"Lebih baik aku tidur saja, daripada mendengar ocehanmu dan melihat wajahmu itu, selalu membuatku kesal saja," sungutku sambil merebahkan tubuhku diatas sofa lalu menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Rasanya aku sudah tak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Tante Mira saat melihatku berada di pelaminan bersanding dengan seorang pria kaya. Semoga ia tak terkena serangan jantung. Ah, baru membayangkannya saja sudah membuatku tersenyum sendiri. ***Coba ceritakan pada saya, pelan pelan saja," pinta Psikolog bernama Aliyah ini padaku. Wanita yang kutaksir berusia empat puluh tahunan dan berkerudung lebar ini memandangku sembari tersenyum. Aku menatapnya ragu, tapi dengan sabar, psikolog wanita yang duduk di hadapanku ini tak menyerah dan terus mencoba meyakinkanku. "Mbak Zia, jika memang masih sulit untuk mengatakannya, bisa coba ceritakan dulu hal hal yang yang membuat mbak Zia senang, yang mbak Zia suka, seperti berkebun, menanam bunga, atau yang lain," pancingnya lagi.Aku mas
Bab 38Dengan tangan gemetar, Kubuka ponselnya, syukurlah ia tak menguncinya, dengan mudah akupun memeriksa semua pesan ditiap aplikasi yang ada, tak terkecuali sosial media miliknya. Namun, hasilnya nihil, tak ada apapun, karena sepertinya Mas Rangga tak begitu suka membagikan sesuatu di sosial media miliknya. Karena tak mendapatkan informasi apapun, aku mengembalikan ponselnya kembali ke tempat asalnya. Dengan langkah gontai aku kembali ke sofa, namun pikiranku terus bertanya-tanya. Karena lelah, aku memutuskan untuk tidur saja, tak masalah, Kupikir akan kutanyakan saja besok pada Mbak Soraya, aku yakin ia tahu dan mengenal siapa itu Kinanti. **** "Kinanti adalah seorang gadis kaya, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga keraton solo, Zia. Kinanti itu adik perempuan dari seorang pelanggan VIP disalonku, mereka berkenalan saat tak sengaja bertemu ketika Kinanti melakukan perawatan di salon," jelas Mbak Soraya begitu kutanya. "Setelah perkenalan mereka, kudengar,
Ah, mungkin saja karena ini sudah rejeki kami. Aku mencoba untuk tersenyum, gaun pengantin ini membuatku benar-benar terlihat sangat berbeda. Kulirik Mbak Soraya yang sibuk memberi pengarahan pada para asistennya. Karena tak lama lagi aku akan memasuki aula resepsi. "Ayo, Zia. Sudah waktunya kau masuk, pengantin prianya juga sudah menunggu diluar," ucap Mbak Soraya lalu membantuku berdiri. **** Dekorasi dan penataannya membuatku tak henti berdecak kagum, pandangan mataku menyapu seluruh ruangan ini, deretan berbagai jenis bunga mawar import yang segar memenuhi tiap sudut ruangan ini, tak lupa beberapa ornamen kristal juga melengkapi interior pelaminan ini. Indah, benar benar terlihat indah. Harum bunga mawar tercium dari segala arah, berbagai jenis warna bunga mawar berjejer rapi, menghiasi ruangan ini, para tamu juga sudah berdatangan, membuatku sedikit gugup saat menjejakkan langkah ke pelaminan. Mas Rangga yang berada disampingku selalu menebar senyum, papa pun tak kalah bahagi
Satu buah kado mengusik rasa penasaranku, nama dan kalimat yang tertera dikartu ucapannya membuatku menyipitkan mataku, memperjelas apa yang kulihat. - Selamat menempuh hidup baru - Dari yang selalu mencintaimu, Kinanti.Kinanti? Astaga ... Mungkinkah Kinanti datang ke resepsi pernikahan tadi, dan berada diantara para tamu undangan yang hadir? Siapa yang mengundangnya? Apakah Mas Rangga?***Aku menelan ludah, aku tak mengerti mengapa rasa gelisah terus menghantuiku setiap melihat atau mendengar nama itu. Ada rasa penasaran yang menyeruak dihatiku. Rasanya ingin kubuang kado dari Kinanti ini, tapi niat itu segera terhalang saat aku melihat Mas Rangga masuk kedalam kamar. "Kau belum tidur, Zia?" Tanyanya sambil melepas sepatunya. "Belum," jawabku. "Buka saja kadonya kalau kau mau!" Sahutnya karena melihatku yang masih duduk didekat tumpukan kado ini."Besok saja, aku lelah, mau istirahat. Aku hanya merapikannya saja, tadi Mbak Soraya meletakkannya sedikit berantakan, karena ia bur
"Kenalkan, namaku Kinanti, Sekar Kinanti Pramudhita Ardhani," ucapnya dengan suaranya yang lembut. Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam, wanita ini, sangat sopan, ramah, anggun dan berkelas. Rasanya aku hampir tidak percaya jika ia yang menjebak Mas Rangga pada malam itu. Apakah mungkin jika wanita ini memiliki kepribadian ganda? ****Angin lembut menerpa wajahku, juga membuat harum wangi parfum mewahnya menguar. Aku memandangnya sejenak, Meski ragu, aku menyetujui permintaannya. Kuikuti langkah kakinya menuju cafe itu, jujur saja didalam hati, aku masih mengagumi kecantikan yang dimilikinya, wanita ini nyaris memiliki apa yang diinginkan oleh setiap perempuan.Sebuah meja yang berada disudut ruangan menjadi pilihannya, sebuah meja yang menghadap ke arah jalan. Aku tak membantahnya, kuikuti saja keinginannya, hingga akhirnya, beberapa detik kemudian, kami berdua sudah duduk saling berhadapan di tempat ini. "Bagaimana kabarmu, Zivara?" Ia bertanya beberapa saat setelah kami dudu
Zia ...!" Terdengar seseorang seperti memanggil namaku. Siapa? Perlahan kubuka mataku, seraut senyum menawan langsung menyambutku, ketika kedua kelopak mata ini terbuka sempurna."Mas Rangga!" Panggilku pelan. "Kau ketiduran, Zia. Tak biasanya kau tertidur tanpa mengganti bajumu, biasanya kau selalu mengganti baju dulu sebelum tidur. Apa kuliahmu sangat melelahkan hari ini, hingga kau tak sempat menggantinya?" Tanya Mas Rangga. Aku tak menjawabnya, memilih beranjak turun dari ranjang ini, mengucek sebentar mataku, lalu berjalan menuju wastafel, mencuci wajahku. Kulirik jam yang masih melingkar di tanganku, ah, sudah jam enam sore lewat lima belas menit, artinya sudah hampir dua jam aku tertidur. "Aku ketiduran sepulang kuliah tadi, mas." Jawabku. "Kau belum mau pakai kamar mandinya kan? Aku mau mandi sebentar," ucapku melangkah ke arah lemari pakaian, mengambil piyama, lalu menarik handuk. "Belum," Jawabnya pendek. Aku langsung masuk kekamar mandi, menyalakan showernya, lalu m
"Zia ...! Apa kabar?" terdengar suara seorang wanita menyapaku. Aku menoleh mencari asal suara, tampak seorang wanita lengkap dengan pakaian kerjanya telah berdiri didekatku. Aku menoleh mencari asal suara, tampak seorang wanita lengkap dengan pakaian kerjanya telah berdiri didekatku."Aku tak menyangka kita akan bertemu disini," desis wanita itu. "Kau?" ****"Kau ... Eliza? Ah, maaf, Mbak Eliza," ralatku.Wanita berparas bule itu tersenyum padaku, aku mempersilakan ia duduk didepanku."Duduk Mbak, sekalian pesan makanan ya, temani aku makan disini," Pintaku."Minum saja, aku masih kenyang," tolaknya halus."Baiklah." "Kau sendiri? Mana Mas Rangga?" Tanyanya sambil menoleh ke kanan dan kiri."Aku datang sendiri kesini, Mas Rangga mungkin masih dikantornya," ucapku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, yang menunjukkan pukul 17. 30 sore."Jam segini mungkin ia masih dijalan," terangku sambil memanggil seorang pelayan, untuk memesan segelas minuman untuk Eliza.Mantan ke
"Shitl!" Raut wajahnya benar benar terlihat sangat kesal. Tak lama kulirik ia mengepalkan tangannya, membuatku kembali menunduk "Sejak kapan kau mengenalnya? Kapan kalian bertemu?" Tanyanya lagi.***Aku diam, lidahku tiba tiba kaku. "Zia, tolong bicaralah. Aku ingin tahu semuanya." Aku menelan salivaku, perlahan kuangkat wajahku, jantungku semakin berdegup kencang ketika pandangan mata kami bertemu. "Kinanti ... mencariku dikampus mas, kami bicara sebentar," ucapku pelan."Dia mencarimu sampai ke kampusmu?" Tegas Mas Rangga menyipitkan matanya. "I-iya mas," Jawabku terbata lalu mengangguk. "Lalu, apa yang kalian berdua bicarakan?" Aku menggigit bibirku, lidahku kembali mendadak kelu untuk mengatakan isi pembicaraan kami di cafe kemarin. Tapi, aku tak bisa menghindarinya tatapan matanya yang kini semakin tajam padaku. Ia masih menunggu jawaban dariku. Tubuhku mendadak mengeras ketika kedua tangannya kini memegang bahuku. "Zia, lihat aku baik baik, ceritakan padaku apa yang Kin