Hampa. Satu kata yang menggambarkan perasaan lelaki bertubuh tegap yang sedang merenung sambil memakan sarapannya. Nyatanya semua yang ia dapatkan tak pernah membuat hidupnya lebih baik. Mimpi buruk itu terus menjadi momok baginya setiap hari. Selama bertahun-tahun.
Sudah lama ia menjadi yatim piatu. Hidup sebatang kara sudah ia jalani hampir lima tahun terakhir. Terkadang ia ingin sekali mendapatkan ketenangan. Terkadang, yang dibutuhkan oleh orang hanyalah tenang dan bahagia."Nggak dimakan sarapannya, Den?" ucap seorang pembantu di rumah besar berlantai tiga itu. Sang 'Aden' terbangun dari lamunannya dan menyadari sesuatu. Ia hampir telat."Astaga, saya udah telat!" Pekik lelaki yang sudah rapi dengan seragam mewah sekolahnya. Celananya panjang sampai mata kaki warna merah menyala, baju atasnya dilengkapi almamater membuatnya terlihat sangat gagah dan tampan."Jangan lupa kunci pintu ya, Bu." Ujarnya memperingatkan. Pembantu yang berpakaian khas putih dan serbet warna hitam itu mengangguk patuh.Cowok itu segera melajukan motornya bahkan belum dipanaskan. Ia menancap gas untuk membelah jalanan yang ramai. Beberapa lampu merah ia trobos agar sampai sekolah tepat waktu.Kalau ditanya apakah ia tidak takut untuk asal menerobos lampu merah dan ngebut seperti sedang balap liar jawabannya adalah tidak sama sekali. Ia pernah mengalami sesuatu yang jauh lebih sakit daripada jatuh dari motor atau kecelakaan.Sekitar satu tancapan gas lagi, gerbang sekolah sudah ditutup rapat oleh satpam. Lelaki itu mengklakson beberapa kali tapi tidak digubris sama sekali oleh satpam."Pulang aja Mas! Guru udah capek ngomongin muridnya supaya jangan telat!" teriak satpam yang bernama Reno.Dengan satu tarikan napas, sang lelaki yang telat itu berujar setelah mematikan mesin motor. "Kan saya telat beberapa detik doang, Pak! Bukain lah!""Aturan tetep aturan, Mas. Lagian udah bapak bilangin sampe monyong nih bibir, kalo saya di sini hanya menjadi penjaga. Amanah kepada guru-guru di sini. Coba kalau lain kali mas....""Pak! Udah lah, saya mau masuk, sekarang bukain. Jam pertama saya ada ulangan PKN, Pak! Ga kasian sama saya? Nanti saya harus..."Adu argumen itu terus terjadi. Lelaki itu tak mau kalah begitu juga dengan satpam. "Mau ulangan PKN, mau ulangan hidup, intinya Mas itu udah telat! Cinta negara kok telat sekolah!"Setelah menelan pahit pil kekalahan, akhirnya si cowok itu memarkirkan motornya asal di depan sekolah. Kemudian berjalan mengendap ke arah samping sekolah. Tempatnya memang seperti kebun tak terawat, dan berbatasan juga dengan sekolah negeri di samping. Setelah melihat sekeliling, orang itu berusaha memanjat pagar yang sebenarnya sangat tinggi. Kalau bukan atlet mungkin tak akan bisa melompat.Namun sesaat sebelum ia mencoba menaiki pagar, sesuatu mengusiknya. "Ekhem!""Katanya sekolah favorit. Kok siswanya ada yang telat?" ujarnya menatap wajah lelaki tampan itu lempeng. Tanpa melihat membalas ucapan gadis berambut panjang bergelombang, lelaki itu tetap melanjutkan usahanya."Tolongin dong, ga bisa manjat tembok kak,"Setelah mendapat ucapan seperti itu sang lelaki menghentikan geraknya. Setelah sekian lama akhirnya ia