Kanza memijit kening ketika melihat Alana mencengkeram kerah kemeja Dani, pusing dengan Alana yang sudah ia anggap sejak dulu sebagai Kunti pengganggu. "Kamu nikah nggak ngundang-ngundang aku, Hah? Takut zuppa soup sama rendang di pernikahanmu habis yah makanya nggak ngundang aku?!" tuntut Alana, marah-marah pada Dani tanpa memperhatikan sekitarnya. "Eh." Dani hanya bisa meringis, menatap Alana cukup kaget dan pucat pias. Hais, dedemit ini kenapa muncul? "Bukan takut zuppa soup sama rendang habis, Alan. Tapi takut meja prasmanan-nya kamu makan, makanya Dani nggak ngundang kamu," ucap Kanza pelan, manggaruk tengkuk dengan menatap santai ke arah Alana. "Aaaah … Adi, kamu jahat banget sih!" Alana menyungut, memukul pundak Dani cukup kuat kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Kanza. "Lah, si anying!" Dani mengusap pundak, "siapa yang salah siapa yang dipukul. Dasar Kunti!" ucapnya sebal, menatap berang ke arah Alana yang sudah duduk. "Kunti? Helloww … aku ini model terkenal ya
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, hari pernikahan Kanza dan Razie. Setelah menggelar pernikahan privat yang mewah– meskipun hanya dihadiri oleh keluarga Azam serta tamu spesial keluarga Azam, akhirnya Kanza sah menjadi istri dari Razie Dominic Azam. Ada banyak keluarga pria itu yang hadir, keluarga pria tersebut yang dari LA, Paris, Italia, dan tempat lainnya. Mereka semua datang. Kanza benar-benar bingung serta kesulitan untuk menghapal wajah mereka semua. Itu kekurangan Kanza. Dia cukup cerdas dan pintar, mudah tanggap dan mudah menghapal rumus tersulit sekalipun. Tetapi tidak dengan wajah seseorang. Kanza sangat sulit mengingat wajah, dan Kanza menyebutnya sebagai kekurangan untuknya. [Selamat yah, Kanza sayangku. Semoga malam pertamamu dengan Tuan muda kaya raya lancar. Semoga Kendrick cepat dapat adik. Hihihihi ….]Kanza yang sedang membaca note dari Jihan dan Dani tersebut hanya bisa mendengkus kesal. "Abaikan," ucap Kanza, melempar note ditangannya dengan se enak
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan bukan?" ucap Razie pada seseorang, lewat sambungan telpon. 'Tentu saja, Tuan,' jawab seseorang dari seberang sana. "Humm." Razie berdehem singkat, setelah itu matikan sambungan telpon– menoleh ke arah istrinya yang baru selesai mengenakan pakaiannya. Razie tersenyum tipis ke arah Kanza, mendekati perempuan tersebut kemudian langsung membawa Kanza dalam pelukannya. "Kau sangat wangi, Sweetheart," ucap Razie, menghirup rakus aroma tubuh perempuan itu, mengecup leher Kanza beberapa kali lalu menggigitnya karena gemas dengan aroma Kanza. Aroma menenangkan tetapi membuat Razie gemas secara bersaman pada pemilik tubuh tersebut. "Kau merasa lebih baik?" tanya Razie lembut, menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Kanza– menatap intens pada sang istri. "I--iya, Pak," jawab Kanza gagap, gugup karena masih terbayang-bayang dengan kejadian semalam dan canggung karena status barunya. Sekarang dia telah sah menjadi istri dari pria ini, Kanza sudah resmi menjadi
"Pak-- eh, maksudku Mas Razie," panggil Kanza, menoleh lengan suaminya sembari celingak-celinguk ke sana kemari. "Humm?" Razie berdehem pelan, menatap istrinya dengan sebelah alis terangkat. "Aku tidak melihat keluarga Mas Razie di sini. Mereka semua ke mana?" tanya Kanza, kali ini memfokuskan tatapannya pada Razie. "Kendrick mana?" "Mereka semua sudah pulang," jawab Razie santai. Saat ini mereka masih di villa keluarga, tempat mereka melangsungkan pernikahan-- semalam. Namun, Razie memilih berbeda– mengusir semua orang dari villa agar dia bisa berduaan dengan istrinya. Bagi Razie, liburan keluarga sebagai manis setelah pernikahan itu hanyalah kata lain pengganggu kelas elit bagi pasangan yang baru menikah. Bagaimana tidak? Setelah pagi tiba, mereka semua akan meledek Kanza– membuat Kanza semakin canggung lalu pada akhirnya menjaga jarak dengan Razie. Jadi lebih baik Razie mengusir mereka semua, tidak ada pengganggu dan tidak ada Kanza yang akan menghindarinya. "Kenapa?" Kanza
"Mama …." Kendrick langsung memeluk Kanza– di mana Kendrick baru pulang dijemput oleh Daddynya ke rumah aunty-nya; kembaran Daddynya. "Kendrick merindukan Mama yah?" tanya Kanza yang mendapat anggukan dari putranya tersebut. Dia menggendong Kendrick lalu duduk di sebuah sofa– yang ada di ruang tengah. Sejujurnya Kanza masih kelelahan, sebab itu dia memilih untuk duduk. Selama mereka di villa, Kendrick dititip di rumah kembaran Razie, supaya putranya tersebut ada teman. Baru tadi Razie menjemputnya, saat setelah Kanza dan Razie pulang dari villa. Ah, Kanza sangat membutuhkan istirahat. Razie tidak membiarkannya bernapas dengan tenang sedikitpun saat di villa, Razie benar-benar mengeksekusinya habis-habisan. "Mama ingin tidur?" tanya Kendrick saat melihat kelopak mata mamanya yang terlihat berat, mengerjab beberapa kali– tatapan mamanya sangat sayup. "Sedikit," jawab Kanza, mencium putranya lalu tersenyum lembut. "Mama sebaiknya tidur," ucap Kendrick, turun dari pangkuan sang mama
"Siapa?" tanya Razie setelah Kanza berada dalam mobil, membuat istrinya tersebut menoleh ke arahnya. "Hah? Yang tadi?" tanya Kanza balik, duduk di sebelah suaminya yang mengemudi dengan memangku Kendrick. Razie cukup singkat, jadi Kanza bingung kemana arah pertanyaan suaminya ini. "Humm." Razie hanya berdehem, menyalakan mobil sembari melaju dari sana. Dia perhatikan, Kanza cukup jahil pada anak dari perempuan tersebut. Yang Razie tidak suka adalah perempuan itu berteriak marah pada istrinya. "Yang dewasa, dia Safa, dan yang kecil-- dia anaknya Safa," jawab Kanza seadanya. Demi Tuhan, dia kurang nyaman ketika berbicara dengan Razie. Pria ini selalu berucap dengan kalimat yang singkat. Bahkan kadang tidak bisa disebut sebagai kalimat karena hanya terdiri dari satu suku kata. Humm! Razie sangat sering berdehem. Entah untuk tujuan mempertanyakan, meyakinkan, atau menyetujui. Kanza tipe orang yang banyak berbicara, tetapi malah berjodoh dengan tipe pria yang tidak suka banyak bicar
"Daddy, Mama?" Razie bangkit dari atas tubuh istrinya, setelah sebelumnya melayangkan tatapan penuh peringatan pada Kanza– kesal karena istrinya tersebut terlihat gembira. Itu sama saja Kanza bahagia di atas penderitanya. Hukuman! Tentu saja! Kanza harus mendapatkan hukuman setelah ini. "Humm." Razie berdehem, sudah duduk di pinggir ranjang sembari bersedekap di dada– menatap berang ke arah putranya. Mengganggu kesenangan Razie saja! "Ada tamu," ucap Kendrick datar, mendekati Daddy dengan sejenak menatap ke arah Mommynya. "Usir saja mereka. Daddy tidak suka tamu," dingin Razie, masih kesal dan tak terima karena waktunya bersama Kanza terganggu. Sial! Tamu menyebalkan! "Tidak bisa. Granddad juga ada," jawab anak tersebut, lagi-lagi menoleh ke arah Mamanya, penasaran apa yang Daddy dan Mamanya lakukan barusan. "Mama dan Daddy tadi sedang apa?" tanya Kendrick, "Daddy menggigit Mama lagi?" Kanza yang sudah duduk, hanya bisa menyengir kaku. Sialan memang suaminya ini!! Jika sudah
Arga memucat setelah membaca pesan yang Beby kirim pada Kanza, dia menentang– merasa malu pada keluarga ini serta merasa kecewa pada Beby. Dia susah payah memperjuangkan putrinya tersebut, tetapi kelakuan Beby malah seperti ini. Namun, bagaimanapun juga Beby adalah putrinya. Meskipun Beby salah haruskah putrinya tersebut di permalukan seperti ini?"Aku tahu Beby salah. Tetapi haruskah kalian memperlakukannya seperti ini, Razie? Kita semua tahu jika Beby sedang depresi, dia melakukan itu tanpa kesadaran sepenuhnya. Lihat akibatnya, kondisi Beby semakin memburuk." Arga berucap lirih, dia hanya ingin keluarga ini bersimpati pada putrinya."Hanya karena putrimu depresi kami semua harus memaklumi kelakuannya?" Reigha menaikkan sebelah alis. "Kau tahu betul siapa Azam, dan yang Razie lakukan itu masih bisa dikatakan lebih baik."Arga memucat pias, menghela napas pelan dan tak berani bersuara. "Kali ini aku tidak memihak padamu, Arga. Kelakuan putrimu sangat menjijikkan, dan itu salahmu ka
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming