Bagian 30
Dunia Baru
Mita duduk di dekat pohon besar yang biasanya dijadikan Arya tempat bersandar. Wanita yang telah ditakdirkan berusia panjang itu, terus menatap ke kedalaman hutan. Di sana ia temukan, sepasang burung yang sedang bercengkrama. Wanita yang baru dinikahi Arya beberapa waktu itu, kemudian, menajamkan pandangannya, mengambil sebuah batu, ingin menguji sejauh mana kemampuannya menghalau dua makhluk lain yang sedang kasmaran. Namun, belum sampai batu itu ia lemparkan, makhluk lain datang dan menjentik kepalanya hingga ia meringis kesakitan.
“Kau mau kalau kita sedang berdua saja ada yang mengganggu, ha?” Arya datang dan membuyarkan semua kesenangan Mita.
“Nggak apa-apa, malah bagus, gak patah rasanya tulangku tiap malam,” sahutnya sembari memainkan rambutnya yang tumbuh lebih teba
Epilog 1Harimau PutihPawana, terus berjalan meninggalkan Hutan Larangan. Usai memberi pesan pada Arya agar tak membawa seorang wanita ke tempat mereka tinggal. Lelaki berambut putih itu menarik napas panjang. Bukan tak tahu ia ke mana Ana dan anaknya melangkah. Suatu tempat yang ia tinggalkan ratusan tahun yang lalu, ketika ia dan istrinya tak menemukan kesepakatan, hingga Pawana pun mengalah demi menghindari pertikaian. Wanita yang juga sama sakti dengannya, harimau putih dari Bukit Buas tempat mereka pertama kali bertemu.Lelaki berambut putih itu mengubah wujudnya menjadi harimau, terus berlari untuk keluar dari wilayah Hutan Larangan yang sangat luas. Ia tak pernah peduli dengan makhluk lain selagi tak menggangunya, hingga ia sampai di tepi hutan. Lelaki berambut putih dan bermata biru itu memejamkan matanya. Ia membayangkan wajah istrinya, Murti, yang telah lama terpis
Epilog 2Bukit BuasAna melempar ponselnya di ranjang, ketika ratusan kali ia mencoba untuk menelepon Mita, tetapi tak sekali pun sahabatnya menjawab. Hampir sebulan wanita bermata cokelat itu hidup berdua dengan Andra tanpa sedikit pun kabar dari Mita.“Apa kamu mati di tangan Erick.” Ana menggigiti kukunya sendiri. Berbagai macam spekulasi beredar di kepalanya. Wanita itu kemudian tertidur ketika Andra telah lama terlelap, mereka berdua masih tinggal di penginapan sederhana ketika harus kabur dari pengejaran Erick. Satu langkah besar akan diambil wanita bermata cokelat itu besok, hingga ia terpaksa harus memberi kabar pada Mita.***Pagi harinya, Ana kembali ke pasar tradisional tempatnya mencuri dengar tentang sebuah bukit yang menurut legenda, dijaga oleh seekor harimau putih
Sebelum membaca seaon 3 ini pastikan sudah membaca season 1 dan 2 ya, biar ceritanya nyambung. Happy reading. Warning : rate cerita ini sama seperti season 1 Bagian 1 Bangun Dari Tidur PanjangManusia harimau yang telah tertidur selama dua puluh tahun itu membuka mata yang pupilnya berwarna kuning. Bisa Bagus rasakan tubuhnya ditimpa batu-batu besar dan kecil di dalam sungai. Ia mengerakkan tangannya, lalu keluar kuku-kuku tajam yang telah lama tak ia asah ketajamannya. Dengan kekuatannya yang baru saja pulih, manusia harimau itu menyingkirkan semua bebatuan yang mengurung dirinya. Lalu dengan cepat ia berenang ke permukaan sembari wujudnya berubah menjadi harimau seutuhnya. Ia menangkap beberapa ikan baik ukuran besar atau kecil untuk mengganjal perutnya yang sangat lapar. Dua puluh tahun bertahan hidup hanya dengan air, jangan tanya lagi rasa lapar yang ia tanggung. Mungkin saja seisi hutan bisa ia babat untuk mengisi perutnya. Sebelum ia mencari di mana keberadaan Ana dan juga
Bagian 2 Haus Darah Lelaki berambut sebahu itu terus berjalan di wilayah Hutan Larangan. Selama ia tak sadarkan diri, sudah banyak hutan itu berubah berkat campur tangan dingin Murti. Satu demi satu penghuni yang lemah disingkirkan oleh istri gurunya. Namun, tidak termasuk wanita yang mengenakan kebaya hitam itu. Yang dahulunya memiliki hubungan cukup erat dengan Bagus. Wanita dengan banyak ilmu hitam di tangannya itu memandang orang yang dulu ia hormati dari atas pohon. Kemudian ia melompat dan menghadang Bagus tepat di depannya. “Tidur yang sangat panjang. Saat bangun kau tak berubah sedikit pun, Raden Bagus,” ujar wanita paruh baya itu. “Kau pun sama, Nyai. Masih sama seperti dulu. Apa masih suka bermain-main dengan arwah yang tak berdosa?” Bagus tetap berjalan lurus. Ia menembus tubuh Nyai tersebut begitu saja. Wanita yang hidup di zaman yang sama dengannya turut melayang menemani manusia harimau itu sampai ke ujung jalan. “Istri gurumu itu menyusahkan langkahku. Dia suka se
Bagian 3 Kenangan Lama Mobil itu berguncang sebab Bagus telah sangat lapar dengan daging manusia. Tiga orang gadis yang tak tahu apa-apa sama sekali hanya bisa menjerit dan menangis. Ketika hanya sedikit lagi manusia harimau itu akan memangsa Nadia, sebuah hantaman keras muncul. Lalu pintu mobil itu terbuka dan Bagus ditarik ke luar. Selanjutnya tiga orang gadis yang tadinya menjerit tak keruan diam sesaat. Mereka seakan-akan tunduk pada pandangan tajam seseorang. “Pulang dengan selamat, jalan lurus jangan belok kiri atau kanan, jangan hiraukan siapa pun yang meminta tolong. Dan lupakan peristiwa tadi, mengerti?” Perintah Arya pada tiga orang gadis itu. Lalu mobil melaju meninggaalkan dua manusia harimau tersebut di tepi Hutan Larangan. “Rindunya. Kau tidur sangat lama sampai kukira tak ingin bangun lagi.” Arya memeluk sahabatnya yang telah puluhan tahun ia tinggalkan sejak hidup bersama istrinya, Mita. “Kau terlihat lebih baik dari sebelumnya. Sepertinya kau sangat bahagia.” Bag
Bagian 4 Misteri Harimau Putih Damar—macan putih berusia ribuan tahun pemilik dan penunggu Bukit Buas bisa merasakan kehadiran seekor harimau kuning yang mencari keluarganya. Lelaki bertubuh tinggi dan besar itu merupakan kakak kandung Murti. Ia taat pada peraturan dan tak suka siapa pun dari jenisnya yang berani melanggar. Selama ribuan tahun ia menjalani hidup sebagai manusia harimau, dan selama itu pula baru ada yang berani melanggar peraturan yang ia buat. Manik matanya yang berwarna biru terus menembus rimbun pepohonan, bukit, sungai hingga menjumpai seorang anak laki-laki. Bagi Damar anak yang kini telah beranjak dewasa secara pandangan manusia biasa merupakan tawanannya seumur hidup. Ia akan menjadi tebusan yang amat mahal jika ingin ke luar dari Bukit Buas hidup-hidup. Lalu ia terus turun ke wilayah perumahan para warga. Tak ada satu pun yang tak tahu legenda tentang dirinya. Dalam kurun waktu satu kali dalam dua belas purnama harimau putih itu pasti turun ke bukit untuk m
Bagian 5 Wanita Paruh Baya Andra melompat ke atas pohon. Pandangan matanya yang hampir sama tajamnya dengan manusia harimau menatap dua pemburu yang akan membidik seekor kucing hutan. Sebelum timah panas itu dilesatkan. Terlebih dahulu pemuda berusia 20 tahun itu melompat dan membuat dua pemburu itu terkejut. “Pergi!” Satu kata peringatan terucap dari bibirnya yang terkadang haus darah. “Bocah sialan! Ganggu aja.” Salah satu pemburu itu ingin menghantamkan pangkal senapan. Namun, terlebih dahulu Andra menepisnya. Ia melempar lelaki itu hingga terpental beberapa meter. Tindakan anak itu membuat kucing hutan yang tadinya sedang tidur, bulu halusnya langsung berdiri semua. “Minta dimatikan ini setan kecil!” Lalu teman pemburu yang terjatuh mengokang senapannya dan menembakkan tepat ke kaki pemuda itu. Andra mengaduh sesaat, perih tetap ia rasakan, hanya saja darahnya tak banyak yang mengalir. “Udah cepet pergi dari sini. Sebelum kita dipidana karena bunuh orang,” ujar pemburu yang
Bagian 6 Telaga Tujuh Warna“Pikirin lagi, deh. Bukit Buas itu menurut legenda dari kita belum lahir, dari Indonesia belum merdeka dari ribuan tahun lalu. Tempat itu bener-bener bahaya. Udah banyak yang hilang di sana. Apalagi kamu, Nay. Mau curi-curi foto harimau putih. Di hap pindah kamu langsung dalam perutnya.” Gadis bernama Sarah melirik teman di sebelahnya yang memperbaiki kamera murahnya.“Itu, kan, cuma legenda, fabel. Belum tentu bener. Lagian tahun udah kelewat milenial gini masih percaya gituan kamu? Serius? Terus gunanya kita mau kuliah untuk apa?” sahut Kanaya walau hatinya juga sebenarnya takut pergi ke Bukit Buas. “Gunanya kuliah ya cari ijazah, sama cari pacar.” Sarah membuka kaca mobilnya. Tak lama lagi mereka akan sampai di desa yang berada di Bukit Buas. Dua orang gadis yang telah bersahabat sejak lama itu hanya diam tanpa suara. Ketika dua kilometer lagi mereka akan sampai. Seseorang penjaga perbatasan meminta Sarah yang sedang menyetir untuk mematikan musiknya.
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi