Aku mengucek mata beberapa kali demi memastikan apa yang baru saja kulihat. Terlihat disana Mas Rangga sudah berada di luar kantornya sedang berbicara dengan seorang wanita. Siapa dia? wanita itu sangat cantik, terlihat elegan dan berkelas. Apakah wanita itu Laura? Aku keluar dari dalam mobil dan mengintip dari balik mobil. Rasa penasaran membuatku ingin mendengar percakapan mereka. "Ingat Rangga, kau sudah berjanji mengabulkan satu keinginanku." "Aku tak lupa, katakan apa yang kau inginkan?" "Habiskan satu malam bersamaku." ucapan Wanita itu sukses membuat wajahku memerah, menahan amarah. ****Apa maksud ucapannya, menghabiskan satu malam bersama? Apakah itu semacam ...? Ah tidak! Pikiranku mulai berprasangka buruk, kukepalkan tanganku kuat, amarahku mulai naik.Panasnya siang ini tak seterik matahari di hatiku saat ini, rasanya persis seperti ada api yang membakar tubuhku sekarang. Wanita itu berpenampilan cukup berani. Dress sebatas lutut dengan belahan cukup tinggi yang mempe
Bi Ijah menunduk sebentar, tak lama ia mulai bercerita. "Non Eliza adalah pacarnya den Rangga saat masih kuliah, dulu waktu mereka masih pacaran, Mbak Eliza sering main kesini, tapi Almh. Nyonya, tidak begitu suka dengan non Eliza, karena kadang sikapnya kurang sopan. Mas Rangga sering membelanya waktu itu, dan beralasan jika sikap Eliza seperti itu karena ia cukup lama tinggal di luar negeri, jadi kebiasaan itu terbawa sampai kemari." Ia diam sejenak"Lalu non Laura ...?" tanyaku tak sabar.***"Setahu bibi. Setelah hubungan den Rangga dan Non Eliza berakhir, Non Laura masuk menggantikan posisi Non Eliza. Mereka pacaran cukup lama, meskipun tuan besar, menyetujui hubungan mereka, tetap saja ia tak menyukai Non Laura." "Kenapa bisa begitu, apa bibi tahu alasannya?" Tanyaku penasaran. "Bibi pernah dengar tentang janji Tuan Besar untuk menjodohkan den Rangga pada seorang anak temannya, waktu itu den Rangga menolak keras perjodohan itu, dan berniat melamar Non Laura agar terbebas dari
PoV Rangga Aneh.Sudah seminggu ini sikap Zia, tak seperti biasa, gadis itu terlihat lebih banyak diam. Apakah ada sesuatu hal yang menggangu pikirannya? Ada yang berbeda dengan Zia. Sorot matanya kadang terlihat kosong, gadis itu juga tak terlalu banyak bicara sekarang. membuat rasa penasaranku tiba tiba datang.Kubuka perlahan pintu kamarku, tampak Zia sedang tertidur pulas di sofa, seharusnya malam ini adalah giliranku yang tidur disana, entah kenapa, beberapa malam ini, ia terus saja memilih untuk tidur disana. Kubetulkan kembali letak selimutnya yang hampir jatuh, wajahnya yang polos, membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati, ia seorang gadis pekerja keras dan ulet yang pernah kukenal, ia jauh berbeda dari Eliza maupun Laura. Laura? Entah kenapa wanita itu datang kembali setelah tiga tahun berlalu, aku tak mengerti mengapa ia datang kekantorku seminggu yang lalu, aku bahkan tak pernah berpikir ataupun berharap untuk bertemu dengannya lagi setelah ia menolak lamaranku ti
"Lebih baik aku shalat di tempat lain saja, terlalu lama disini, bukan saja konsentrasiku yang hilang, tetapi juga kesabaranku," sungutnya sambil melangkah keluar, lalu menutup pintunya. Aku memang tak mengerti jalan pikiran wanita, diperhatikan salah, tidak diperhatikan, dikira tak peka, tak berperasaan, mungkinkah aku harus berguru pada Kahlil Gibran atau William Shakespeare, agar bisa memilih kata kata yang mampu memikat hati wanita? Ah. Sepertinya iya, jika ingin mendapatkan perhatian Zia kembali. **** Tidurku tak begitu nyenyak semalam, Entah mengapa, tadi malam, Mas Rangga bertingkah begitu menyebalkan, sudah berulang kali kukatakan jika aku lebih suka tidur di sofa, dia malah memancing masalah, membuatku kesal. Pagi ini papa memintaku menemaninya kekantor, ada beberapa hal penting yang harus kupelajari katanya. Papa memang menginginkanku mempelajari semua hal tentang bisnisnya. Untunglah, dengan menemaninya, aku punya kegiatan diluar hari ini, setidaknya itu bisa memulihka
"Maaf, dengan Bu Zia?" Panggilnya sopan padaku. "Iya, saya. Maaf, ada apa ya?" Balasku. "Anda di cari bapak, bu!" Jawabnya dengan bahasa tubuh yang sopan. "Terima kasih, nanti aku akan kesana," jawabku. Aku menoleh kearah Vira, sejenak kulihat wajah gadis itu terlihat bingung, aku menyunggingkan senyum simpul padanya. "Kau tak ingin ikut bersamaku, Vira? Untuk mencari tahu dan melihat siapa pria kaya itu?"*** "Tak perlu, aku tak tertarik," sungutnya. Tanpa perlu banyak bicara, kutarik paksa lengannya, sekali kali gadis sombong ini sangat perlu diberi pelajaran khusus. "Mau kemana kau menarikku? Kau benar benar gadis kasar, tak tahu sopan santun." Ia terus memakiku, hingga akhirnya mulut itu berhenti memaki ketika kami berdua masuk kedalam lift, yang akan membawa kami keruangan kerja papa mertuaku. "Aku hanya ingin memberi tahu pada gadis sombong sepertimu, bahwa aku tidak berbohong," jelasku santai. Pintu lift kemudian terbuka, aku kembali menarik lengannya, hingga kini kam
Siapa itu Kinanti? Hingga Mas Rangga sampai semarah itu saat bicara dengannya, Dan lagi apa yang mereka bicarakan? Jujur saja itu membuatku penasaran. Urusan dengan Laura saja belum selesai dan aku masih belum tahu jawaban Mas Rangga dengan permintaan Laura yang ingin menghabiskan satu malam bersamanya, dan sekarang, Kinanti?Entah mengapa, di benakku kini terlintas percakapan kami waktu itu, saat ia menceritakan tentang hubungannya dengan Eliza dan Laura.Astaga, mungkinkah, Kinanti adalah wanita yang waktu itu pernah kutanyakan? Meski pandanganku masih tertuju pada Mas Rangga, namun, kepalaku kini sudah penuh dengan berbagai pertanyaan. ****Mungkinkah, Kinanti adalah wanita yang waktu itu pernah kutanyakan? Wanita yang pernah menjebaknya pada malam terkut*k itu, hingga akhirnya membuatku kehilangan mahkota yang selama 20 tahun ini kujaga? Jika benar wanita itu, untuk apalagi ia menghubungi Mas Rangga, apakah masih ada hal yang belum selesai diantara mereka? Aku membuang nafas be
"Zia, bisa aku bicara sebentar denganmu?" Aku mengernyitkan dahi. Heran. Tak biasanya laki laki ini bertanya dulu padaku. Biasanya ia langsung saja bicara. "Iya, ada apa Mas? Apa ada sesuatu yang penting? Apa ini ada hubungannya dengan kedatangan Mbak Soraya tadi siang?" Kuberondong ia dengan banyak pertanyaan. ****"Ayo ikut aku sebentar ke kamar, kita bicara disana saja," ajaknya. Aneh, hal sepenting apa hingga wajahnya terlihat sangat serius seperti ini? Kuikuti saja langkah kakinya, ia tetap diam tak mengatakan apapun, tak lama kami berdua kini sudah berada di dalam kamar.Aku menutup pintunya, lalu duduk diatas ranjang, menunggu hal penting apa yang ingin ia bicarakan denganku. "Tadi sewaktu kau pergi bersama Pak Arsyad, papa mengajakku bicara, ia sungkan untuk membicarakan hal ini denganmu, makanya papa memintaku untuk membicarakannya lebih dulu denganmu."Wajah Mas Rangga terlihat serius, sesekali ia membuang nafas panjang, mungkin sedang mencari kata kata yang pas. "Ini
"Terima kasih, bi," sahutku setelah menerima gelas itu darinya, dan meminumnya habis isinya. Bi Ijah pun berlalu sambil membawa gelas yang telah kosong itu. "Zia, maaf, jika papa bertanya. Apa kau dan Rangga sudah membicarakan masalah resepsi pernikahan kalian?" Tanya papa begitu ia menghempaskan tubuhnya diatas sofa ruang keluarga ini. ***"Iya, pa. Kami sudah membahasnya," jawabku. "Apa kalian sudah bisa menentukan tanggalnya?" Tanya papa kembali. "Mas Rangga bilang secepatnya akan mencari tanggalnya, ia akan melihat jadwal kerjanya dulu untuk mencari tanggal yang pas," Jawabku."Begitu ya, baguslah." "Nak, jika kau butuh sesuatu, bicaralah pada papa, jangan pernah sungkan. Bagi papa, kau sudah seperti anak papa sendiri." Untuk beberapa lamanya ia diam, mata itu sesekali terpejam. "Zia, Papa ingin kau tahu, bahwa papa sudah memanggil pengacara untuk mengubah surat wasiat papa, dan juga sudah mengubah beberapa properti papa atas namamu, nak." Aku hanya menyimak saja perkataann
Apa kau masih jatuh cinta padaku?" "Aku ...." Ah, sial lidahku mendadak kaku, membuatku akhirnya menggigit bibirku. Kulirik ia terkekeh geli melihat sikapku yang masih malu malu, karena tak tahan menahan malu, kucoba untuk mengalihkan perhatiannya. Lagipula aku masih belum mendengar ungkapan cintanya, untukku. "Mas, bagaimana kabar Mbak Kinanti, apa ia baik baik saja?" Mendengar pertanyaanku Mas Rangga sontak menghentikan tawanya, raut wajahnya langsung berubah cemas. "Kinanti, dia ...." Ucap Mas Rangga ragu. "Apa yang terjadi padanya, katakan mas, aku ingin tahu," desakku penasaran. *** Mas Rangga menatapku dalam, beberapa kali ia mengerjapkan matanya, seolah ragu untuk mengatakannya, membuatku semakin ingin tahu apa yang terjadi pada Kinanti pasca kecelakaan itu. Ia menatapku, meraih dan menggenggam tanganku, lalu menciumnya perlahan, tak lama sebuah kenyataan pahit keluar dari bibirnya. "Kinanti meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit, Zia" Ucap Mas Rangga dengan sua
Mas Rangga kembali menghampiri, lalu memegang erat tanganku, ada rasa hangat dihatiku saat tangannya kemudian menyentuh pipiku, rasa takutku selama ini ketika berdekatan dengannya, tiba tiba menguap dan hilang entah kemana, berganti dengan rasa rindu yang menggebu. "Maafkan aku, Zia!" Aku mengedipkan kedua mataku beberapa kali saat mendengar kalimat itu darinya, Mas Rangga meminta maaf padaku, untuk apa? ****Lidahku masih kaku untuk kuajak bicara. Kucoba untuk duduk, tapi rasa sakit langsung menjalar saat tubuh ini kupaksa bergerak. "Tak usah bergerak, kau mau apa? Cukup katakan saja padaku." Ia bertanya, raut wajahnya terlihat cemas. "A-aku cuma mau minum, mas!" Jawabku pelan dan terbata. "Sebentar, akan kuambilkan untukmu," ucapnya lalu menuang air di teko kecil itu kedalam sebuah gelas. Aku masih berusaha untuk duduk, sayang, dengan tenaga yang kumiliki, ternyata masih belum bisa untuk mengangkat tubuhku sendiri, melihatku yang kesulitan, Ia pun membantu mengangkat tubuhku
Benarkah ini? Leon sudah mati?" Ia terus bergumam. Aku dan adik perempuan Leon, hanya memperhatikan saja. Untuk beberapa saat ia menangis. Tertunduk lemas. Setelah puas menangis, ia kembali menatapku, kupikir ia sudah mengingat masa lalu yang ingin ia kubur itu, sayang, kegembiraanku hanya sesaat. Tak berselang lama. Kinanti pun tertawa. "Makam siapa ini Mas? Ini tidak mungkin Leon," Ujarnya. **** Ia masih tertawa, sesekali diam menatap sedih kearah nisan itu. Karena merasa usahaku tak membuahkan hasil, akupun menelpon adik laki laki Kinanti yang sudah menyusul kami ke Singapura kemarin, agar bersiap membawanya kembali pulang ke Indonesia. Tak lama, Kubujuk dia untuk kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman menuju hotel, tangan Kinanti tak lepas dari lenganku, sesekali wajah itu menatapku tajam seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Dua hari lamanya Kinanti menolak keluar dari dalam kamar hotelnya saat mengetahui adiknya datang untuk menjemputnya pulang. D
Sebuah rencana mulai terpikir olehku saat aku melihat obat penenang yang disiapkan mama untukku ini. Rencana untuk membuat Rangga kembali mengingatku dan membuatnya tak akan pergi meninggalkanku lagi. "Rencana yang hebat," Ucapku sambil tertawa puas saat melihat pil perangsang yang kubeli via online ini sudah berada ditanganku. "Kau adalah milikku mas, selamanya akan selalu jadi milikku. Tak akan kubiarkan kau pergi meninggalkanku lagi," ucapku sambil tersenyum manis.*** PoV Rangga. Singapura Pesawat ini perlahan lahan mulai menukik tajam kebawah, sebentar lagi akan landing di Changi Airport Singapura. Kulihat Kinanti sedang bersiap dan merapikan barang barangnya. Perjalanan ke Singapura ini memang kurencanakan bukan untuk berlibur seperti yang ada dalam pikiran istriku, Zia. Tapi untuk mencoba berusaha menyadarkan dan membuka mata Kinanti. Rencana perjalanan ke Singapura ini kubuat bersama dengan adik laki lakinya, aku terpaksa meminta bantuan dari keluarga Kinanti demi me
Duarr .... Suara tabrakan itu terdengar keras dan membuat tubuhku berguncang. Ditengah kesadaranku yang makin menipis, masih kulihat ia yang tersenyum dalam tangis, menyebut sebuah nama. "Leon, kenapa kau pergi meninggalkanku!" Tak lama setelah mengucap kalimat itu ia menutup kedua matanya. Dengan mengumpulkan sisa tenaga, aku memanggil namanya, dan berusaha membangunnya, namun, kesadaranku semakin menghilang, hal terakhir yang masih kuingat adalah mencium bau parfum Mas Rangga yang sangat kusukai. **** PoV Kinanti. Kutatap undangan pernikahan di tanganku, Undangan yang telah selesai dicetak dan sudah sebagian disebar. Undangan berwarna biru bercampur emas dengan desain kekinian ini terlihat mewah dan elegan. Aku tersenyum saat mendengar laporan dari Wedding Organizer yang kusewa untuk mengurus acara pernikahanku. Aku puas mendengar laporannya yang menyatakan bahwa semua persiapan hampir selesai, sungguh, rasanya sudah tak sabar menunggu hari istimewa ini dua minggu lagi.
"Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas
"Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi
Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja
Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya