"Sebenarnya kapan Kak Kae akan mengutarakan cinta padaku?" Kaesar menatap kaget ke arah Zira. Namun, sayangnya ekspresi kagetnya tersebut tertutup oleh wajahnya yang datar.Zira sendiri, dia juga kaget dengan apa yang barusan ia katakan. Dia reflek menutup mulut dengan kedua tangan, mundur ke sudut wardrobe room; menatap suaminya dengan mata membelalak. Kaesar menaikkan sebelah alis, terus menatap secara intens pada sang istri. Smirk tipis seketika menyungging di bibir, geli serta gemas melihat tingkah lucu Zira. Hell yeah, ini membunuh Kaesar! "Hik …." Zira semakin melebarkan mata, kaget sekaligus malu setengah mati ketika dia tiba-tiba cegukan. Smirk di bibir Kaesar berubah menjadi sebuah senyuman yang indah. Lalu tawa pelan yang ringan terdengar merdu, keluar dari bibir pria tampan tersebut. Tatapannya sama sekali tak lepas dari sosok Zira, memandangi istrinya tersebut secara berat dan sayup–seolah Zira lah satu-satunya objek di muka bumi ini, dan Kaesar buta melihat objek se
"Kau tidak lalai, dan kau berhasil, Nak."Kaesar yang sempat menundukkan kepala, mendongak ke arah ayah mertua. Dia kaget mendengar penuturan dari sang ayah mertua. Berhasil? Tetapi dia membuat Zira dalam bahaya. Hanya karena Zira kekasihnya, keluarganya berniat mencelakainya. Kaesar merasa jika dia pantas mendapat amukan dari pria ini. Bagaimanapun, Zira adalah putri satu-satunya Reigha–kesayangan sang pemilik dunia gelap ini."Kau berhasil membuktikan diri jika kau pantas menjadi suami Zira. Kau memenuhi semua syarat yang kuberi. Selamat," ucap Reigha, tersenyum tipis sembari mengulurkan tangan ke arah Kaesar–mengajaknya berjabat tangan. Kaesar dengan kikuk, gugup sekaligus canggung menerima jabatan tangan ayah mertuanya tersebut. Melihat senyuman sang ayah mertua, Kaesar semakin dibuat grogi. Dia mendapat apresiasi, ini menakjubkan dan mendebarkan bagi Kaesar. "Sekarang Zira milikmu," ucap Reigha, tiba-tiba berdiri dari sofa, "tetapi kalian masih tidak boleh punya anak. Anak k
"Lebih baik Kak Kaesar keluar." Zira berucap pelan, menatap Kaesar berang bercampur malu. Bukannya keluar dari kamar mandi, Kaesar malah menutup pintu–membuka pakaian lalu bergabung dengan Zira. "Kak …," cicit Zira pelan. "Kenapa?" Kaesar menaikkan sebelah alis, menatap istrinya dengan tatapan yang berat dan penuh hasrat. Zira menggelengkan kepala, memilih diam ketika Kaesar mulai menyentuhnya. Sejujurnya dia ingin menolak, tetapi dia … dia suka sentuhan Kaesar. Zira menikmatinya. ***Kebahagian yang Kaesar dan Zira katakan berubah menjadi duka dan bencana. Pagi ini, Zira mengalami kecelakaan yang membuat seluruh keluarga Azam khawatir pada kondisinya–sekaligus membuat Kaesar dalam masalah besar. Rutinitas Razie dan Zira bertengkar di pagi hari, entah itu karena selai atau karena berebut kursi. Pagi ini kembar tersebut bertengkar lagi, disebabkan oleh Razie yang menghabiskan selai strawberry kesukaan Zira. Keduanya berlari-lari, saling mengejar di ruang makan. Meskipun Reigha
"Aku pikir kau selalu sempurna dan keputusanmu selalu benar. Tetapi sekarang aku berubah pikiran. Menikahkan Zira dengan pria sampah itu adalah keputusan terbodoh yang pernah kau lakukan, Reigha. Bukannya melindungi Zira, hidup Zira hancur ditangannya. Orang yang sangat kau percayai merusak putri kesayanganmu, Reigha Abbas Azam!"Kaesar mendongak, tetapi hanya sekilas karena dia kembali menundukkan kepala. Apapun yang keluarga Azam katakan, dia akan menerima. Sebab Kaesar salah.Semisal Reigha menginginkan kematiannya, bagi Kaesar itu juga bukan masalah. Reigha menoleh ke arah sepupunya tersebut. Wajahnya terlihat flat, membuat siapapun tak bisa menebak apa yang pria itu rasakan atau pikirkan. "Kau hanya iri karena kau tidak pernah mendapatkan kepercayaan dariku," ucap Reigha santai, menepuk pundak pria tua itu kemudian mencengkeramnya dengan kuat."Hati-hati jika berbicara denganku. Pulanglah," tambah Reigha dingin, melepaskan tangannya dari pundak pria itu. "Cik." Dia berdecak ke
"Tapi … Daddy pasti memarahi Kakak kan?" tanya Zira, lagi-lagi menitihkan air mata. Tak bisa membayangkan jika suaminya ini dimarahi oleh Daddynya, karena masalah ini. Kaesar menggelengkan kepala. "Tidak sama sekali," jawabnya sembari tersenyum pada sang istri, meyakinkan Zira jika Kaesar sama sekali tidak dimarahi oleh Reigha. Di sisi lain, Reigha masuk dalam ruangan itu–menghela napas pelan kemudian berjalan mendekati istrinya. Dia mengalungkan tangan di pinggang Ziea, menatap lurus ke arah Kaesar dan Zira. "Berikan mereka ruang. Ayo," ucap Reigha kemudian, menarik Ziea untuk keluar dari ruangan tersebut."Mas tidak memarahi Kaesar kan?" tanya Ziea pada suaminya, setelah mereka di luar ruangan. Bukan hanya mereka yang keluar, para keluarganya yang lain seperti Serena, Rafael, dan yang lainnya juga ikut keluar. "Aku harap Mas tidak melakukannya." "Tidak." Reigha menggelengkan kepala pelan, "aku lebih kasihan padanya karena keputusanku, ZieKu." "Keputusan apa?" tanya Ziea pelan,
'Ini boneka untukmu. Dia akan menemanimu selama aku tidak bersamamu.' Zira menitihkan air mata kala mengingat momen itu–momen di mana Kaesar pamit pergi sembari memberikan sebuah boneka yang cukup besar ke pada Zira. Setelah dua minggu, Zira merasa lebih baik. Bahkan dia sangat senang karena Kaesar sering mengajaknya jalan-jalan bahkan makan malam romantis, berdua. Dia pikir, dua Minggu yang manis setelah kehilangan bayinya adalah awal dari kebahagiaannya. Akan tetapi itu merupakan awal dari kehampaan. 'Jika kau ingin cepat-cepat bertemu denganku, maka selesaikan pendidikanmu dengan cepat,' ucap Kaesar saat itu padanya, hangat tetapi menusuk secara bersamaan. Ceklek' Zira buru-buru menghapus air mata, reflek menoleh ke arah pintu–menatap saudara kembarnya yang berdiri di ambang pintu dengan memikul sebuah plastik hitam yang … Berdarah?!"Wow wow wow!" Zira reflek berdiri di atas ranjang, menatap kaget sekaligus horor ke arah Razie. Sial, mana ini sudah tengah malam lagi! "Tolon
Sudah satu tahun semenjak Kaesar berpisah dengan Zira, selama itu mereka tak pernah bertemu. Demi Tuhan, Zira sangat merindukan suaminya tersebut. Namun, kemana dia akan menemui Kaesar? Dia pernah ke rumah mereka, tetapi Kaesar tak ada di sana. Dia menginap selama dua minggu di sana, berharap jika Kaesar pulang dan mereka bertemu. Namun, sayang selama dua minggu menunggu di sana Kaesar tak pernah pulang. Zira juga pernah ke perusahaan Kaesar. Sayangnya yang dia temukan di sana hanyalah Raka, kepercayaan sang suami. "Kamu merasa aneh nggak tadi?" Zira yang sedang melamun, memikirkan Kaesar, sontak mendongak menatap ke arah Gani yang duduk di depannya. Saat ini mereka berada dalam kelas, mengikuti mata kuliah umum yang diwajibkan pada setiap mahasiswa–baik di fakultas mereka maupun di fakultas lain. "Aneh gimana?" ucap Zira pelan, takut dosen di depan sana mengetahui perbuatan mereka. Sang dosen sedang menjelaskan pelajaran, seluruh mahasiswa dilarang berisik tentunya. "Bapak-bap
Zira meneguk saliva secara susah payah ketika dia sudah berada di depan gang sempit, di mana rumor mengatakan jika gang tersebut penuh dengan kumpulan pemuda-pemuda kecanduan alkohol serta obat terlarang. Ada alasan kenapa Zira nekat ingin lewat jalan ini, selain merupakan jalan pintas agar lebih dekat ke jalan utama, juga untuk suatu hal. Namun, Zira mendadak tak berani. Gang tersebut minim pencahayaan dan tak ada orang selain dia ditempat itu. "Aku pergi saja. Aku takut," gumam Zira pelan, memutar tubuh lalu memilih beranjak dari sana. Zira menggelengkan kepala, tak percaya dengan kenekatannya ini. Dia mencari bahaya hanya demi bertemu dengan …- Bagaimana jika Kaesar tak datang menyelamatkannya? Bukankah Zira akan berakhir tragis? Zira memutuskan untuk pulang, namun tiba-tiba saja terdengar langkah kaki dari belakang. Zira berusaha tenang, berhenti melangkah kemudian memutar tubuh untuk melihat siapa orang yang mengikutinya.Deg'"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini, hum
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming