"Kaluna ingin Cakra rasain rasa sakit yang Kaluna rasain! Bu! Kaluna dendam!" Kaluna menatap dingin Emma sambil tersenyum.“Kaluna ….” Emma mengelus bahu Kaluna pelan sambil menggeleng, “Ibu sangka kamu sudah melupakan rasa sakit hati kamu itu, Nak.”Saat berkata pikiran Emma kembali ke masa-masa penuh tangisan dan jeritan Kaluna yang merasa sangat sakit hati dengan pengkhiatan Cakra. Setiap ada orang atau tetangga yang datang dan menanyakan kenapa pernikahan antara Kaluna dan Cakra tidak jadi dilangsungkan, Kaluna pasti langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat, Kaluna hanya menangis meraung dan memaki dirinya sendiri.Berkali-kali Emma menenangkan Kaluna dan berkata lebih baik mereka mengetahui kelakuan Cakra di awal dari pada setelah pernikahan. Semuanya bakal lebih rumit dan memusingkan, apalagi kalau sudah ada kehadiran anak. Pasti semuanya akan lebih berat untuk dilalui. Kaluna yang mendengarkan perkataan Emma saat itu hanya bisa menangis dan memaki Cakra.Emma juga
"Kamu ...."Pamungkas mengangguk, "Iya ini aku," ucap Pamungkas sambil melihat sekelilingnya dan mengetuk-ngetuk jemarinya seolah ia ragu untuk melanjutkan perkataannya.Emma dengan cepat mengambil barang-barangnya dan berdiri dari kursinya. Mungkin dia suka dengan suasana di cafe ini karena mengingatkan dirinya dengan kehidupan baiknya bersama Pamungkas, tapi, hanya untuk dikenang bukan tiba-tiba melihat Pamungkas di hadapannya dan menyapa dirinya! Menakutkan.Emma memasukkan barang-barangnya ke dalam tas secara serampangan dan beranjak dari kursinya."Maaf."Emma terdiam dan melirik ke arah Pamungkas bingung, "Hah?" tanya Emma yang takut kalau saat ini kupingnya bermasalah karena mendengar satu kata yang tidak mungkin meluncur keluar dari mulut seorang Pamungkas! Pamungkas mengangguk dan mengambil ponselnya lalu menyimpan ponselnya di meja sedekat mungkin dengan Emma, "Maaf."Emma menggeleng beberapa kali sambil menjejalkan telunjuknya ke dalam kuping kanannya sambil menggerakkanny
Suara detik jam terasa sangat menyesakkan dada Emma saat ini, beberapa kali Emma mengetuk-ngetukkan ujung sendiknya ke piring kecil tatakan cangkir tehnya untuk membunuh waktu yang saat ini terasa sangat mencekik dan melelahkan.Sesekali Emma menoleh ke arah Pamungkas yang duduk di hadapannya namun melihat ke arah lain, seolah enggan melihat wajahnya. Emma memejamkan matanya dan mengingat apa yang baru saja terjadi lima menit yang lalu.Dirinya hampir saja membenturkan kepalanya ke meja karena merasa berada di alam mimpi karena melihat Pamungkas bersimpuh di kakinya dan memohon ampun lalu yang paling membuat Emma tak habis pikir, lelaki dengan ego setinggi Pamungkas mau melakukan hal seperti tadi di tempat umum dan hampir membuat sedikit kegaduhan. Untung saja cafe itu sepi tapi, karena takut membuat kegaduhan akhirnya Emma meminta untuk pindah ke tempat yang lebih privat dan untungnya cafe tersebut memiliki ruangan privat yang bisa di pakai."Emma," panggil Pamungkas memecahkan keheni
"Aku memang rendah Emma, aku lebih rendah dari binatang atau apa pun juga. Aku sadar dan aku terima konsekuensinya," ucap Pamungkas sambil berusaha untuk mendekat pada Emma namun, Emma mundur beberapa langkah menjauhi Pamungkas seolah Pamungkas adalah manusia paling hina di muka bumi ini.Pamungkas tidak bisa memaksa atau melakukan apa pun juga karena ini memang sudah takdirnya. Ia paham kebodohannya di masa lalu sudah membuat dirinya menelan pil sangat pahit di masa saat ini. Dirinya sendirian tanpa anak dan istri hanya karena mendengarkan fitnahan ibu dan adiknya ditambah terbakar api cemburu akibat terlalu menyayangi Emma.Suatu rasa sayang yang akhirnya berubah menjadi sebuah keinginan untuk menguasai Emma namun ia tunjukkan delan jalan negatif yang berbuah ia menjadi sebatang kara dan hanta bisa bersama dengan ibu dan adiknya yang ternyata terus memanfaatkannya sebagai mesij uang untuk memenuhi kehidupan hedonis mereka berdua. Miris, tapi, itu harga yang harus Pamungkas bayar kar
Emma berjalan secepat mungkin sambil mendorong trolly yang rodanya berputar sangat cepat seolah ingin sesegera mungkin menghilang dari sana. "Gila! Pamungkas Gila!" batin Emma sambil terus mendorong trolly-nya sekencang mungkin hingga beberapa kali ia mendapatkan lirikan kesal dan teriakkan karena berjalan tidak hati-hati. Tapi, Emma tidak peduli dan enggan untuk melambatkan langkah kakinya. Lebih baik ia dimarahi dan ditatap kesal oleh orang-orang sekitarnya dari pada harus bertemu dengan Pamungkas."Kenapa juga harus ketemu itu manusia?" umpat Emma dengan suara sekecil mungkin dan mata terus menatap ke depan. Di kepala Emma saat ini hanya bagaimana caranya supaya dia bisa sampai ke arah pintu kaca keluar tempat itu secepat mungkin agar dia tidak bernapas di satu udara yang sama dengan Pamungkas! Pengap."Gila, kenapa pria itu nggak punya otak! Apa dia nggak ada rasa bersalah atau apa gitu? Kenapa bisa semudah itu dia minta maaf dan berharap aku dan Kaluna akan membuka tangan seleba
Pamungkas berjalan pelan melewati lorong gelap nan sempit yang berbau busuk dan udaranya membuat dirinya terasa sangat sesak bukan main, hingga untuk bernapas saja Pamungkas harus menggunakan mulutnya bukan hidungnya karena bau busuk nan menyengat yang sudah tidak bisa ia tolerir lagi.Tubuhnya terasa sangat limbung hingga mau tidak mau setiap ia melangkahkan kakinya kedua tangannya harus menahan bobot tubuhnya dengan cara menekan dinding yang ada di kanan juga kiri tubuhnya. Menghimpitnya seolah Pamungkas adalah tikus busuk percobaan yang tidak bisa pergi ke mana-mana. Pamungkas mencoba mengingat kenapa ia ada di sana dengan susah payah, tapi, sialnya ia hanya ingat dirinya berteriak memohon ampun pada Kaluna di dalam lift. Pamungkas berteriak hingga berjongkok lalu ia ingat kalau dirinya menangis histeris dan menjerit juga memaki kebodohan dirinya karena menpercayai ibu dan adik kandungnya.Mempercayai fitnahannya tentang Emma, wanita yang ia minta secara baik-baik dari orang tuan
Plak!!!Sebuah tamparan di pipi kanannya seolah menariknya ke alam sadar, memaksanya untuk mengumpulkan nyawanya dengan cepat dan memintanya untuk membuka matanya selebar mungkin. "Kaluna!!!" Pamungkas berteriak keras sambil membuka matanya dan terbangun dari tidurnya lalu ia melihat wajah Farida yang sedang menatapnya takut."Kaluna! Mana Kaluna?" tanya Pamungkas sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dengan liar. Ia kemudian melihat Frida dan mencengkeram lengannya dan kembali berteriak keras, "Kaluna mana!""Apa sih Mas Pamungkas? Kamu kenapa tiba-tiba ingat dengan anak lonte itu?" tanya Frida heran bercampur kaget karena sudah hampir tujuh tahun Frida tidak pernah mendengar Pamungkas memanggil nama Kaluna. Pamungkas meloncat dari ranjang dan berjalan seperti orang kesetanan mengelilingi juga memeriksa setiap sudut ruangan yang mungkin saja di gunakan Kaluna untuk bersembunyi. “Mimpi … mimpi, hahaha … mimpi!”"Mas kenapa?" tanya Frida yang bingung, sambil menc
"Yang," panggil Jonathan saat ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah dan melihat Kaluna sedang asik berada di depan kompor, entah apa yang ia masak."Hai, kamu udah pulang? Kok tumben?" tanya Kaluna penuh semangat sambil mematikan kompor dan membawa mangkuk."Udah ... tadi aku cuman ngurus resep dan chef choise untuk bulan depan. Sama ngurusin kerjaan bekas si McFlurry sialan yang amburadul," keluk Jonathan sambil membuka menyimpan tas yang terasa sangat berat di bahunya. Membawa hampir semua buku resep yang ia miliki benar-benar membuat ia berolah raga sejenak."Salah sendiri memperkerjakan orang ngasal, jangan bilang si Raka ambil si Mcflurry cuman karena bayarannya murah," tebak Kaluna sambil memasukkan hasil masakannya ke dalam mangkok lalu menyimpan di atas meja.Jonathan terbatuk berkali-kali saat mencium aroma makanan yang ada di atas meja, "Apa ini? Kamu masak apa? Racun jenis baru?" tanya Jonathan sambil mengibaskan tangannya di depan wajahnya untuk menghilangkan bau yang ter