mendengar ada yang memanggilnya 'kak' lagi. Dengan berdegup kencang sang lelaki membalikkan badannya dan ya!Wajah cantik gadis di hadapannya sukses membuatnya bengong sekian detik."Kenalan!" spontan si lelaki langsung menyodorkan tangannya. Pertemuan mendadak ini menjadikan harapan baru untuk hidupnya.Ekspresi wajah gadis itu menunjukkan ketidak nyamanan. Lelaki di hadapannya berubah menjadi berwajah tidak sabaran."Regandra Putra Prawiranagara. Panggil aja Regan."Oh, jadi namanya Regan..Regan menunggu balasan dari gadis di depannya. Sampai melambaikan tangannya di depan wajah cantiknya, Regan berujar "Nama kamu?""Aku? Nama...namanya Sri.""Kamu tinggal di mana?" tanya Regan lagi. Wajah dinginnya berubah 180° menjadi sangat manis dan hangat."Di...deket sini kok." Gagapnya menggaruk kepalanya. "Kamu telat?""Liatnya aja gimana," ketus gadis itu membalikkan tubuhnya mencoba memanjat pagar yang sudah sedikit berlumut. Regan dengan sangat sigap langsung menyatukan tangannya dan mendekatkan pada gadis yang baru ia temui ini."Sini, aku bantuin naik,Sri."Gadis itu enggan membuka sepatu. Menaiki kedua telapak tangan Regan dan memanjat dengan hati-hati."Hati-hati Sri.""Sri siapa sih?! Dari tadi sok kenal banget panggil-panggil Sri! Sri itu yang jual martabak mini di depan sekolah!" geram gadis itu sedikit gerakan hendak menendang wajah Regan."Bukannya kamu Sri? Tadi katanya Sri?""Bukan!! Ga usah sok tahu deh. Udah lah, makasih ya kak. Bye!" pamitnya saat sudah sampai di seberang tembok.Sesuatu terjatuh dari tas gadis misterius itu. Regan segera memungutnya dan menelisik botol kecil itu.Aurora Seinenda Adharania2x1Dalam bungkus obat itu tak tertera nama penakit sama sekali. Regan memasukkan obat itu ke saku celananya dan kembali ke depan gerbang.**Bel sekolah berbunyi nyaring, terdengar begitu sibuk kelas sebelas bahasa. Gadis yang sedang berdiskusi tentang pekerjaan kelompok itu menggeledah tasnya untuk mencari sesuatu."Nyari apa, Sei?""Nyari obat, dimana ya? Perasaan ada di sini deh tadi pagi." Paniknya sambil mengeluarkan semua isi tasnya. Mawar-temannya mencoba menenangkan sahabatnya. "Jangan sambil panik dong nyarinya. Lo pasti lupa naruhnya."Sei meraba laci meja, hasilnya nihil. Ia tak bisa tidak panik. "Yah, udah lah. Gimana lagi, ilang ya udah. Bagus juga, gue ga usah minum obat sekalian."Mawar memunguti barang sohibnya yang berserak. Gadis itu meletakkan tas Sei di meja. "Guys, hari ini ga kerja kelompok dulu ya," ujarnya pada teman sekelompok.Sei tahu. Mawar pasti ingin menjaganya. Pasti Sei tidak akan dibiarkan kelelahan. "Ketinggalan di rumah mungkin?" tanya Mawar."Rumah yang mana coba?" Kesal Sei sedikit mengacak rambutnya. Gadis itu merapikan semua bawaannya dan beranjak dari kelas. Ia lelah menghadapi berbagai rintangan hari ini. Dimulai dari telat sekolah, bertemu orang aneh, dibantu naik pagar, dipanggil Sri, ah.. lengkap sudah drama hari ini.Sei melihat sekeliling, tampaknya hari sudah terlalu sore sampai tidak ada lagi angkot yang melintas. Biasanya kedua sahabat itu memang berjalan, tapi mengingat sekarang Sei sedang malas jadi mendapatkan angkot hari ini adalah sebuah jackpot.Mawar mengetahui gelagat aneh orang di sampingnya. Berkali-kali Sei melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. "Gimana ya? gue harus jaga toko sekarang. Kalau sekarang gak jalan pasti telat deh,"Belum sapmpai Mawar menanggapi ucapan Sei, lelaki dengan motor kerennya menghampiri mereka. Sei menerka dalam hatinya, langsung mengetahui bahwa cowok tersebut adalah orang yang sama dengan yang bertemu dengannya pagi tadi."Naik,"Sei menampakkan wajah dinginnya. Ia terlalu gengsi menerima tawaran itu. Mawar menatap lelaki tampan itu dengan senyam senyum sendiri. Kapan lagi ia bisa bertemu dengan lelaki bertampang dewadan proporsi tubuh seperti model?Regan memutar bola matanya malas. "Aku ngomong sama kamu, Aurora Seinenda Adharania." ujarnya. Sei dan Mawar melempar tatap. Mawar merasa speechless, ini pacar Sei? Sementara itu Sei merasa aneh karena bahkan tadi pagi ia memberikan nama yang salah."Aku nungguin kamu,"Sekali lagi, Sei membalikkan tubuhnya untuk memastikan bahwa lelaki agresif ini sedang bicara dengannya. "Sei, dari pada lo telat kerja mendingan ikut dia deh. Tapi inget jangan cape-cape!""Apaan sih, ga mau. Mendingan gue telat daripada sama dia. Lo ga takut gu diculik?""Bukannya dia cowok lo?" heran Mawar mengerutkan dahinya dan sesekali tersenyum pada Regan yang sedang menunggu Sei naik ke motornya. "Bukan lah! Mana mau gue sama modelan kaya dia?""Sei mau katanya. Tapi emang dia masih malu-malu. Tolong anterin ke toko bunga di deket terminal ya, pokoknya temen gue ini jangan sampe lecet, dilarang ngebut, dan jangan lupa anterin pulang."Regan tersenyum puas di balik helm full facenya. Menstandart motornya dan menghampiri Sei yang melotot sambil mendumel kepada Mawar. "Mawar lo udah gila. Kalo dia apa-apain gue gimana?""Tenang aja, temen lo ini akan gue anterin ke rumah kok. Ayo, Aurora Seinenda Adharania.""Panggil Sei aja," ujar Sei kesal karena namanya diulang berkali kali.Regan berdehem dan mengulangi kalimatnya. "Ayo Sei," Sei mendengus kesal sekali lagi pada Mawar dan berbalik menunjukkan wajahnya pada Regan. Lelaki itu memakaikan helm ke kepala Sei tanpa permisi. Dengan perasaan campur aduk Sei melamun lagi.Tak sampai di situ, Regan menyodorkan jaketnya ke perempuan di hadapannya. "Buat nutupin kaki,"Sei menengok ke Mawar sekali lagi, meminta tolong. "Daaah!" ujar Mawar terlihat sangat senang apalagi saat Sei naik ke motor Regan. "Gue pulang agak malem. Mau mampir rumah,""Iya nanti gue bilangin Ibu!"Di perjalanan Sei sama sekali tak mau buka suara. Bahkan ia baru melihat lelaki ini pagi tadi, masa sekarang harus bersikap biasa saja seolah mereka sudah kenal lama? Tidak, Sei membenci lelaki pemaksa ini. Pasti ia akan dimanfaatkan. Ya, di novel yang pernah Sei baca alurnya seperti itu."Kamu udah kerja sejak kapan?" tanya Regan saat mengehentikan motor saat lampu merah."Kepo," jawab Sei sewot.Regan makin terpesona dengan cewek satu ini. Baru kali ini ada cewek yang menolaknya."Belok kanan,""Udah tahu, ini udah nyalain seint." jawab Regan. Sei menggaruk kepalanya. Kemudian menyadari bahwa kepalanya terbungkus helm. Ia menepuk jidatnya. Astaga, ia terlihat seperti orang bodoh.Regan melajukan motornya begitu lampu hijau menyala. Lelaki itu menancap gas sedikit lagi dan berbelok. lokasi tempat Sei bekerja ini sangat strategis. Sudah beberapa kali ia ke sini tapi tak pernah bertemu dengan Sei."Udah sampai," ujar Regan. Sei segera turun dari motor dengan bantuan pundak Regan. Regan menstandart motornya dan ikut turun dari motor. "Nih helmnya, makasih.""Bawa aja dulu. Nanti aku jemput.""Stop pake aku-kamu. Berasa kaya orang pacaran! Najis banget!""Jadi minta dipacarin?" sahut Regan sangat agresif membuat Sei menabok helm yang Regan pakai. Ia segera berbalik dan hendak masuk ke toko.Dukkk"Aww!"Regan menahan tawanya yang hanpir meledak karena Sei menabrak pintu kaca. "Pftt..""Jangan ketawa! Pulang sana!"Regan menatap Sei seperti tatapan seseorang yang sangat rindu dan lama tidak bertemu. lelaki itu tersenyum manis diam-diam dan memikirkan kejutan apa lagi yang akan ia beri untuknya.**
Sei melemaskan ototnya. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya untuk tutup toko. Hari ini lumayan juga, Sei tersenyum menikmati hasil kerjanya. Ia pikir akan menyimpannya untuk saat ini dan membelikan sesuatu untuk yang ia sayang.
Saat sibuk merekap penjualan pada hari ini, terdengar suara decitan pintu yang dibuka dari luar oleh seseorang. Sosok itu memakai helm jadi tak terlihat wajahnya. Sei menyambut lelaki yang tubuhnya sangat mirip dengan seseorang di hidupnya itu. Gadis itu menatap orang di hadapannya dengan sangat berharap. "Kak Sa.."
"SURPRISE!!!!!"
"Ga ada kerjaan banget ya lo!" Protes Sei sedikit ngegas. Ekspresinya langsung hilang seketika saat tahu Regan yang datang. "Ya ini kerjaan aku. Nganterin kamu sampe rumah." Jawab Regan tersenyum manis. Sei berdecih malas dan melanjutkan mencatat penghasilan hari ini. Setelah selesai, Regan mendekatinya dan menatap Sei dalam. "Mau beli satu buket bunga mawar putih dong, pake kartu ucapan." Setelah Sei sadar bahwa Regan sedang menatapnya intens, entah mengapa rasanya sangat gugup. Gadis itu menjawab dengan kalimat apapun yang ada di otaknya. "Mawar putih udah habis." Jawabnya singkat. Siapa yang tidak grogi ditatap dalam oleh lelaki bertampang dewa ini? "Itu masih!" Ujar Regan menunjuk puluhan mawar putih yang ada di pojok ruangan. Sei menghela nafasnya pasrah. Entah sudah berapa kali ia terlihat sangat bodoh di depan Regan. "Ya udah iya! Tunggu dulu!" Jawab Sei sedikit marah sambil menyiapkan semua yang dibutuhkan. Setelah sekitar sepuluh menit Regan menunggu dengan bermain handph
Sudah dua hari ini Regan tidak bertemu dengan Sei. Ia sudah ke rumah yang ia sangka rumah Sei lalu mencari keberadaannya. Namun hasilnya nihil. Regan hampir menyerah. Satu dan terakhir jalan yang bisa ia tempuh agar bisa bertemu dengan Sei adalah Mawar. Ya, pasti gadis itu tahu dimana keberadaan sahabatnya. Setelah bel pulang sekolah tanpa basa basi Regan menuju gerbang sekolah SMA Wismabama yang mana hanya berjarak beberapa langkah saja. Latihan karate untuk turnamennya bahkan disampingkan demi mencari Sei. Regan menelisik wajah satu per satu orang yang keluar dari SMA Garuda. Regan merogoh sakunya saat merasa getaran. Lelaki itu menatap layar handphonenya dan ternyata itu adalah telfon dari Surya-teman satu angkatannya. "Gue lagi sibuk!" Jawab Regan cepat. Bahkan saat seperti ini ia masih sempat mencari keberadaan Mawar. Dari sisi gerbang, Mawar datang dengan tangan memegang handphone dan seperti sedang mengetikkan pesan untuk seseorang. "Mawar!" Panggil Regan otomatis saat meli
Meski jam sudah menunjukkan tengah malam, Sei masih belum bisa tidur. Ia sedang memikirkan sesuatu. Orang yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup, selalu menjaga dan merawatnya, bahkan sudah pergi. Kembali ia buka roomchat yang kemarin ia buka. Kemarin ada yang kasih aku bunga. Dulu kan kamu. Pesan Sei masih utuh. Ia masih diperlakukan cuek. Sudah dua tahun ini ia dipisahkan dari kakak kandungnya oleh sang ayah. Sagara Adhitya, seseorang yang selalu Sei rindukan senyumannya. Entah mengapa, setiap Sei mencoba dekat dengan kakaknya sendiri-setelah kejadian yang membuat Sagara sakit hati- menjadi sangat sulit. Walaupun Sei sedikit tidak terima, tapi dalam hal ini ia juga tak bisa menyalahkan kakaknya karena Sagara pasti juga merasakan sakit-mungkin juga lebih besar darinya. Asa. Nama yang diberikan Sagara sendiri pada Sei. Diambil dari singkatan nama Sei, Asa menjadi panggilan sayang. Setiap Sei sakit pasti yang pertama pasang badan untuk menjaganya adalah Sagara. Setiap Agra
Jehan merenung. Gadis itu terpikir seorang perempuan yang kemarin berani ke sekolahnya dan mengemis pada Sagara kekasihnya. Apa dia adalah seseorang dari masa lalunya? Atau keluarga? Sahabat? Jangan-jangan...selingkuhan? Setelah kejadian yang hampir menewaskan mereka berdua, Jehan sedikit mengulur emosinya takut Sagara akan semakin marah dan berujung sesuatu yang buruk. Namun ia pikir akan baik-baik saja jika bertanya pada kekasihnya saat bukan sedang menyetir. Mungkin Sagara akan sedikit menjadi tenang. Pacar Sagara ingin mencari tahu soal dia. Dengan bermodal nama saja, mana bisa ia mengetahui identitas seseorang? Mustahil nama Seinenda akan muncul di mesin pencarian g****e. Ah,Jehan hampir gila rasanya. Di tengah lamunan panjangnya, teman kelasnya-Manda secara mendadak memberikan satu nasi bungkus yang dititipkan padanya. "Nih, dari ayang lo," ujar Manda malas. Jehan tersentak kaget dan langsung menetralkan ekspresinya. "Ketemu di mana?" tanya Jehan. Manda duduk manis di bangkun
"Ayo yang putra game!" teriak seorang guru olahraga bertubuh tegak itu. Semua cowok kelas XII IPS 2 bergerombol untuk membagi tim. Sementara siswi-siswi hanya duduk manis di pinggir lapangan indoor. Sei mengecek handphonenya siapa tahu ada WhatsApp dari Mawar. Tadi pagi ia ijin ke UKS karena tak kuat menahan nyeri datang bulan hari pertama. MawarUdah sembuh belum?Mau dibawain apa nanti?Sembari menunggu balasan dari Mawar, Sei ikut duduk bersama temannya yang lain. Gadis itu memang dikenal sedikit lebih pendiam kalau tidak sedang bersama Mawar. "Sei, gue denger kemarin lo masuk ke sekolah sebelah ya?" Tanya Alina sang ketua kelas yang kepo. Berita itu sepertinya sudah menyebar kemana-mana. Bahkan tadi pagi saat ia berangkat sekolah ada orang tak dikenal yang menanyakan hal serupa padanya. Sei tersenyum kaku. "I-iya kemarin habis ketemu orang," jawabnya. Alina melirik ketiga sahabatnya. "Emang harus banget ya ke sana? Lo kan tahu gimana hubungan sekolah kita." Heran Alina dengan w
Sei terperanjat kaget saat membuka matanya perlahan. Setelah menyadari bahwa dirinya telah tergeletak beberapa jam lalu, Sei berusaha duduk. Gadis itu mengucek matanya.Dalam kepanikan yang ia alami, Sei mengambil handphone yang layarnya retak sebelah karena jatuh. Sambil tertatih ia keluar dari lapangan indoor. Sei menutup hidungnya dengan tangan.Semua orang sudah masuk kelas, Sei semakin takut karena setelah ini ada pelajaran sosiologi. Pasti ia tak akan diijinkan untuk masuk kelas-mengingat betapa disiplinnya guru mapel.Karena tak memperhatikan langkah, tak sengaja Sei menabrak orang. Lelaki yang ditabrak oleh Sei tadi menyelinguk aneh. "Maaf," ujar Sei cepat dan berlalu dari sana.Cowok itu mengerutkan dahinya. Ia melihat bercak kemerahan di tangan perempuan itu. "Berhenti!" Teriaknya membuat Sei berhenti. Ia membalikkan badan bertanya. "Lo mimisan? Ayo ke UKS. Biar gue obatin." Tawarnya peduli. Sei tersenyum kaku dan menggeleng. "Ga usah gapapa kok. Emang suka mimisan kalo lag
Semenjak peristiwa canggung tidak karuan itu, Sei menjadi semakin menaikkan gengsinya. Pesan dari Regan sengaja ia biarkan beberapa menit bahkan beberapa jam sebelum ia balas. Ia semakin kepikiran karena kala itu sakitnya tiba-tiba datang saat bersama Regan, ia jadi semakin tidak karuan.Mengingat bagaimana Regan mengetahui perasaannya yang sebenarnya sungguh tak bisa membuat Sei tidur nyenyak. Ia selalu tiba-tiba teriak dan memukul Mawar karena salah tingkah.Sementara itu Regan tak berbeda sama sekali. Lelaki itu tetap mengejar Sei seperti biasa. Untuk ukuran perempuan gengsian seperti Sei memang sedikit lebih lama mendapatkannya. Setelah mendapat arahan untuk segera menuju ke perpustakaan, Regan segera menuju perpustakaan dengan malas. Pembiasaan literasi di sekolahnya memang ada. Dari lantai dua perpustakaan, Regan mendengar suara berisik. Namun lelaki itu tak acuh dan memilih untuk berkumpul bersama teman satu kelasnya."Anak-anak, sekarang silakan kalian ambil satu cerita teks
Saat tidak ada suaminya di sisinya, Amira hanya bisa puas dengan kedua anaknya yang setia menunggunya. Sagara sedang menemani Sei bermain boneka yang dibelikan nenek mereka. Paling tidak, jika memang Amira harus pergi ia akan sedikit tenang karena Sagara sudah dewasa-walaupun belum waktunya. Seluruh hidupnya akan dihabiskan untuk menjaga adik kesayangannya. Melihat senyuman yang terpancar dari wajah Sei putri bungsunya membuat Amira memiliki semangat hidup. Walaupun tanpa suami di sampingnya, Amira masih memiliki kedua malaikat di dekatnya. Sei kecil-yang saat itu baru berusia enam tahun menatap ibunya dengan tatapan memelas. "Ma.. Sei mau main sama Mama," pinta Sei sedikit terkesan memaksa. Anak itu berjalan menuju brankar dimana ibunya terbaring lemas. Kalau sudah melihat putrinya menghampirinya dan mengerucutkan bibir, tak akan bisa Amira menolak. Dengan susah payah, Amira menegakkan tubuhnya dan sebisa mungkin turun dari brankar. "Sei mau main sama Mama ya, sayang?" Tanya sang i