrinya. Memori hidup bertahun-tahun dengan Asih dahulu sebelum mereka berpisah, bangkit kembali menari di pusat syarafnya. Memaksanya takluk pada rasa rindu yang berpusat di satu titik tubuhnya untuk dituntaskan.
Asih menyambut setiap sentuhan Raka pada inci tubuhnya dengan senang hati. Ia bagai musafir kehausan yang menemukan oase di padang pasir. Sepasang insan itu saling mencumbu, menyentuh, memuja dan memuji yang membuat perasaan mereka melambung ke awan. Penyatuan jiwa mereka menimbulkan suara yang nyaring di antara lolongan anjing di dalam hutan.
***
Suara jangkrik dan lolongan anjing kembali membangkitkan kesadaran Raka yang tertidur selama beberapa jam. Tubuhnya serasa lemah dan ia bagai diserang rasa haus yang teramat sangat. Lelaki itu terkejut ketika ia terbangun tanpa busana. Cepat ia kenakan satu per satu pakaiannya, nalarnya belum bisa diajak untuk berpikir normal, sensasi sentuhan Asih tadi masih terasa lekat di tubuhnya. Lelaki itu menenggak minuman dalam kemasan botol besar hingga tinggal setengah. Setelah itu ia menarik napas dalam-dalam.
“Shit!” umpatnya.
Raka ingat dengan jelas terlena dalam pesona Asih yang sangat menggoda tadi. Namun, wanita itu pun tidak ada di dalam mobil. Lalu kemana Asih pergi, begitupun Ana? Semua bagai misteri menyeramkan yang mengurungnya lebih lama untuk berada di tengah Hutan Larangan. Terpaksa ia memutar balik mobilnya untuk menjemput istrinya.
Rumah makan tepi jalan yang ia singgahi bersama istrinya itu menjadi tempat yang akan ditujunya. Dengan kecepatan tinggi Raka menjalankan kendaraannya. Khawatir sesuatu akan menimpa Ana jika lebih lama menunggu.
Sejenak ia merutuki dirinya sendiri. Harusnya keanehan Ana sejak awal di dalam mobil bisa ia tangkap. Namun, sekali lagi lelaki berkacamata itu tidak pernah ingin percaya dengan mitos-mitos yang kerap ia dengar ketika seseorang terjebak di dalam hutan. Lalu bagaimana dengan percintaannya dengan Asih? Semuanya seakan terasa nyata, setiap sentuhan dan dambaan mereka benar-benar bukan hayalan saja. Meski tubuh Asih tidak sehangat tubuhnya, tetapi mereka tetap bisa bersentuhan seperti layaknya manusia lain.
“Harusnya aku nggak terbuai sama perasaan,” ucapnya, “Ana semoga kamu baik-baik saja, tunggu, aku pasti datang menjemput.”
***
Wanita bermata cokelat itu, masih menanti kedatangan Raka di pinggir jalan seorang diri. Ia enggan untuk duduk kembali di dalam lesehan yang nyaris ambruk dan gelap gulita. Hanya Martha-boneka cantik itu yang menemaninya. Air matanya ia hapus berkali-kali. Hawa dingin di dalam hutan telah membuat kakinya kebas hingga memaksanya duduk begitu saja. Tidak ada harap lain, selain kedatangan Raka yang menjemputnya. Meski sudah satu jam menunggu wanita itu enggan beranjak untuk berjalan lebih jauh.
Bukan tidak terdengar oleh Ana, suara-suara aneh yang datang dari dalam hutan. Ia hanya mencoba mengabaikan rasa takutnya sendiri. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Raka, tetapi tidak ada jaringan yang tersedia. Pesan pun hanya centang satu saja, belum berganti warna. Perlahan bibirnya bergetar menahan rasa dingin yang semakin menusuk tulang. Ia melipat bibirnya agar gigilnya tidak semakin menjadi. Kemeja putih tipis yang ia kenakan tak membantunya mengusir dingin.
Binatang berkaki empat keluar dari arah hutan di hadapannya. Makhluk bertaring tajam itu menggeram ke hadapannya, mau tidak mau Ana berdiri mencoba berlari, baru beberapa langkah sepatu tingginya sudah patah, gegas Ana melepasnya, meninggalkannya di jalanan dan terus berlari karena binatang berwarna hitam itu menyalak dan terus mengejarnya. Air matanya tumpah tanpa dihapusnya karena rasa takut telah menguasai jiwanya.
Dari arah depan seekor anjing datang lagi menghentikan langkahnya, Ana berbalik ke arah belakang, seekor anjing lagi ia temukan menyeringai dan meneteskan air liurnya, seolah-olah ingin mengoyak dirinya. Tiga ekor anjing itu mendekati Ana secara bersamaan, bahkan sudah bersiap untuk menerkamnya. Situasi hening sejenak, tiga mahluk hidup itu saling menatap satu sama lain. Dengan gerakan cepat Ana memutar tubuhnya mencoba menyelamatkan diri dan memasuki Hutan Larangan nan gelap di hadapannya. Dengan berbekal sinar ponsel seadanya di tangan, wanita cantik itu terus berlari menyelematkan diri, hingga tidak ia dengar lagi kawanan anjing itu mengejarnya. Namun, persoalan baru ia hadapi. Di mana sekarang dirinya berada?
Bagian 4Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberada
Bagian 5Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia me
Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b
Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern
Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu
Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali
BAGIAN 11“Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?”Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi